Oleh : DHARMA SETYAWAN
Public
Policy KAMMI Kota Yogyakarta
Perempuan dalam
kekuasaan perlu mendapat tempat yang baik untuk mendapatkan hak nya sebagai
manusia. Ziper System sebagai penghormatan negara terhadap perwakilan
perempuan di ranah kepemimpinan memang telah lama digagas. Dengan harapan dari
tiap 3 perwakilan ada 1 perempuan yang mewakili di tingkat kepemimpinan. Namun
rakyat (baca: wanita khusunya) masih apriori dengan keberadaan perempuan untuk
menjadi wakil mereka di pemerintahan. Amerika yang menyatakan sebagai negara
demokratis pun belum ada dalam sejarah memilih pemimpin perempuan. Indonesia
sebagai negara new democrasi, telah memunculkan Megawati Soekarno Putri sebagai
presiden Republik Indonesia. Keberadaan perempuan sudah mulai dihargai sebagai
bentuk implementasi ziper system.
Perempuan dan
Relasi Kuasa
Namun perempuan
dalam lingkup kekuasaan juga tidak menjamin mampu untuk memberi tempat teduh
bagi para perempuan yang berharap terwakili oleh keberadaan mereka. Selain itu
kancah perempuan dalam bergelut lingkup kekuasaan dan dunia usaha semakin
memberi warna gelap bagi wanita untuk berkiprah dalam kancah demokrasi dan modernisme hidup. Jika dulu Plato berusaha menerapkan
sistem republik di kota dan prinsip persamaan perempuan dengan laki-laki di
sektor-sektor pendidikan dan kebudayaan. Tetapi Plato gagal menerapkannya
karena kritikan para pakar dan filosof pada waktu itu. Bahkan Aristoteles
membenarkan, bahwa alam tidak membekali perempuan dengan kemampuan berfikir. Aristoteles
menyebut “perempuan bagi laki-laki seperti budak kepada tuannya”. Perempuan
bagi pandangan Aritoteles sangat menggambarkan betapa kejamnya
masyarakat masa lalu menganggap perempuan adalah sosok lemah, tempat
penindasan, dan objek kesewenang-wenangan para laki-laki.
Apa yang diungkapkan
aristoteles kala itu memang menyudutkan perempuan sebagai gender lemah dan
tidak berdaya. Namun pada konteks praksisnya telah banyak wanita yang mampu
merubah tatanan dunia. Kita bisa melihat bagaiamana perlawanan yang dilakukan
oleh Al-Bisysyi (ratu Persia), Bandranika (srilanka), Indira Ghandi (India),
Fathimah Ali Jinah (Pakistan), Margareth Teacher (Inggris), Corazon Aquino
(Philipina), Golda Mesir (Israel). Di Indonesia sendiri banyak para perempuan
yang memainkan perannya dalam perjuangan kemerdekaan Cut Nyak Dien, R.A
Kartini, Fatmawati, dll. Piagam PBB pun pada pendahuluannya telah desebutkan
“Kita masyarakat Perserikatan Bangsa-Bangsa telah bersumpah kepada diri kita
untuk menegaskan lagi kepercayaan pada hak-hak politik, harkat dan martabat
manusia. Dan bahwa laki-laki, perempuan dan seluruh anggota masyarakat baik
besar maupun kecil mempunyai hak yang sama.”
