SASTRA DAN KUDETA

21.09.00

Oleh : Dharma Setyawan
Pengurus Pusat KAMMI 2013-2015
 
Dharma Setyawan
“Harmoni itu tidak pernah mengenal kata krisis” -Ashadi Siregar.

Kutipan kata-kata Ashadi Siregar di atas adalah bagian kecil dari pidato budaya saat peluncuran majalah sastra “Sabana” di Rumah Budaya Emha Ainun Najib di Yogyakarta (25/06/13) dengan tema “Menuju Bangsa Tanpa Sastra”. Apa yang diharapkan dari sebuah karya sastra? Apa yang menjadikan sastra menjadi bagian kebudayaan dalam cara berfikir kemanusiaan? Pertanyaan itu adalah letupan-letupan yang muncul di tengah krisis kepercayaan kita menghadapi demokrasi kita yang semakin tidak menemui kepastian. Lalu sejauh mana peran sastra -yang membangun cara berfikir berbudaya dalam kehidupan manusia- berperan terhadap perubahan?
Sastra yang semakin hilang dari bangku-bangku pendidikan, hilang dari kehidupan sosial, tidak adanya semangat berkarya, meresapi, bahkan merenungi kembali karya sastra bangsa ini, telah semakin menenggelamkan kebudayaan berfikir para generasi. Pusat berfikir para aktifis pasca 98 pun semakin terfokus pada “political minded”. Kita belum melihat apresiasi kebudayaan dalam rumah sastra bangsa ini diberikan tempat sebesar kita memberi tempat pada panggung politik kita -politikus, partai, pemilu, acara televisi, headline koran- semua sedang mabuk dengan panggung kekuasaan. Bahkan kita menemukan kreatifitas kebudayaan sastra membusung di panggung politik, kreatifitas budaya hanya untuk memberi legitimasi kesenangan para pelaku politik untuk diakui telah merakyat, sehingga para budayawan menjadi sangat rendah di bawah ketiak para politikus.
Fenomena ini terjadi bukan hanya di Indonesia. Negara-negara yang mengakui sebagai penganut demokrasi-pun tidak jarang membunuh peran-peran kebudayaan atas nama egalitarianisme, humanism, dan freedom. Laku para politikus penguasa hari-hari ini semakin rendah dalam dialektika dan tidak mencerminkan bahasa kebudayaan. Jika dulu Sutan Sjahrir menyadari bahwa dirinya kalah populis dengan Soekarno, Sjahrir menyebut dirinya dengan diktum sastra yang menarik. “Saya tidak patah saya hanya melengkung” ucap Sjahrir. Kata yang penuh seni sebagai seorang politisi. Sjahrir pun akhirnya memilih diri menjadi seorang pendidik demokrasi -berjuang mendidik para pemuda- bersama Hatta dan berjuang bersama pejuang pro demokrasi lainnya.
Bagi Sjahrir dengan memilih jalan bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sjahrir melakukan kerja politik kebudayaan di tengah rakyat dan para teknokrat mabuk populisme ketokohan Soekarno. Bersamaan dengan itu Hatta mundur atas sikap Demokrasi Terpimpin yang dipilih Soekarno. Namun hubungan mereka tetap cantik di mata kebudayaan kita dan sejarah mencatatnya. Tidak ada luka politik yang memalukan seperti hari-hari ini yaitu korupsi- perilaku politik nir kebudayaan dan bentuk kekuasaan sampah. Obsesi memimpin hari ini adalah obsesi bisnis, untung dan gaya berjuasi  dgn macam jubah ideologi.
Kita bandingkan dengan kata-kata Presiden SBY ketika Partai Demokrat diterpa badai korupsi berbagai skandal mega proyek yang dilakukan oleh kader-kader terbaiknya. “Saya akan buktikan bahwa bukan hanya Partai Demokrat yang korupsi partai lain juga melakukan korupsi” Ucap SBY. Memang benar, isi pidato tersebut tidak salah, namun ini sebuah ciri kemunduran mutu bahasa pemimpin kita. Sebuah pidato yang sangat tidak berkualitas dan sangat jauh dari ucapan seperti Sjahrir di atas. Matinya sastra di panggung politik kita sangat berbahaya bagi kedewasaan dan tumbuhnya simpul-simpul inteligensia. Jika sekarang korupsi menjadi perilaku latin kita, lalu apa yang akan diwariskan dalam kepemimpinan? baik itu mengatas namakan demokrasi atau ideologi apapun. Sangat perlu diperhatikan adalah kualitas isi dari kata-kata yang dimiliki bangsa ini, yaitu untuk menjadi pusat energi kebudayaan dan menghilangkan segala panggung yang tidak berkualitas.
