Oleh
: Dharma Setyawan
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI)
Legitimasi menurut Wikipedia adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan, dapat pula diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan
yang diambil oleh seorang pemimpin. Dalam konteks legitimasi, maka
hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan
adalah keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak kebijakan yang
diambil oleh sang pemimpin. sedangkan Legitimasi tradisional mengenai seberapa jauh masyarakat mau menerima kewenangan, keputusan atau kebijaksaan yang diambil pemimpin dalam lingkup tradisional, seperti dalam kehidupan keraton
yang seluruh masyarakatnya terikat akan kewenagan yang dipegang oleh
pimpinan mereka dan juga karena hal tersebut dapat menimbulkan gejolak
dalam nurani mereka bahwa mereka adalah bawahan yang selalu menjadi alas
dari pemimpinnya.
Wilayah kekuasaan semestinya adalah tempat
pijakan pasti dalam konsep perbaikan kenegaraan. Maka kekuasaan menjadi penting
untuk membentuk aturan-aturan dalam fungsinya memberi pelayanan kepada
masyarakat umum. Kekuasaan yang didukung oleh kelompok mayoritas tentu akan
lebih signifikan dan terlegetimasi dalam menjalankan kekuasaan. Sebaliknya
kekuasaan yang tidak mendapat dukungan mayoritas kekuasaan akan mengalami
hambatan dalam menjalankan kekuasaan. Kemudian muncullah gagasan-gagasan
kekuasaan sebagai alasan nyata dalam mempertahankan kekuasaan baik itu secara
individu atau kelompok, sehingga menjawab pertanyaan kenapa seseorang layak
untuk diberi kekuasaan oleh rakyat.
Logika yang seharusnya diambil adalah,
rakyat tetap menjadi yang paling berdaulat dan berhak menentukan siapa yang
akan menjadi pemimpin. Masalah mekanisme yang akan di jalankan bisa sangat
beragam mulai dari demokrasi langsung atau tidak langsung. Bahkan musyawarah
dengan mempercayakan orang terbaik menjadi wakil kelompok dan kemudian memilih
pemimpin untuk menjalankan kekuasaan. Dalam era modern ini, teori tentang
demokrasi dan musyawarah masih lebih rasional untuk digunakan dalam menentukan
legetimasi kekuasaan dari pada konsep Kerajaan yang lebih mengarah pada dinasti
hingga terjadi oligarki kekuasaan. Bahkan Pancasila pada sila ke empat berbunyi
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan”. Menurut penulis demokrasi pun tidak akan terlepas dari musyawarah
untuk menentukan sebuah keputusan dalam setiap kebijakan yang ada. Ketika
demokrasi melepaskan musyawarah maka prinsip-prinsip kearifan hilang dari makna
demokrasi.
Kekuasaan yang mengedepankan rakyat
menjadi kekuatan yang berdaulat akan menjadi pilihan rasional dalam menilai
kekuasaan tersebut legetimasi atau tidak. Namun jika kekuasaan tidak diakui oleh rakyat
maka ada indikasi telah terjadi otoritarianisme, diktatorisme dan hegemoni elit
dalam sebuah kekuasaan. Sehingga sangat jelas legetimasi kekuasaan sangat
penting dalam roda kekuasaan yang akan dijalankan karena tidak ada kendala yang
menghalangi berjalannya program kecuali pihak partai opisisi dan media yang
layaknya melakukan chek and balances.
Max Weber membagi tiga legitimasi kekuasaan yaitu: pertama
otoritas tradisional, dimana legitimasi didapat dari pengakuan masa lalu atau
sumber dan tradisi yang sudah turun menurun ada dalam masyarakat dan lebih
jelasnya sudah membudaya dan melekat dalam tatanan masyarakat. Kedua otoritas
karismatik, dimana legitimasi kekuasaan diberikan kepada karakter pribadi baik
pemimpin yang dicintai mayoritas rakyat dan tindakannya mampu memberi solusi
dan inspirasi bagi bangsa. Ketiga otoritas legal rasional, dimana legetimasi
kekuasaan didasarkan pada legalitas aturan normatif yang dibuat oleh wakil
rakyat. Legetimasi kekuasaan itu berbentuk undang-undang yang mengatur tata
kelola negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat.
Tiga legitimasi kekuasaan yang
dijelaskan oleh Weber adalah sebagian kecil dari pendapat tentang legitimasi kekuasaan
dari sekian banyak pendapat. Maka yang menjadi pertanyaan adalah seberapa
efektifkan legitimasi kekuasaan itu dapat membangun sebuah pemerintahan yang
baik. Cita-cita kekuasaan yang sering disebut sebagai clean and good
goverment sepertinya belum dapat tercapai jika pola kekuasaan didapati dari
hal-hal yang kotor, dan mencederai legitimasi kekuasaan ini terjadi sejak awal
pemimpin akan dipilih. Jika kita membandingkan dengan konsep Weber maka kita
akan mendapati fakta di lapangan cara-cara yang tidak bersih dalam pemimpin
mencapai kekuasaan.
