2013, MENUNGGU PKS OPOSISI?

18.10.00

Oleh : DHARMA SETYAWAN

Dharma Setyawan
Bermanuver itu melelahkan, ibarat pesawat gaya manuver adalah berspekulasi pada nasib. Karakter ingin dilihat tampak profesional dalam mengendarai pesawat dilakukan salah satunya dengan manuver. Bahkan tidak jarang, aksi manuver ini dipertontonkan kepada para pejabat pada hari-hari peringatan nasional. Manuver para pilot itu pun mendapat tepuk tangan yang meriah jika sukses. Namun jika takdir tidak berpihak, manuver oleh para pilot tersebut bisa berujung pada kematian diri bahkan membahayakan nyawa para penduduk jika pesawat jatuh di pemukiman warga. Bermanuver juga bukan tabiat negarawan, karena sebenarnya dalam tingkat keamanan bermanuver dalam mengendarai pesawat tidak ada keuntungan bagi tata aturan sebagai pilot. Tapi hal itu dilakukan sebagai bentuk tradisi beberapa negara yang mencoba untuk menyajikan kegagahan peralatan tempur dalam suatu negara. Toh pada kenyataan perang manuver pesawat tidak dibutuhkan, yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk melawan atau bertahan dengan alat tempur yang ada dalam negara dan tidak lagi bermanuver ketika terjadi perang.
Manuver PKS dan Daya Tawar
Begitu juga dalam politik, manuver partai politik juga terjadi pada wilayah kekuasaan yang harus dimenangkan. Golkar dan PKS banyak yang terlihat paling canggih dalam memainkan manuver politik tersebut. Dalam kasus terdekat yaitu menyangkut resufle yang telah dilakukan Pemerintahan SBY. Manuver politik beberapa kali dilakukan oleh kedua partai tersebut. Namun PKS lebih menarik untuk dibahas kali ini. Secara pengalaman PKS kalah jauh dengan Golkar yang sudah berkuasa sejak 32 tahun orde baru. Tapi PKS adalah partai yang lahir pada era reformasi dan menempati urutan ke 4 di pemilihan umum 2009. Beberapa kali PKS melakukan manuver dengan mengancam akan keluar dari koalisi jika salah satu menteri dicopot dari kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. PKS melakukan itu dalam upaya untuk mendongkrak daya tawar partai terhadap pemerintahan SBY.
Jika dibandingkan tahun 2004 kebawah. PKS adalah partai yang sangat fenomenal. Partai manuver bukanlah stigma yang disematkan seperti hari ini kepada PKS yang dulu dikenal sebagai partai dakwah. PKS yang saat itu di pimpin oleh Hidayat Nur Wahid (HNW) sangat tajam melakukan upaya meraih simpati masyarakat. Sehingga suara PKS saat itu melonjak sangat signifikan. Beberapa hal yang membuat PKS sebagai harapan saat itu adalah dengan memunculkan berpolitik dengan cara santun. PKS bahkan dikenal sebagai partai yang paling responsif terhadap bencana alam, banjir, gempa dan lainnya dengan kader yang dikenal sangat militan dan solid. Pada posisi pemimpin, HNW mencontohkan hal yang baik bahkan pada saat dirinya memimpin MPR 2004-2009 dengan dirinya menolak mobil mewah. PKS juga mengembalikan uang partai 1,9 miliar kepada negara terkait dengan dana gratifikasi, yang dipartai lain menuai banyak masalah. Kesederhanaan HNW dan kelincahannya memainkan peran publik mampu mengalahkan PAN yang dipimpin Amien Rais yang tidak lain adalah tokoh central reformasi. PKS pada saat itu menjadi salah satu partai yang membawa perubahan untuk Indonesia. PKS merupakan partai anak muda dan setidaknya mampu membangun citra positif pada partai politik yang selama ini mengalami krisis kepercayaan masyarakat.
Pragmatisme atau Oposisi
Namun pada kabinet SBY jilid II, PKS mulai memperlihatkan taring pragmatisme sebagaimana partai lain. Menurut pengamat politik Ari wibowo dari Universitas Airlangga menyatakan bahwa PKS sejak awal adalah partai yang sadar akan kekuasaan. (Kompas, 17 Oktober 2011). Kekuasaan inilah yang kemudian menjadi hal yang sangat membedakan antara PKS pada kepemimpinan HNW, dan PKS pada kepemimpinan lainnya. Sadar akan kekuasaan bukan berarti haus kekuasaan, namun memahami bahwa dengan berada pada posisi kekuasaan lebih baik dengan bekerja dari pada pada wilayah oposisi, yang bersikap kritis dari luar. Cara pandang PKS yang menganggap penting kekuasaan memang tidak salah. Tapi mempertahankan kekuasaan pada kepemimpinan SBY yang tidak efektif dan banyaknya koalisi pragmatis yang bergabung akan mengecewakan konstituen PKS diluar kader.