Kudeta oleh Sastra
“Kudeta” kata yang sangat ‘traumatik’ -ditengah kehidupan yang semakin menakutkan dan mengancam- bagi kehidupan sosial politik kita. Kata yang menjadikan seseorang, golongan, agama, kekuasaan negara tersingkir dalam peradaban. Kata yang memasung eksistensi pihak lain bahkan menenggelamkannya dalam represi yang sangat padat dan terlampau keras. Kenapa ada kudeta? Berbagai alasan macam rupa muncul atas kejadian kudeta dalam sejarah kekuasaan. Kudeta cara ampuh me-negasi-kan individu, kelompok agama, golongan suku, kekuasaan korup dan struktur otoritarianisme. Pilihan demokrasi menjadi alasan kenapa kudeta selalu salah dalam kacamata kemanusiaan. Pun demokrasi tidak memberi jaminan bagi berlangsungnya kehidupan. Ritualisme pemilu ternyata juga tidak menjadi titik terang yang jitu untuk bangsa bangkit secara bersama. Di sini kita butuh kebudayaan sastra untuk memberi mutu pada demokrasi. Kita butuh sastra untuk memberi manis di pahitnya kompetisi politik yang penuh lacur.
Peran sastra dalam kehidupan demokrasi kita adalah bandul tegaknya keadilan berfikir untuk mempertahankan Indonesia. Pakem berfikir para pemimpin yang tidak berkualitas di obati dengan kualitas berfikir dari pijakan sastra. Sastra mengobati kesalahan-kesalahan bangsa ini yang memberi ruang besar pada dominasi panggung oligarki politik. Mereka-mereka yang tidak siuman dari pingsan ke-dungu-an dan tidak memiliki kesadaran untuk berbudaya akan selalu dipantik oleh khotbah-khotbah suci kebenaran sastra. Maka kekuasaan yang tuli terhadap kebenaran sastra akan terus terusik dari kenyamanan ‘singgasana kekuasaan’. Pemimpin yang memahami sastra tidak pernah berucap untuk dendam. Pemimpin yang mengenal sastra tidak pernah berdiri kaku di tengah ragam perbedaan. Pemimpin yang mengerti sastra akan menegakkan cinta di tengah permusuhan. Sebagaimana Ashadi Siregar bicara harmoni, pemimpin selalu merekatkan perbedaan menjadi kesatuan kebangkitan.
Pramoedya Ananta Toer (1999) pernah menyebut bahwa sastra memang tidak memiliki kemampuan bersenjata, membangun gerakan kudeta sebagaimana dimiliki oleh aparatus negara. Tapi sastra akan mampu untuk mengkudeta cara berfikir ‘kerdil’ para panguasa yang tidak segera sadar untuk berfikir secara benar. Jadi seberapa penting sastra dalam kehidupan demokrasi kita? Tentu sangat penting, bahkan gerakan kudeta yang melukai laku demokrasi kita membutuhkan sastra untuk memberi legitimasi terhadap ‘soft-kudeta’ -merebut kekuasaan dengan jalan baik yaitu demokrasi substansi- yang dilakukan untuk membenahi cara berfikir penguasa yang berkepala batu.
Kita harus segera sadar untuk memberi panggung bagi sastra hingga menjadi bagian penting berfikir membangun ke-Indonesiaan. Kiblat politik yang semakin menggurita, oligarki -yang tidak ubahnya perilaku feodalisme yang berjubah demokrasi- mestinya kita buang jauh dengan narasi-narasi yang lebih bermutu. Jika seorang Presiden negeri ini tidak memiliki mutu dalam panggung pidatonya, jangan salahkan mereka-mereka generasi penerus buta kebudayaan dan mengkiblati bangsa lain soal kebudayaan -sastra-musik-film-pakaian. Korean-Pop, Gamnam Style, Hollywod, fashion Impor yang bertebaran adalah bukti bangsa yang tidak mengenal kebudayaannya. Lemahnya sastra berakibat pada lemahnya kesadaran –‘menjadi Indonesia’. Bagaimana kita menang sedangkan pijakan sastra kita telah dirobohkan oleh panggung kekuasaan?
 














You Might Also Like

0 komentar

Ayo Gabung

SUBSCRIBE NEWSLETTER

Get an email of every new post! We'll never share your address.

Dharma

Dharma
Selamatkan kekayaan Indonesia

Ad Banner

Ad Banner