Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Public Policy KAMMI Kota Yogyakarta
Mahasiswa Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Umar bin Khattab berpesan “Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak yang pengecut
menjadi pemberani”.
goodreads.com |
Konflik dan dinamika bangsa ini terus berproses pada jalan
formalnya. Harapan besar manusia-manusia di dalam Negara ini tumbuh dan
berkembang dalam proses-proses yang terus membaik. Sejarah pahit negeri ini
yang awalnya penuh dengan semangat kepahlawanan telah tertutupi oleh sikap nir-akhlak
generasi yang semakin mengalami erosi kebaikan. Dari pemimpin sampai rakyat
sikap nir-akhlak itu menjalar dan membelenggu terpasung dalam kegelapan. Memang
benar, tidak ada bangsa yang sempurna, kita yakin Indonesia sedang tumbuh dan
membangun kejayannya. Kita pun yakin entitas manusia di dalamnya juga sedang
mencumbui dan belajar mencintai sebuah Negara yang penuh dengan sumber daya
alam ini. Kejayaan masa lalu Sriwijaya dan Majapahit setidaknya mengingatkan
kita bahwa dulu orang-orang yang pernah mendiami nusantara ini pernah bersatu
sampai menjamah Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Tailand dan Negara Asia
lainnya. Kita juga harus sadar bahwa kemerdekaan Indonesia adalah buah dari
sikap kepahlawanan para founding fathers yang terus ingin mengembalikan
kejayaaan masa lampau. Kejayaan itu sampai saat ini masih berbau wangi, mulai
dari makam-makam pejuang kemerdekaan yang berjiwa profetik, peninggalan-peninggalan
kerajaan masa lalu, dan lebih dari 700 suku etnik yang sering kita lupakan
adanya.
Ribuan tahun ratusan suku itu hidup tanpa ada upaya saling
menghegemoni kecuali pasca hadirnya penjajah eropa yang rakus sumber daya kita.
Kita semakin bringas dan tidak mengenal ragam suku kita akibat ulah penjajah asing
yang melakukan upaya politik adu domba “devide
at ampera”. Kemudian kita saling curiga, saling pukul saling serang dan
sumber daya alam ini berubah menjadi kutukan Tuhan untuk bumi yang disebut gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerto
rahardjo. Kita semakin kehilangan peta kebenaran, malapetaka ini terus
berlangsung tanpa kita sadari bahwa ini karena ketidakmampuan kita menjalankan
amanah para pahlawan. Merdeka atau tidak merdeka, kita belum menyadari sudah
berapa kekayaan kita yang terus mengalir deras ke Eropa dan mereka membangun
peradaban modern disana. Hitung saja 350 tahun lamanya Belanda menjadi Negara
maju atas hasil kekayaan bangsa ini yang terus dihisap dan manusia Indonesia
ibarat sapi dan kerbau yang terus membajak ladangnya dan hanya berupah rumput
hijau sekedar untuk makan. Bahkan menakjubkan lagi kotoran sapi dan kerbau itu
masih dapat mereka fungsikan untuk memupuk tanaman lebih subur dan subur lagi.
Menolak Pengecut
Polarisasi kehidupan Negara kita perlu mencetak orang-orang
kuat yang berjiwa pahlawan. Karakter Kenabian (profetik character) itu harus tumbuh kembali pasca
pahlawan-pahlawan kita yang mengambil jalan keberanian untuk menentang segala
bentuk imperalisme. Kita harus mencetak sosok-sosok mereka lahir entah harus
berapa tahun lagi? Hari ini proses politik kita masih menimbulkan
kebencian-kebencian antar kelompok. Kita mesti bertanya pada diri masing-masing
untuk siapa kemerdekaan dan kepemimpinan itu ada jika tidak untuk mengayomi
seluruh anak bangsa ini. Jika ada yang pesimis karena pemimpin kita sebagian
berjiwa kerdil, mungkin itu benar. Jika ada yang pesimis bahwa sebagian besar
pemimpin kita terlalu tunduk kepada asing mungkin itu juga benar. Namun kita
juga harus optimis, bahwa proses mencari pahlawan-pahlawan itu sedang
berlangsung dan berharap menemukan fatsoennya. Pahlawan-pahlwan yang pemberani
itu harus kita ciptakan bersama-sama dengan terus menghargai meritokrasi kepemimpinan.
