Kembali Gerakan Masjid
Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Public Pilicy KAMMI Kota Yogyakarta
Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Dipa Nusantara Aidit/ Achmad Aidit |
Selama orde baru dirinya digambarkan sebagai tokoh yang
bengis. Layaknya tokoh yang sangat jahat, dalam film yang sengaja dibuat rezim
orde baru sukses mempropaganda rakyat untuk menilainya sebagai sosok yang
benar-benar kejam. Bahkan wajah asli yang terlihat karismatik, tampan dan
ceria, digambarkan dengan tokoh yang memiliki mimik bopeng, kusam, kasar dan
sesekali menghisap rokok. Di era reformasi kemudian semua ini terkuak, tidak
semuanya yang dituduhkan padanya benar. Film G30/S PKI itu hanya reka-reka
rezim orde baru untuk menarik dukungan rakyat agar mengamini jahatnya PKI
terhadap Indonesia. Anak kandung tokoh
itu pun kemudian bertutur ‘Bapak itu tidak merokok, kenapa beliau diperankan
dalam film sebagai seorang perokok?“ Tanya anaknya pada zaman ini yang
propagandis masa lalu telah tiada. Tokoh itu DN Aidit, tokoh Partai Komunis
Indonesia yang sejak umur 23 tahun berkiprah di Partai yang kelak penuh dengan
tragedy pembantaian jutaan manusia di Indonesia pasca pemububarannya. Nama asli
DN aidit adalah Achmad Aidit entah kenapa kemudian dia mengganti nama dengan
sebutan Dipa Nusantara Aidit. Dalam umur 31 tahun dan dalam waktu 1 tahun DN
Aidit mampu menjadikan PKI sebagai partai terbesar ke empat setelah PNI,
Masyumi dan NU. Bahkan PKI menjadi partai Komunis terbesar ke-3 di dunia
setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC). Siapa Aidit?
Banyak yang tidak percaya bahwa tokoh yang dilahirkan di
Belitung ini berasal dari keluarga Islam yang taat. Ketika akan pergi ke Batavia ayahnya
Abdullah Aidit memberi persyaratan yaitu bahwa untuk diizinkan merantau,
seorang remaja harus memenuhi empat syarat: bisa memasak sendiri, bisa mencuci
pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji. Keempat syarat itu
sudah dipenuhi Aidit. Achmad Aidit dari kecil sudah dididik secara islam dan
tumbuh di lingkungan keluarga yang taat beribadah, Abdullah Aidit merupakan adalah
tokoh pendidikan Islam di Belitong. Dia mendirikan sekolah Nurul Islam. Achmad
Aidit dahulu sering sebagai tukang azan, karena suaranya yang sangat lantang
dan keras sehingga sering diminta mengumandangkan azan. Kita harus mengakui hampir
semua tokoh besar di Negeri ini adalah kader-kader yang pernah ditempa di
Masjid.
Namun sesungguhnya, hampir semua tokoh kenamaan di berbagai
bidang mengawali segalanya di dan dari surau (masjid). Sebutlah para
intelektual (ekonom, ahli hukum, politikus, jurnalis, sejarawan, negarawan
maupun diplomat ulung) sekaliber H Agoes Salim, Bung Hatta, Moh. Yamin, Tan
Malaka, Natsir, Hamka dan lain sebagainya. Demikian pula tokoh pembaharu
Sumatera Thawalib seperti H Abdul Karim Amrullah alias Inyiak Rasua (dikenal
sebagai Doktor HC pertama di Indonesia) dan Zainuddin Labay El Yunusiy, atau
Abdullah Ahmad pendiri perguruan Adabiah ketiganya murni berpendidikan surau
dan, untuk sekian lama mengajar atau berkiprah di Surau Jambatan Basi Padang
Panjang. (Nelson alwi, Kejayaan (Pendidikan)
Surau, http://www.harianhaluan.com)
Contoh tokoh dari Sumatra Barat di atas seperti M Hatta,
Hamka, M Natsir adalah tokoh yang dikader kecilnya dari masjid. Perlawan bangsa
ini dari segala macam bentuk penindasan penjajahan bermula dari semangat masjid,
bukankah kemudian kita menjadi lemah karena pendidikan kita bergaya londo
dengan gedung-gedung mewah. Gedung-gedung itu kemudian melupakan semangat
perlawanan. Kesalahan sebenarnya bukan pada gedung pendidikan namun semangat
masjid yang hilang dan gedung-gedung tidak memiliki nyali yang sama dalam mengintimi
spiritual pendidikan. Semangat masjid yang memesrai kehidupan DN Aidit kala
kecil terbukti masih bernyawa dalam benaknya dan tetap saja berkarakter
membentuk dirinya menjadi pimpinan PKI yang kharismatik. PKI saat itu bukanlah
partai komunis yang kemudian dibenci oleh rakyat, tapi PKI yang menjadi lawan tanding
angkatan darat yang dari dulu ingin mengangkangi negeri ini.
