Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Public Policy KAMMI Kota Yogyakarta
Mahasiswa Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
“Demokrasi yang kita pahami di negeri ini adalah dusta yang
menyaru jadi kebenaran“ Ungkap Sastrawan Budi Hatees (Kepada Sastrawan Koran). Indonesia pasca fundamentalis dan
liberalisme semakin sulit menegakkan adilnya demokrasi. Indonesia bisa jadi
masih mengigau dengan menunggu hadirnya kematangan proses tumbuhnya demokrasi
secara praksis bukan lagi teoritis. Ungkapan Budi Hatees di atas patut kita
renungkan, dimanakah letak demokrasi harus kita bawa dan menjadi ladang subur
bagi kita untuk memanen kebaikan di Negara ini? "Demokrasi" yang saru
itu menginjakkan diri dari dua kata, demos
(rakyat), dan kratos/cratein
(pemerintahan), sehingga mencungkil penggalan sebagai pemerintahan rakyat, atau
yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat.
Ketidak-adilan
Demokrasi kita masih pesakitan menuai ketidak-adilan, kita
belum tuntas mengejawantahkannya untuk segenap rakyat. Perkara yang bisa kita
selesaikan dengan musyawarah, hukum kearifan, local wisdom, local genius, kini buta
jalan dengan ribuan masalah yang muncul. Atas nama demokrasi kemudian kita
saling mengamini sesuatu yang sebenarnya sudah offside untuk kita korek-korek
kembali. Bahkan atas nama demokrasi kita saling mengklaim berebut symbol
siapakah yang paling nasionalis di negeri ini. Slogan nasionalis itu kita
hadirkan untuk sekelompok-sekelompok orang yang dianggap anti Negara, anti
demokrasi dan anti egalitarian. Suara-suara parau itu gencar disejumlah media
kita dan menyudutkan kelompok yang sebenarnya anak sah bangsa ini yang lahir
dan butuh pengakuan demokrasi.
Bisa jadi kita telah pesimis dan faktanya Indonesia terus
mengigau tentang demokrasi yang wajib di copy paste dari struktur barat. Tanpa
pegangan nurani, copy paste itu kian buruk bahkan buram mengotori budaya kita.
Siapa yang mengajarkan rakyat kita bringas, amuk massa, nir-sosial dan tidak mengenal
musyawarah dalam penyelesaian masalah? Siapa yang telah membuat pemimpin kita
begitu naïf, dalang citra, haus pujian, bermental perlente? Siapa yang telah
membunuh kearifan budaya negeri ini, bangsa ramah, bangsa peradaban, bangsa
pemersatu pulau? Tiba-tiba 60 tahun lebih pasca kemerdekaan semua local jenius
itu dibentur-benturkan oleh demokrasi yang mengcopy paste kebusukannya.
Salahkah demokrasi? Demokrasi yang diungkit Budi Hatees
sebagai dusta yang menyaru bukanlah pepesan kosong. Kita perlu tahu, warna
demokrasi kita sebenarnya lebih baik dari warna demokrasi Amerika sekalipun. Demokrasi
kita bahkan sangat menyanjung gender kala negeri demokrasi belum mampu
menghadirkan perempuan menjadi seorang Presiden. Namun berjalannya waktu sangat
sial, Demokrasi kita kini bahkan lebih liberal dari Negara yang memaksakan diri
menjadi kiblat peradaban bangsa dunia tersebut. Demokrasi kita juga yang paling
elit karena memainkan modal paling besar, sebagai bentuk kemasan pesta rakyat
namun modal itu menghambur pada simpul menengah demokrasi. Demokrasi kita pun
mengajari untuk saling suap, saling caci, saling pamer, saling curiga. Lengkap
sudah segala bentuk dusta yang menyaru itu kita lakukan, dan kini kita belum
mengambil hikmah dari sekian dusta yang telah sama-sama kita lakukan.
Sebenarnya Demokrasi secara substansial sudah lama tumbuh
jauh sebelum kita melakukan penyelenggaraan formal seperti kampanye,
pencoblosan, pemilu langsung oleh rakyat, sampai yang procedural lainnya.
