oleh : Dharma
Setyawan
Ketua Komunitas Hijau, Alumnus S2 UGM
Terbit di Koran Editor, 08 Agustus 2014
Hiruk
pikuk pilpres menjadikan kita absen terhadap isu-isu yang terjadi di berbagai
daerah. Konflik sengketa tanah terjadi antara warga dan petani pemilik tanah di
Karawang dengan salah satu perusahaan pengembang, PT. Sumber Air Mas Pratama
(PT SAMP). Perusahaan mengklaim kepemilikan tanah seluas 350 hektar yang
berlokasi di 4 Desa; Margamulya, Wanakerta, dan Wanasari, Telukjambe Barat di
Kabupaten Karawang. Pihak-pihak yang peduli terhadap hak-hak rakyat ini, harus
mendesak Capres terpilih untuk memberi keadilan dan ketegasan presiden ke depan
bicara ‘Tanah”.
Sepanjang
bulan Juni sudah ada beberapa kasus dimana warga mendapat tindakan
diskriminasi, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat diantaranya
yaitu penggusuran paksa, penangkapan terhadap 8 orang, dan kekerasan terhadap
warga Karawang yang bersengketa dengan pengembang yang terkenal dengan sebutan Agung
Podomoro Land tersebut. Di tempat lain, Kriminalisasi juga terjadi terhadap 6
orang warga Ulu Kabupaten Musi Banyu Asin di Taman Marga Satwa Danku (Sumatera
Selatan). Kejadian ini mengakibatkan 1 orang meninggal buntut berlarutnya kasus
sengketa tanah antara warga dengan PT Agro Bukit (Agro Indomas Grup). Konflik
tanah di daerah lainnya membutuhkan upaya bersama untuk mengungkap konflik
tanah yang tidak ada ujung keadilan bagi rakyat miskin.
Tanah Milik Siapa?
Sejarah
kerajaan di Nusantara tidak ada gagasan kepemilikan tanah secara individu. Seorang
tuan tanah tidak memiliki tanah, dia memiliki petani-petani dan kelompok
pengiring. Ketika sang Raja menjatahkan tanah kepada bawahannya, maka dia akan
membawa petani dan rombongannya untuk mengusir penduduk dan menguasai tanah.
Dengan hasil dari pertanian tersebut petani dan rombongan pengiring membayar
pajak per kepala. (Onghokham: 2008). Gagasan kepemilikan tanah baru
diperkenalkan oleh kekuasaan kolonial. VOC (Verenigden
Oostindische Compaqnie) sebagai penguasa perdagangan hasil rempah-rempah
memperkenalkan tantang kepemilikan tanah, dimana VOC memaksa tuan tanah untuk
membayar pajak. Baru Inggris kemudian memperkenalkan hukum Barat bahwa seluruh
tanah diserahkan kepada negara, dimana negara dapat menyewakan kepada kepala
desa dan kepala desa menyewakannya kepada petani (Bernhard H.M Vlekke: 1961).
Ketika
Indonesia merdeka muncullah kebijakan Land Reform (reforma agrarian) yaitu
Nasionalisasi asset perkebunan yang pernah dikuasai Belanda dan diterbitkannya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun
1960 dengan membatasi kepemilikan tanah pribadi dan memberikan hak kepada
setiap petani atas tanah. Namun karena para tuan tanah menghindari UUPA dengan
berbagai cara, para petani kemudian di organisir oleh organisai petani yang
berafiliasi politik seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia
(RTI), Persatuan Tani Indonesia (Petani) dan organisai lainnya. Partai Komunis
Indonesia (PKI) contohnya menggunakan isu land
reform untuk mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas bertentangan
yaitu ‘tuan tanah’ (setan desa) dan ‘petani’. (D.N. Aidit, Kaum Tani
Mengganyang Setan Desa: 1964). Ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI, pembantaian
kaum komunis sebagaian besar adalah pembantaian tuan tanah kepada petani miskin
yang takut kehilangan tanahnya. Abdurahman Wahid (Gusdur) menyebutkan sekitar
40% properti perkebunan negara itu didapat dari merampas hak para petani miskin
(Journal of Konsortium Pembaruan Agraria)
Perlawanan Rakyat
Tanah
adalah satu prasyarat kekuasaan terpenuhi. Tanah dalam pemikiran Malik bin Nabi
(1948) adalah satu unsur peradaban selain manusia dan waktu. Begitu pentingnya
tanah sehingga falsafah jawa menyebut “sadumuk
bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi pati” yang berarti ‘satu sentuhan
kening, satu jari luasnya bumi bertaruh nyawa’. Sadumuk bathuk dimaknai
penghinaan berat, orang yang keningnya ditunjuk sebagai ungkapan tidak mampu
berfikir. Dalam adat Jawa dikenal dengan istilah ‘amuk’.