“Angkatan Darat Negara
dalam Negara, waktu Soekarno memimpin ada pemerintahan lain yaitu angkatan
darat. Ketika saya diculik, saat itu adalh atas perintah angkatan darat”
Ungkap Pramoedya Ananta Toer. DN Aidit dan masjid adalah contoh yang paling
jauh dari cara berfikir orang umumnya. DN Aidit sengaja saya tulis sebagai
gambaran bahwa tokoh negeri ini yang PKI sekalipun adalah orang yang pernah
begitu dekat dengan masjid dan Aidit adalah anak dari seorang ulama di daerah Belitong.
Setidaknya kita tidak perlu bertanya lagi bagaimana dengan Agus Salim, M Yamin,
M Hatta, Hamka, M Natsir dan tokoh Islam lainnya yang jelas pasti adalah
kader-kader besutan didikan Masjid (surau). Mereka begitu geram, marah, dan
bangkit melawan tidak lain adalah hasil provokasi nilai-nilai masjid yang terus
menggiringnya menjadi petarung. Tidak ada sedikitpun orang-orang yang kecilnya
ditempa masjid saat itu kemudian menjadi pemalas dan nerimo ing pandum (terima apa adanya)
Kenapa Masjid?
Masjid itu simbol perlawanan. Masjid itu benteng pertahanan
kala Islam tidak diizinkan mengurusi kenegaraan. Bau imperalisme, kolonialisme,
birokrasi oligarki, otoriterianisme,
tidak berlaku di dalam masjid. Di masjid itu tempat orang bersujud tanpa
kasta dan tempat yang menghargai sama rasa sama rata. Seorang presiden pun sama
derajat menjadi hamba. Seorang presiden pun tidak lebih dinilai sebagai seorang
jamaah masjid jika sudah berhadapan dengan Tuhan. Masjid itu simbol egaliter (kesetaraan), namun dalam
masjid ada system sholat yang tidak bisa ditawar. Aturan tersebut sebagai bentuk statuta yang harus
ditaati para jamaah masjid. Aturan yang mutlak itu tidak perlu ada musyawarah
atau demokrasi yang ada adalah sami’na wa
ato’na. Sistem itu sangat legal dan
efeknya membangun soliditas. Sistem untuk memperkuat kesepakatan yang baik
sebagai hamba yang menurut perintah Allah Tuhan semesta alam. System sholat ada
Imam (pemimpin) yang mengomandoi sholat. Namun kala Imam salah makmum (jamaah)
memperingatkan dengan cara yang benar. Dalam system sholat mereka bersama-sama
kompak untuk menyembah Tuhan. Namun fungsi masjid hari ini sekedar untuk
membangun kebersamaan dalam ritual sholat tidak untuk di luar sholat.
Gambar : Mereka Yang telah pergi |
Kembali ke Masjid
H Agus Salim dan Hasan Al Banna |
Sesekali kita harus berfikir ulang, memikirkan kembali
format besar seperti gerakan masjid di era klasik. Saat dulu masjid menjadi
basis gerakan perlawanan. Kita di masjid dapat menyatu, entah itu golongan
Islam apa? Di masjid semua punya kepentingan satu yaitu menyembah Tuhan. Entah
itu HMI, PMII, IMM, KAMMI atau Ormas Islam Muhammadiyah, NU, HTI, MMI, FPI
bahkan JIL sekalipun kita damai dan segera untuk melaksanakan sholat berjamaah.
Mereka pasti berharap nilai ibadah sholat orang yang berbeda baju gerakan itu
tetap sama mendapat pahala 27 derajat dari Allah Swt.
Namun kita terlalu Bengal, hati dan otak kita masih saja
nakal. Diantara kita ada yang berubah mbalelo bagai kuda binal. Di luar masjid
diantara kita ada yang berkoar-koar, ada yang minta kebebasan, meminta HAM
dengan mengobok-obok ajaran. Memperdebatkan kerifan Islam dengan sedikit rupiah
dari yayasan-yayasan yang penuh kepentingan. Ada yang ahli gebuk tanpa
mengambil rasional hati dan akal. Islam berwajah keras tanpa ada narasi damai
bahwa perlu disentuh hati mereka untuk kembali pada gerakan kebersamaan. Akhirnya
nama Islam mengalami krisis kepercayaan akibat segelintir elitis yang lupa pada
alitis.
H Agus Salim dan Soekarno |
0 komentar