Demokrasi yang sudah kita bangun sejak lama
memang berbeda dengan barat, namun secara substansi kita mengakui bahwa local
jenius itu mengandung demokrasi. Kita masih ingat dengan cara Negara ini
mengangkat dua tokoh Soekarno dan M Hatta dalam mewakili nama di naskah
proklamasi, itu demokrasi. Kita masih ingat bagaimana Soekarno memberi mandat
kepada M Natsir sebagai perdana menteri bukankah itu Demokrasi. Kita pun tahu
bagaimana para pejuang bangsa ini tidak terlalu maruk dengan jabatan kala
negeri ini mulai di bangun. Itulah demokrasi. Kita juga melihat bagaimana
panggung-panggung demokrasi itu telah ada ketika rakyat bermusyawarah unutk
mengangkat ketua adatnya. Mereka begitu percaya, begitu yakin dengan ketua adat
tersebut mampu membangun kebersamaan. Masih banyak lagi fakta sejarah yang
lebih memberi cetak biru bangsa ini, yaitu tentang musyawarah yang lebih arif
dari sikap demokrasi yang terlalu modernis seperti sekarang. Deliar Noer Mengutip keinginan Demokrasi
yaitu sebagai dasar hidup bernegara bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan
ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya termasuk dalam
menilai kebijaksanaan Negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan
kehidupan rakyat. (Deliar Noer, Pengantar
ke pemikiran Politik : 1983).
Ketiak-adil Demokrasi
Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Kita
harus merenungkan kembali benarkah rakyat mampu mewakili suara Tuhan. Bagaimana
kalau kemudian rakyat belum mampu meraba kebenaran? Rakyat faktanya seringkali
terombang-ambing dengan permainan elit dalam membangun citra politik. Rakyat
yang tidak mampu merasionalkan demokrasi, seringkali dibentur-benturkan pada
sekte-sekte semu untuk dikapitalisasi suara mendukung bebalnya demokrasi
transaksional. Demokrasi dan Syurokrasi (musyawarah melekati pancasila) perlu
bersanding tanpa harus berbantah-bantahan. Musyawarah adalah demokrasi dan
demokrasi adalah musyawarah. Keduanya harus mampu memberi ketiak-adil bagi berjalannya proses rakyat untuk menilai
kebijaksanaan Negara dalam penyelenggarannya. Rakyat ditempatkan pada porsi
utama dalam setiap keputusan. Jika ini
yang terjadi maka slogan vox populi vox
dei kita benarkan dalam membangun narasi peradaban bangsa. Bukan hanya
untuk Indonesia, Syurokrasi demokrasi ini menjalankan agenda kemanusian untuk
menjaga kearifan-kearifan yang sebenarnya.
Masuknya syurokrasi
dalam demokrasi ini unutk menyembuhkan demokrasi agar tidak menjadi dusta yang
menyaru yang menjadi kebenaran. Dusta-dusta itu harus diobati dengan local
wisdom bangsa ini yang jauh telah hidup dan menjadi hukum yang hidup
dimasyarakat. Bangsa ini punya cara sendiri untuk menentukan jalan terbaik
dengan cara menjalankan proses mencari solusi yang terbaik. Hal ini tidak dapat
dibantah karena masyarakat Indonesia yang sangat heterogen ini terbukti malah
semakin hancur akibat pemaksaan demokrasi yang anti-klimaks. Padahal dulu
Nusantara dan Negara-negara kecil lainnya menyatu dalam kebesaran Sriwijaya,
Majapahit dan Kerajaan-kerajaan Islam.
Artinya kita sudah arif dan bijak sejak lama dan juga sadar bahwa
Nusantara ini adalah kesatuan dengan meninggalkan banyak warisan budaya. Bangsa
ini perlu mengambil fatsoen lama dan menempatkannya pada panglima politik.
Fatsoen itu akan mengajari pilar-pilar demokrasi kita yang sudah lama sakit
jiwa seperti Eksekutif, Legislatif (sekaligus partai politik), Yudikatif dan
Pers yang harus jujur dan berjanji tidak lagi menyaru. Dengan ini kita akan
mengeja kembali semangat bangsa ini, semangat para pahlawan dalam membangun
ketiak-adil demokrasi untuk mengusir ketidak-adilan.
0 komentar