Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Ketua
Komunitas Hijau
Ghazali pernah bicara “Mazhab Hissijat” atau sama artinya
dengan “Mazhab Perasaan”. Perasaan itu tumbuh seperti tunas, berkembang dapat
tumbuh baik atau mati karena takdir. Perasaan muncul lepas landas tanpa ada
yang meminta namun pula, tak ada yang mampu untuk menolak. Perasaan!
bagaimanapun kita melawannya, dia tetap menjadi polah tingkah genuine yang
tidak mungkin dapat diimitasi. Karena perasaan itu hadir tiba-tiba, tanpa
dinyana-nyana, tanpa direka-reka berjalan mulus, cepat dan mengagetkan si
penerima perasaan.
Dalam Capita selecta, Pahlawan M Natsir mengutip ungkapan
David Hume tentang perasaan. David Hume pernah mengemukakan bahwa, “kesudahannya
semua kejakinan kita kembali kepada perasaan. Akal semata-mata tidak memberi kejakinan
jang sebenarnya, walaupun dimana. (M Natsir, Capita Selecta : 1954).
Nafsu dan perasaan itu sangat bertolak belakang. Ibarat
tubuh keduanya saling memunggungi. Pada satu sisi mereka sama, sama dalam
konteks hasrat namun pada sisi lain keduanya berbeda dalam ketegasan sikap.
Jika nafsu sering mempredatori keadaan hasrat, memainkan laku pemangsa dan
berimplementasi pada ruang liberalnya. Perasaan memperlihatkan anti-thesis nafsu,
Perasaan menghibur, memberi kenyamanan, tulus dan hadir berbuat baik pada yang
baik.
“Mazhab Perasaan” lebih lekat pada upaya membangun politik
cinta. Dari sekian konflik batin, “Mazhab perasaan” menjadi peta batin saat
semua kecerdasan akal tumpul dan tersesat bahkan sampai jatuh pada jumawa
kesombongan. Akal memang punya kemenangannya sendiri. Karena akal selalu
bermesraan dengan tajdid (pembaharuan). Soal perasaan menjadi lain, perasaan
tidak mungkin selingkuh dengan akal karena perasaan terlalu setia dengan hati.
Yang perlu diketahui bahwa, perasaan hanya sering melakukan lobi kepada akal
agar hati dan akal dapat menemukan kebenaran yang berpusat pada teologi.
Soal cinta! Perasaan seyogyanya lebih mendominasi dari
keberadaan akal. Cinta pada siapapun! Perasaan juga harus berkoalisi dengan
akal untuk menemukan perasaan cinta. Perasaan cinta yang tidak menemukan akal
selalu riuh oleh romantisme semu. Begitu sebaliknya, akal yang tidak
berperasaan selalu akan menimbulkan kezhaliman, eksploitasi, mengangkangi
bahkan mengkapitalisasi. “Mazhab perasaan” yang berakal akan mampu menciptakan
sejarah cintanya yang rasional. Mimpi dan harapan bahagianya diamini zaman dan
yang pasti kadar cintanya selalu tumbuh berkembang dan anti klimaks.
Bulan "Mazhab Perasaan" Menolak Valentine.
0 komentar