 Pada Pemilu 2004, PKS memperoleh suara sebanyak 7,34% (8.325.020) dari jumlah total dan mendapatkan 45 kursi di DPR dari total 550 kursi di DPR. Pada 9 Juli 2008 PKS memperoleh nomor urut 8 dalam pemilu 2009 melalui Pengundian Nomor Urut Partai yang diadakan secara resmi oleh KPU. Partai Keadilan Sejahtera mendapat 57 kursi (10%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 8.206.955 suara (7,9%) (sumber : wikipedia). Dari hasil kedua pemilu di atas terjadi penurunan jumlah pemilih terhadap PKS. Hal ini terjadi akibat manuver-manuver PKS yang terbukti banyak merugikan suara PKS sendiri. Manuver yang kurang simpati adalah dengan menampilkan iklan PKS yang mengangkat nama Soeharto sebagai tokoh bangsa. Pada sisi lain PKS juga menokohkan tokoh Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan KH Hasym Asyhari. Manuver yang bermaksud meraih simpati dukungan malah mendapat kecaman dari berbagai pihak. Dalam manuver ini PKS bukan menambah simpati tapi malah memperuncing pertarungan antara dua ormas Islam tersebut yang faktanya memiliki partai tersendiri. 
Kemudian dengan yang terjadi saat ini adalah PKS mengalami penurunan jumlah menteri dimana Kementrian Riset dan Teknologi di resufle oleh SBY sehingga PKS hanya memiliki 3 menteri. Ancaman akan keluar koalisi disampaikan oleh kader kepada pemerintahan SBY. Resufle yang tidak mengena substansi permasalahan itu hanya menjadikan kementrian bertambah gemuk. PKS pada akhirnya kehilangan daya tawar, manuver yang dilakukan dengan mengancam akan keluar koalisi tidak membuat geming SBY untuk tidak melakukan resufle. Pengamat Ari wibowo menambahkan bahwa PKS memang sejak dulu berkoalisi cenderung bermain dua kaki. Salah satu kaki bergabung dengan koalisi di kekuasaan dan kaki lain beroposisi terhadap kekuasaan.
PKS perlu kembali pada jalan yang benar. Jika ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap PKS, maka PKS perlu mengambil jalan keberanian untuk tidak berpura-pura pada kabinet yang sudah mengalami pesimisme kepercayaan. Banyaknya kementrian dan gemuknya birokrasi mengindikasikan sampai di 2014 tidak akan ada perubahan yang signifikan dalam kabinet di pemerintahan terakhir SBY. Sudah sangat jelas bahwa pada tiap-tiap kementrian telah mengalami gerusan pragmatisme sehingga korupsi sudah sangat tercium tinggal meledakkannya di permukaan. KPK, Media dan sejumlah aktivis telah banyak mencium gelagat ketidakberesan dan ketidaktegasan kepemimpinan SBY dalam memberantas korupsi. PKS jika ingin dikenal sebagai partai reformis tentu harus mempertahankan kredebilitas sebagai partai yang benar pro terhadap rakyat. Jangan sampai PKS menjadi bagian koalisi pragmatis yang membuat rakyat semakin tidak memiliki kepastian dimasa depan akibat korupsi kalangan elit.
PKS sudah saatnya mencari jalan lain bersama partai di luar pemerintah dan membuat kebijakan alternatif. Kementrian-kementrian vital yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu mendapat fokus strategis sehingga tidak dikuasai oleh asing. PKS bukan hanya punya keingingan menang dalam pemilu tapi juga harus melakukan pengamanan terhadap aset-aset negara yang condong dikuasai asing. PKS harus mensudahi manuver-manuver yang tidak substansi dan ancam-mengancam yang tidak signifikan. Karena jabatan menteri bukanlah kekuasaan semata tapi tanggung jawab luhur untuk sepenuhnya dioptimalkan untuk memenuhi kepentingan rakyat. Bukan penguasa, pengusaha dan politik yang mengejar rente. Sehebat-hebat manuver politik suatu saat pasti akan jatuh. 2013 menunggu PKS oposisi? 

You Might Also Like

3 komentar

Ayo Gabung

SUBSCRIBE NEWSLETTER

Get an email of every new post! We'll never share your address.

Dharma

Dharma
Selamatkan kekayaan Indonesia

Ad Banner

Ad Banner