DR. Khalid Ibrahim Jindan dalam buku
Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam,
beliau mengutip gagasan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa manusia mesti
membangun sebuah organisasi pemerintahan yang memungkinkannya terhindar dari
situasi yang kacau. Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia juga bakal tergayuh
jika ia tergabung dalam sebuah komunitas itu. Ia memiliki peluang dan
kesempatan membangun kehidupan dan interaksi sosial yang ditandai dengan tolong
menolong dan gotong royong. Dalam konteks inilah manusia ibarat makhluk politik
(homo politicus) yang terbentuk secara alamiah.
Ibnu Taimiyah menyadari bahwa dengan
membangun sebuah organisasi maka manusia akan menemukan sebuah komunitas yang akan memberi efek untuk
memiliki kekuasaan. Dengan begitu cita-cita, visi, misi atau tujuan mereka
dapat tersampaikan lewat komunitas organisasi tersebut yang akan diwujudkan
dengan kekuasaan. Maka kemudian tinggal bagaimana organisasi tersebut di
jalankan dengan prinsip egaliter dan satu tujuan. Kekuasaan pada akhirnya mesti
dibedakan mulai dari wilayah kecil sampai kekuasaan pada wilayah yang lebih
besar. Pada wilayah kecil tentu pengorbanan antar individu seharusnya lebih
kecil dan pada wilayah kekuasaan yang lebih luas pengorbanan individu yang
lebih besar. Kepentingan daerah dan nasional dalam skala individu pemimpin akan
memiliki porsi berbeda. Pemimpin daerah hanya akan memberi manfaat untuk daerah
yang dipimpinnya, namun pemimpin negara akan memberi manfaat pada seluruh
wilayah negara yang tentu lebih luas dari daerah.
Jika sebuah kepemimpinan diraih dengan
cara-cara kotor maka teori Weber akan terbalik menjadi fenomena unlegetimasi
kekuasaan. Hal seperti ini dapat terjadi jika kepemimpinan didapat dengan
merusak nilai-nilai tradisi masyarakat seperti kejujuran, keterbukaan, gotong
royong dikotori dengan money politik, janji palsu dan adu domba akan menimbulkan
resistensi masyarakat yang kacau akibat rusaknya nilai tradisi masyarakat. Dalam
hal ini otoritas tradisional sebagai legitimasi kekuasaan pertama dalam
pandangan Weber telah dilanggar. Sehingga tidak heran jika tatanan masyarakat
semakin rusak, gampang marah, frustasi, amuk massa, mudah terpecah dan mudah di
adu domba oleh segelintir kepentingan.
Kedua jika kepemimpinan diraih dengan
cara hiperbola citra bukan sebuah kinerja, maka di kemudian hari akan
menimbulkan kekecewaan terhadap rakyat bahwa kepemimpinan tersebut adalah
kamuflase semata. Dalam hal ini ongkos politik akan semakin lebih mahal karena
harus menghabiskan anggaran untuk media pencitraan. Akhirnya substansi demokrasi
tidak terpenuhi akibat demokrasi memerlukan biaya tinggi.
Ketiga kepemimpinan tidak berfungsi
dalam memperbaiki tata aturan (regulasi) yang dapat merubah kondisi rakyat.
Konstitusi yang dibangun lebih pada pesanan-pesanan segelintir elit yang ingin
terus mengeksploitasi sumber daya alam negara. Kekuasaan seperti ini jelas menghianati
aspirasi rakyat karena lebih tunduk kepada tata aturan yang pro terhadap
kepentingan asing dan segelintir elit. Kondisi ini terjadi akibat faktor
sebelumnya dimana demokrasi harus harus diraih dengan biaya mahal untuk sebuah
citra. Demokrasi pada akhirnya harus melibatkan pengusaha untuk membiayai
ongkos citra dan jika kondosi ini terjadi terus-menerus maka kita patut pesimis
terhadap adanya legitimasi kekuasaan yang kuat dari sebuah kepemimpinan. Dan
pada waktunya legetimasi kekuasaan itu akan hancur seiring waktu dan logika
rasional yang terus berjalan dan melawan. Mari kita kampanyekan legitimasi
kekuasaan yang harus diraih dengan cara jujur dan adil, kekuasaan bukan untuk
segelintir orang tapi kekuasaan untuk seluruh rakyat!
0 komentar