Agus Sunyoto
(2011) menjelaskan bagaimana Antonio
Pigafeta, seorang pelaut Italia yang datang ke Jawa pada 1552 Masehi
menyaksikan orang-orang Jawa melakukan ‘amuk’ beramai-ramai sampai korban amuk
menemui kematian. Penghinaan oleh Kenpetei
kepada rakyat selama pendudukan Dai
Nippon juga berujung ‘amuk’ oleh rakyat Surabaya tanggal 11-13 September
1945 dalam bentuk penyerangan, penyembelihan Kenpetei sampai meminum darah
mereka. Falsafah ini menandakan satu tekad manusia mempertahankan tanah sebagai
hak mutlak.
Orang
Madura memiliki prinsip yang sama “tembang poteh mata angu’an poteh tolang” yang
bermakna ‘dari pada putih mata lebih baik
putih tulang’. Esensi makna prinsip tersebut dikenal dengan dari pada malu
lebih baik mati. Masyarakat Madura memiliki tradisi ‘carok’ berkelahi sampai mati untuk menebus harga diri dan
kehormatan yang diinjak-injak. Orang Bugis dan Makassar juga memiliki prinsir ‘Siri’ yaitu tradisi berkelahi dalam
satu sarung dengan saling tikam menggunakan badik satu sama lain hingga salah
satu tewas atau tewas keduanya. Pepatah tersebut dikenal “Uttetong ri-ade’e, najagainnami siri’ku (aku taat kepada adat,
karena dijaganya siriku)
Tradisi-tradisi
adat nusantara di atas adalah satu bentuk upaya mempertahankan hak mereka
terutama saat-saat penjajahan terjadi. Walaupun dalam ranah hukum kontemporer
saat ini tidak dibenarkan—setelah Indonesia merdeka dan memiliki hukum mengikat
ke semua suku—namun tradisi di atas pernah dipegang erat oleh suku-suku di
nusantara untuk mempertahankan tanah mereka. Perlawanan terjadi upaya hukum
jelas mustahil akan member keadilan pada mereka. Sepanjang abad 18 dan 19
hampir tiap tahun terjadi pemberontakan petani local di Indonesia. James Scoot
(2000) menyebutnya sebagai perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance).
Tanah Untuk
Rakyat
Narasi Presiden tentang ‘tanah’ butuh penegasan.
Mengingat UUPA tahun 1960 yang menjadi cita-cita founding fathers tidak ada
upaya pemimpin saat ini untuk melaksanakan distribusi tanah ke petani miskin.
Konflik yang terjadi di berbagai daerah selalu absen dari perbincangan publik.. Konflik di Karawang baru-baru ini, dan
konflik yang sudah lama seperti di Riau, Lampung dan Kalimantan harus
diselesaikan dengan memberi keadilan pasti kepada rakyat yang lelah dan selalu
kalah dengan pemilik modal. Upaya untuk mencetak 2 juta lahan pertanian baru,
masih dirasakan pesimis mengingat lahan pertanian tersebut akan dikelola oleh
negara sebagai pemilik sah tanah. Jika upaya distribusi tanah ke petani miskin
hanya janji-janji, sampai kapanpun yang memenangkan perebutan tanah sejak era
kolonial sampai pemerintahan Indonesia saat ini adalah penguasa dan pengusaha.
Persoalan lain adalah banyaknya hutan Indonesia yang dibabat habis oleh asing
dan dijadikan perkebunan sawit dan karet. Ironinya, penguasaan hasil perkebunan
pada akhirnya mengalir ke negara asing. Alih-alih bicara investasi, tanah,
tanaman, dan hasil panen pada akhirnya memberi keuntungan untuk negara lain. Sipapun
Presiden yang terpilih, tidak ada pilihan lain kecuali salah satu unsur
peradaban ini direbut kembali dan menegaskan bersama bahwa “Tanah Untuk Rakyat”!
0 komentar