Menolak pengecut! Kata yang tepat untuk membungkam semua kekerdilan
yang pernah tumbuh dibenak kita. Menolak pengecut adalah sikap mental kita
untuk mengembalikan kembali Indonesia yang akan diisi oleh ribuan pemimpin
berjiwa pahlawan. Bukan pemimpin elitis, apatis, hedonis, egois, dan yang
mengecewakan tunduk dengan kebijakan-kebijakan asing jelas secara rasional
sangat merugikan Negara ini. Monolak pengecut itu adalah bagian kebajikan yang
dapat dilakukan siapapun dari tingkat rakyat sampai pemimpin. Karena sifat
pengecut itu jika dibiarkan, dia akan menjadi benalu bangsa dan duri dalam daging
semangat anak cucu kita. Sudah lama sejarah bangsa ini krisis kepahlawanan.
Akibat pengecut itu, stok jumlah pahlawan dari 240 juta manusia Indonesia masih
sangat sedikit.
Ajarkan Sastra
Profetik
Ucapan Kalifah Umar di atas mengungkapkan sebuah pendidikan
karakter pada anak. Indonesia perlu mengisi otak dan hati pemimpin masa depan
dengan narasi-narasi sastra profetik. Selain melayani, pemimpin masa depan
harus mampu mendialektikakan cita-cita bangsa ini dalam retorika dan tulisan.
Dengan sastra itu, Indonesia akan membangun generasi-genarasi yang masih
pengecut hari ini menjadi generasi-genarasi jujur dan pemberani. Sejak dini
mereka dilatih untuk mampu mengejawantahkan narasi sastra profetik dalam
bingkai perilaku kehidupan. Sastra profetik harus menghujani bumi Nusantara
dari sabang sampai merauke bahkan sampai Negara-negara lainnya.
Kita harus ingat bahwa banyak pantun, puisi, sajak,
gurindam, dan sastra juang lainnya telah membumi lama di seantero Nusantara.
Sastra-sartra itu kini tidak terdengar lagi bahkan hilang tergantikan dengan
retorika-retorika kosong bangsa asing. Betapa kita perlu sadar bahwa sastra
begitu lekat dan menjadi kredo gerakan bangsa ini untuk menemukan kearifannya.
Sampai hari ini sajak, pantun, gurindam, puisi dan sastra lainnya telah lama
usang di perpustakaan tanpa ada ucapan lantang dari generasi-generasi kita di
bangku pendidikan. Teks-teks Sastra itu sedang merindui kita semua dan masih
menunggu bangsa ini untuk membacakannya lagi sebagai pemantik kebangkitan dan
monolak sikap pengecut.
Mengutip Kuntowijoyo, bahwa sastra profetik adalah sastra
transedental yang mempertanyakan manusia di tengah kehidupan modern yang serba
birokratis, industrialis, pasar dan instrumental. Sastra profetik menghasratkan
agar manusia tidak menjadi makhluk satu dimensi. Melainkan makhluk lengkap baik
jasmani maupun rohani, berakar di bumi sekaligus menjangkau langit. (Wan Anwar,
Kuntowijoyo, Karya dan dunianya : 2007). Maka gerakan sastra profetik adalah
gerakan pendidikan karakter kebudayaan yang akan menjadi salah satu variable
membangkitkan Indonesia dari keterpurukan. Sastra profetik ini akan membangun
bangsa ini kembali, bahkan lebih dari kejayaan masa lampau. Sastra Profetik,
menolak pengecut dan membangun keberanian!
0 komentar