Oleh
: Dharma Setyawan
Rindu
itu salah satu magnet rasa cinta, rindu sebuah minimal rasa yang hinggap ingin
beradu dengan momentum pertemuan. Rindu yang mengikat tidak akan lepas jika
simpulnya terus memanjang tanpa ada pemutus, maka tali rindu itu terus menggeliat
disekujur tubuh. Rindu itu memang memaksa bahkan sesekali mengajak kita untuk
menghela napas karena memang sangat menyesakkan. Tanpa perlu berteriak rindu itupun
mengajak mata kita berlinangan air mata, melemahkan urat syaraf kita,
melemaskan sendi tulang kita dan rindu itu tetap akan menggebu jika tidak
terobati.
“Renta“
kata yang selalu bersanding dengan tua. Tapi renta ini menjelma dan mencumbui
rindu. Dia tetap setia kepada tua namun juga hadir menemani rindu. Maka judul
di atas tertulis “Rindu Yang Renta”. Ya ..karena memang ini yang terjadi pada
sebuah keluarga yang terlalu lama merindu. Keluarga ini tidak ada masalah
apapun kecuali satu “Tentang Rindu”. Renta semakin sengit bengalnya karena
ingin menemani rindu. Sehingga kata “Tua” sedikit terlupakan karena rindu ini
yang menjadi masalah utama. Renta itu menjadi linangan umur yang terus beradu
pada rindu.
Hari
ini aku melihat renta itu semakin lama bermimpi menjadi muda kembali, jika
mustahil dengan tampilan ia ingin berasa muda dalam semangat. Renta itu semakin
bertindih dengan pilu. Karena renta itu telah lama membangun sejarahnya bersama
jutaan kasih sayang. “Rindu Yang Renta” itu kudapati pada wajah-wajah yang
lembut itu. Mereka tulus, penuh mesra bahkan nihil murka dan kebencian.
Keramahannya melebihi pagi yang menyambut matahari. “Rindu Yang Renta” itu
semakin kuat menerjang dan sesekali menghantam karang masa lampau yang tidak
pernah kembali.
Kini
renta itu hanya berdua sepi, wajah renta itupun aku rasakan semakin hening
namun tanpa keluhan. Dulu rumah ini ramai dengan celoteh, tawa ria, tangis
bahagia, dan lari-lari kecil anak-anak yang penuh keluguan dan kelucuan.
Sekarang anak-anak itu pergi, beradu dengan sejarahnya sendiri. Merekapun juga
rindu kepada wajah-wajah renta itu. Anak pertama laki-laki berada di Jogja bertugas di
POLDA Jogjakarta, sesekali ke Jakarta menengok istrinya yang mendiami rumah
disana. Yang kedua perempuan di Magelang bersama suaminya. Yang ketiga perempuan
sedang kuliah S2 dan memiliki pekerjaan di Jakarta. Yang keempat sepulangnya
dari mesir 4 tahun meneruskan kuliah di UGM.
Hari
ini aku bercengkerama dengan kedua sosok yang memiliki “Rindu Yang Renta”.
Mereka tetap mengingatkanku dengan kedua orang tuaku di rumah yang aku menilai
lebih gagah karena umur yang berbeda. Bapak di rumah masih mampu untuk
bersepeda ontel tiap minggu bersama rekan-rekan komunitasnya, mengangkat
cangkul, berenang, dan berkunjung ke beberapa sekolah sebagai tugas rutinnya
sebagai Pengawas Sekolah. Ibuku sama masih segar bugar walaupun kadang kulihat
sering sakit pinggang, tapi tugas mengajarnya terus beliau tekuni sebagai kewajiban
rutin pengajar di Sekolah Dasar.
Dua
sosok ini lebih tua dari orang tuaku, namun aku merasa mereka sama-sama
memiliki semangat yang sama. Namun kedua sosok ini tetap kudapati penuh dengan
kecemasan, ya..kecemasan yang berbalut rindu. Mereka menitipkan senyum kepadaku
untuk memegang erat rindu yang sangat renta. Laki-laki yang berumur 70 tahun
ini, aku yakini mudanya sangat tampan dan penuh tanggung jawab. Veteran ABRI
yang pensiun tahun 1988 ini sekarang terus menikmati kerinduan yang mengalun
bersama umurnya yang semakin berkurang. Jika dulu beliau tegap dan gagah di
medan juang, di Irian, Timor-timor, di Kalimantan mengganyang malaysia, kini
beliau tegap dan gagah di Masjid sebagai medan juang akhir pasca pensiun.
