Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Dharma Setyawan |
Bermanuver itu melelahkan, ibarat
pesawat gaya manuver adalah berspekulasi pada nasib. Karakter ingin dilihat
tampak profesional dalam mengendarai pesawat dilakukan salah satunya dengan
manuver. Bahkan tidak jarang, aksi manuver ini dipertontonkan kepada para
pejabat pada hari-hari peringatan nasional. Manuver para pilot itu pun mendapat
tepuk tangan yang meriah jika sukses. Namun jika takdir tidak berpihak, manuver
oleh para pilot tersebut bisa berujung pada kematian diri bahkan membahayakan
nyawa para penduduk jika pesawat jatuh di pemukiman warga. Bermanuver juga
bukan tabiat negarawan, karena sebenarnya dalam tingkat keamanan bermanuver
dalam mengendarai pesawat tidak ada keuntungan bagi tata aturan sebagai pilot.
Tapi hal itu dilakukan sebagai bentuk tradisi beberapa negara yang mencoba
untuk menyajikan kegagahan peralatan tempur dalam suatu negara. Toh pada
kenyataan perang manuver pesawat tidak dibutuhkan, yang dibutuhkan adalah kemampuan
untuk melawan atau bertahan dengan alat tempur yang ada dalam negara dan tidak
lagi bermanuver ketika terjadi perang.
Manuver PKS dan Daya Tawar
Begitu juga dalam politik, manuver
partai politik juga terjadi pada wilayah kekuasaan yang harus dimenangkan.
Golkar dan PKS banyak yang terlihat paling canggih dalam memainkan manuver
politik tersebut. Dalam kasus terdekat yaitu menyangkut resufle yang telah
dilakukan Pemerintahan SBY. Manuver politik beberapa kali dilakukan oleh kedua
partai tersebut. Namun PKS lebih menarik untuk dibahas kali ini. Secara
pengalaman PKS kalah jauh dengan Golkar yang sudah berkuasa sejak 32 tahun orde
baru. Tapi PKS adalah partai yang lahir pada era reformasi dan menempati urutan
ke 4 di pemilihan umum 2009. Beberapa kali PKS melakukan manuver dengan
mengancam akan keluar dari koalisi jika salah satu menteri dicopot dari kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) II. PKS melakukan itu dalam upaya untuk mendongkrak
daya tawar partai terhadap pemerintahan SBY.
Jika dibandingkan tahun 2004 kebawah.
PKS adalah partai yang sangat fenomenal. Partai manuver bukanlah stigma yang
disematkan seperti hari ini kepada PKS yang dulu dikenal sebagai partai dakwah.
PKS yang saat itu di pimpin oleh Hidayat Nur Wahid (HNW) sangat tajam melakukan
upaya meraih simpati masyarakat. Sehingga suara PKS saat itu melonjak sangat
signifikan. Beberapa hal yang membuat PKS sebagai harapan saat itu adalah
dengan memunculkan berpolitik dengan cara santun. PKS bahkan dikenal sebagai
partai yang paling responsif terhadap bencana alam, banjir, gempa dan lainnya
dengan kader yang dikenal sangat militan dan solid. Pada posisi pemimpin, HNW
mencontohkan hal yang baik bahkan pada saat dirinya memimpin MPR 2004-2009
dengan dirinya menolak mobil mewah. PKS juga mengembalikan uang partai 1,9
miliar kepada negara terkait dengan dana gratifikasi, yang dipartai lain menuai
banyak masalah. Kesederhanaan HNW dan kelincahannya memainkan peran publik
mampu mengalahkan PAN yang dipimpin Amien Rais yang tidak lain adalah tokoh
central reformasi. PKS pada saat itu menjadi salah satu partai yang membawa
perubahan untuk Indonesia. PKS merupakan partai anak muda dan setidaknya mampu
membangun citra positif pada partai politik yang selama ini mengalami krisis
kepercayaan masyarakat.
Pragmatisme atau Oposisi
Namun pada kabinet SBY jilid II, PKS
mulai memperlihatkan taring pragmatisme sebagaimana partai lain. Menurut
pengamat politik Ari wibowo dari Universitas Airlangga menyatakan bahwa PKS
sejak awal adalah partai yang sadar akan kekuasaan. (Kompas, 17 Oktober 2011).
Kekuasaan inilah yang kemudian menjadi hal yang sangat membedakan antara PKS
pada kepemimpinan HNW, dan PKS pada kepemimpinan lainnya. Sadar akan kekuasaan
bukan berarti haus kekuasaan, namun memahami bahwa dengan berada pada posisi
kekuasaan lebih baik dengan bekerja dari pada pada wilayah oposisi, yang
bersikap kritis dari luar. Cara pandang PKS yang menganggap penting kekuasaan
memang tidak salah. Tapi mempertahankan kekuasaan pada kepemimpinan SBY yang
tidak efektif dan banyaknya koalisi pragmatis yang bergabung akan mengecewakan
konstituen PKS diluar kader.