Masalah hak
perempuan dalam pencalonan memiliki dua dimensi yaitu perempuan menjadi anggota
parlemen dan ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen. Syariat Islam
memberikan kesempatan kepada perempuan dalam kewenangan umum dan kewenangan
khusus. Perempuan memiliki kekuasaan seperti yang dimiliki laki-laki,
sebagaiamana memiliki kekuasaan dalam mengatur kepentingan-kepentingan khusus
dirinya. Ia pun memiliki hak dalam menggunakan hartanya dalam jual beli, hibah,
gadai, persewaan dan sebagainya. Suaminya dan siapapun tidak mempunyai hak
mencampuri urusan itu. Syariat menguasakan itu kepadanya dengan membimbingnya
agar memelihara kehormatan dan kedudukannya. (DR.Muhammad Anis Qasim J,
Perempuan dan Kekuasaan : 1998)
Feminisme Jerat
Kuasa dan Korupsi
Namun akhir-akhir
ini banyak para perempuan yang masuk dalam tarikan kekuasaan sampai terjerat
korupsi. Mulai dari Artalita Suryani (Ayin) tersangka kasus suap jaksa Urip
Trigunawan, Melinda Dee karyawan Bank yang menjadi tersangka pembobol rekening
salah satu bank swasta, Mindo Rosalina tersangka kasus suap di Kemenpora, Andi
Nurpati terlibat kasus surat palsu MK yang berujung pada proses kursi haram di
DPR, Nunun Nurbaety tersangka suap cek pesawat ke anggota DPR bersama Miranda
Gultom sebagai tokoh central yang terpilih menjadi Deputi Senior Bank
Indonesia, Wa Ode Nurhayati politisi PAN yang menjadi tersangka mafia anggaran
di DPR dan Neneng istri Nazaruddin sebagai pemegang beberapa proyek di beberapa
proyek pemerintahan.
Apa yang terjadi
pada perempuan dan pertumbuhan demokrasi Indonesia perlu kita renungkan kembali
sebagai bentuk fenomena baru. Fenomena perempuan dalam permasalahan ini adalah
gejolak feminisme dalam jerat kekuasaan dan korupsi. Perempuan yang terjun
dalam kancah kekuasaan bisa menjadi positif atau negatif sebagaimana para
laki-laki yang tidak jauh berbeda. Namun sikap skeptis masa lalu dan hari ini
dalam pandangan masyarakat terhadap perempuan tidak pernah terungkap dalam
dialektika-dialektika umum. Masyarakat cukup melakukan penilainan dan menganggap perempuan tetap menjadi bias gender
yang selalu tidak mampu untuk mengurusi wilayah publik. Atas kasus beberapa
wanita di atas kita patut prihatin, tapi dalam ranah masa depan para perempuan
perlu melakukan behaviorisme posifistik sebagai bentuk mengembalikan nama
baik perempuan pada kancah relasi kepemimpinan dan kekuasaan.
Apa yang terjadi
pada kasus-kasus korupsi di Indonesia cukup memberikan argumen kuat bahwa
perempuan sangat kental dalam ruang kuasa dan korupsi. Contoh kasus Antasari
Azhar bersama Caddi golf Rani Juliani juga semakin membuktikan bahwa feminisme
menjadi jerat kelemahan para pejabat untuk jatuh dalam cengkeraman kekuasaan depotisme.
Anggapan ini juga tidak berlebihan mengingat banyak tokoh yang sudah tersangkut
kasus dengan para perempuan-perempuan. Mulai dari Ulama, Anggota Dewan, Bupati,
Gubernur dan perjabat lainnya. Feminisme menjadi petaka dalam kekuasaan
sehingga korupsi menjadi bagian paling kuat untuk menjadi alasan terjadinya
kasus. Feminisme hadir di tengah-tengah situasi kacau yang sedang terjadi terkait conflic
of interest. Feminisme memang menjadi relasi yang cukup kuat dalam bentuk
godaan para laki-laki dengan slogan negatif “harta, wanita dan tahta”.
Semoga hadirnya
perempuan dalam kuasa tidak menjadi bentuk tindakan offside para wanita
hadir di tengah situasi rumit negeri ini dalam menyelenggarakan negara. Gerakan
feminisme dalam kekuasaan perlu memberikan anti tesis bagi para perempuan yang
mengalami krisis kepercayaan publik untuk sama-sama menuntaskan kasus korupsi.
Banyaknya gerakan feminisme dalam wilayah LSM, Ormas, Gerakan Mahasiswa dan
sayap-sayap gerakan lain perlu membangun hubungan linier dengan pegiat anti
korupsi. Jika kemudian hal ini terus berlangsung maka perempuan dalam kekuasaan
akan semakin meneguhkan sikap negatif masyarakat untuk memberikan
kepercayaannya kepada perempuan dan mimpi ziper system hanyalah mimpi kosong.
Mimpi kosong itu pun hadir di tengah
pesimisme bangsa yang tidak dapat membedakan lagi mana pemimpin laki-laki dan
mana pemimpin perempuan yang faktanya semua menjadi generik dan koruptif jika
sudah ada pada wilayah kekuasaan.
0 komentar