Bahkan tadi beliau Khotbah Jumat di Masjid yang sangat dekat dengan rumah yang
sepi namun penuh rindu ini. Aku memandang wajahnya dan mengamati mimik wajahnya
dalam memberiku cerita pengalaman masa mudanya. Aku dengan senang hati mengapresiasi
gaya juang mudanya di masa lampau yang penuh heroisme.
Dalam
medan itu, istri dan anak-anak ditinggalkan sejenak untuk memenuhi tugas
negara. Ya..sejak saat itu rindu memulai takdirnya. Sampai anaknya beranjak
dewasa, waktu semakin hari semakin memisahkan kebersamaan itu dan takdir tidak
dapat merajutnya. Beliau menceritakan anak-anak yang sukses dan kini hidup
lebih baik. Sekali lagi tidak ada masalah, hanya rindu yang menjadi masalah,
anak-anak mereka juga baik-baik dan sering berkunjung untuk mengobati rindu
mereka. Namun rindu tetap rindu, ia muncul dan memaksa siapapun. Beliau ingin
meyakinkanku bahwa dalam hatinya mempunyai berjuta rindu untuk anak-anaknya,
yang kini mereka hanya ada dalam fhoto-fhoto dinding ruang tamu dan ruang makan
bersama dengan beberapa cucu-cucu yang semakin menambah kerinduan. Betapa
hasrat menggugat, jika mungkin beliau yang semakin hari semakin lelah dan letih
itu ingin membeli rindu itu dan
menghadirkannya untuk keluarga yang dulu berkumpul. Apalagi anak ke 3
perempuannya yang bekerja di Jakarta dan juga menempuh S2 akan menikah dengan
laki-laki dari Depok dan pasti akan menambah kerinduan yang terus menggebu.
Lain
lagi dengan perempuan cantik 60 tahun yang tetap setia menemaninya. Dengan
berlomba cerita, beliau memasang semangat mudanya untuk memberi energi kapadaku
tentang cintanya yang besar kepada 4 anaknya. 10 tahun menjadi PNS yaitu
pengajar di Sekolah Dasar, beliau memilih mundur untuk fokus mengurus 4
anaknya, dan juga harus merelakan suami yang kadang sampai beberapa bulan
bahkan tahun baru bisa kembali dari tugas di daerah konflik. Sayang Ibu itu
dapat kurasakan sangat dan semakin dalam, kadang intonasi kata ceritanya
membuat perasaan haruku membuncah membanjiri benak.
Rumah
ini memang lama sepi, kehadiranku disini adalah sebagai orang asing yang dengan
senang hati ingin mendengar kisah “Rindu Yang Renta”. Ya..kuharap cerita Rindu
yang semakin renta ini dapat aku ceritakan kepada salah satu buah hatinya yang
ke 4. Kedua orang tua ini tetap menyala dengan api kerinduan, Rindu yang terus
meraja dan meratui hati kedua orang tua ini. Wajah rentanya bahkan masih
semangat tapi rindu mereka yang terus merenta. Semangat yang terus membaja
namun selalu menawarkan asa tanpa nestapa. Berbicara dengan mereka hanya dalam
hitungan jam begitu menggembirakan namun mengharu biru. Rindu yang renta itu
tetap menjadi sejarah utuh walau tak tersentuh. Rumah ini begitu padat kasih
sayang, begitu mencair tawa riang, begitu menguapkan damai kebersamaan.. Sepi
mereka berbalut pengabdian, diumur yang semakin senja mereka menitipkan rindu
itu kepadaku untuk aku sampaikan kepada semua orang yang memiliki gelora rindu.
Ingin sekali aku mengobati rindu dan menemani batin rindu itu hingga dahaganya
sembuh dengan senyum akhir. “Rindu Yang Renta” semoga berujung baik dan
berbalas Syurga!
0 komentar