Pada Pemilu 2004, PKS memperoleh suara
sebanyak 7,34% (8.325.020) dari jumlah total dan mendapatkan 45 kursi di DPR
dari total 550 kursi di DPR. Pada 9 Juli 2008 PKS memperoleh nomor urut 8 dalam
pemilu 2009 melalui Pengundian Nomor Urut Partai yang diadakan secara resmi
oleh KPU. Partai Keadilan Sejahtera mendapat 57 kursi (10%) di DPR hasil
Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 8.206.955 suara
(7,9%) (sumber : wikipedia). Dari hasil kedua pemilu di atas terjadi penurunan
jumlah pemilih terhadap PKS. Hal ini terjadi akibat manuver-manuver PKS yang
terbukti banyak merugikan suara PKS sendiri. Manuver yang kurang simpati adalah
dengan menampilkan iklan PKS yang mengangkat nama Soeharto sebagai tokoh
bangsa. Pada sisi lain PKS juga menokohkan tokoh Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan
dan KH Hasym Asyhari. Manuver yang bermaksud meraih simpati dukungan malah
mendapat kecaman dari berbagai pihak. Dalam manuver ini PKS bukan menambah
simpati tapi malah memperuncing pertarungan antara dua ormas Islam tersebut
yang faktanya memiliki partai tersendiri.
Kemudian dengan yang terjadi saat ini
adalah PKS mengalami penurunan jumlah menteri dimana Kementrian Riset dan
Teknologi di resufle oleh SBY sehingga PKS hanya memiliki 3 menteri. Ancaman
akan keluar koalisi disampaikan oleh kader kepada pemerintahan SBY. Resufle
yang tidak mengena substansi permasalahan itu hanya menjadikan kementrian
bertambah gemuk. PKS pada akhirnya kehilangan daya tawar, manuver yang
dilakukan dengan mengancam akan keluar koalisi tidak membuat geming SBY untuk
tidak melakukan resufle. Pengamat Ari wibowo menambahkan bahwa PKS memang sejak
dulu berkoalisi cenderung bermain dua kaki. Salah satu kaki bergabung dengan
koalisi di kekuasaan dan kaki lain beroposisi terhadap kekuasaan.
PKS perlu kembali pada jalan yang
benar. Jika ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap PKS, maka PKS perlu
mengambil jalan keberanian untuk tidak berpura-pura pada kabinet yang sudah
mengalami pesimisme kepercayaan. Banyaknya kementrian dan gemuknya birokrasi
mengindikasikan sampai di 2014 tidak akan ada perubahan yang signifikan dalam
kabinet di pemerintahan terakhir SBY. Sudah sangat jelas bahwa pada tiap-tiap
kementrian telah mengalami gerusan pragmatisme sehingga korupsi sudah sangat
tercium tinggal meledakkannya di permukaan. KPK, Media dan sejumlah aktivis
telah banyak mencium gelagat ketidakberesan dan ketidaktegasan kepemimpinan SBY
dalam memberantas korupsi. PKS jika ingin dikenal sebagai partai reformis tentu
harus mempertahankan kredebilitas sebagai partai yang benar pro terhadap
rakyat. Jangan sampai PKS menjadi bagian koalisi pragmatis yang membuat rakyat
semakin tidak memiliki kepastian dimasa depan akibat korupsi kalangan elit.
PKS sudah saatnya mencari jalan lain
bersama partai di luar pemerintah dan membuat kebijakan alternatif.
Kementrian-kementrian vital yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu
mendapat fokus strategis sehingga tidak dikuasai oleh asing. PKS bukan hanya
punya keingingan menang dalam pemilu tapi juga harus melakukan pengamanan
terhadap aset-aset negara yang condong dikuasai asing. PKS harus mensudahi
manuver-manuver yang tidak substansi dan ancam-mengancam yang tidak signifikan.
Karena jabatan menteri bukanlah kekuasaan semata tapi tanggung jawab luhur
untuk sepenuhnya dioptimalkan untuk memenuhi kepentingan rakyat. Bukan
penguasa, pengusaha dan politik yang mengejar rente. Sehebat-hebat manuver
politik suatu saat pasti akan jatuh. 2013 menunggu PKS oposisi?
3 komentar
catatan yang menarik pak....
BalasHapusanalisis yang menarik pak....
BalasHapusocre makasih Pak. Ini tulisan lama 2011 tapi sampai 2013 ini baru aku posting.
BalasHapus