ISLAM MENUNTUT MORAL (Side B)
(Mengurai
Perdebatan Demokrasi Dan Khilafah)
Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Majelis Serikat KAMMI Madani (SKM)
dan Ketua Komunitas Hijau Lampung
A. Demokrasi Vs Khilafah
Tunas Demokrasi yang mulai tumbuh
semakin mendapat perlawanan oleh pihak anti demokrasi. Kelompok ini lebih fokus
pada kampanye system Khilafah yang ada pada sejarah Islam masa lampau. Walaupun
kemudian tidak kita nafikan sejarah Khilafah ini pun tetap harus diperdebatkan
dengan demokrasi. Anggapan demokrasi juga merupakan system Islam juga tetap
terus digulirkan beberapa kalangan Islam. Bahkan Fazlur Rahman dalam sebuah
kuliah di kampus Universitas Chicago pada 30 November 1981 mengatakan, “
Kekhilafahan bukanlah system politik yang dinobatkan secara ke-Tuhanan. Apa
sebenarnya dititahkan secara ke-Tuhanan adalah bahwa Islam memerlukan kekuatan
politik untuk menerjemahkan perintah-perintah dan cita-cita moralnya kedalam
realitas sejarah.” Fazlur Rahman ingin menegaskan bahwa pada dasarnya Islam
memerlukan kekuatan Politik dalam menjaga ajaran perintah agama. Maka Fazlur
Rahman lebih fokus pada upaya bagaimana Islam bisa tegak lewat politik entah
itu khilafah atau demokrasi.
Ide tentang benih kebebasan berpendapat
(baca : demokrasi) juga pernah digagas
oleh Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sendiri mengeluarkan fatwa-fatwa yang
sebagian tidak sejalan dengan salah satu dari empat mahzab. Kebebasan
berpendapat itu dimaksudkan untuk menyanggah pandangan bahwa ulama “pemerintah”
adalah para penentu keputusan terakhir dalam berbagai maslah sekaligus
ditujukan untuk membendung kecenderungan untuk memonopoli proses pengambilan
keputusan. Ibnu Taimiyah menyadari bahwa umat akhir zaman bukanlah manusia
bermoral profetik (kenabian) sebagaimana manusia awal Islam yaitu Rosulullah
dan para sahabat yang memiliki banyak prestasi dalam tegaknya kepemimpinan
negara madinah. Dalam system Khilafah sendiri telah dikenal istilah Ahlul
Halli Wal ‘Aqdi yaitu sekelompok orang yang yang berhak membentuk suatu
system di dalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu.
Sistem ini berkembang sejak awal kepemimpinan Khulafa Rasydin sejak Abu Bakar
Ash-Siddiq sebagai bentuk ijtihad dan merupakan hujjah yang tidak terbantahkan.
Pada dasarnya Rosullulah menyuruh
umatnya untuk bermusyawarah entah dengan instrumen dan mekanisme Ahlul Halli
Wal ‘Aqdi, tapi pendapat Ibnu Taimiyah sejalan dengan demokrasi yaitu
membebaskan pendapat tidak hanya dari kalangan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi. Sehingga
maksud Ibnu Taimiyah untuk mencegah pendapat sepihak yang belum sepenuhnya
mendengar rakyat banyak tentang harapan keadilan dalam kepemimpinan. Ijtihad
yang di bangun Ibnu Taimiyah memang terkesan tidak sepakat dengan Ahlul
Halli Wal Aqdi tapi pada dasarnya semua yang dikemukakannya menyangkut
keadilan bagi semua pihak bukan hanya sepihak. Musyawarah yang dilakukan para Ahlul
Halli Wal ‘Aqdi memang lebih elegan dengan memberikan kebebasan pendapat
rakyat terlebih dahulu sebelum diambil keputusan. Pendapat Ibnu Taimiyah
dimaksud untuk mencegah quo vadis ide dan pendapat oleh para pengambil
kebijakan.
Hasan Al Bana membuat kriteria untuk
menjadi Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, kriteria tersebut menurut pendapatnya
harus masuk dalam tiga elemen. Pertama, Ahli Fiqh dengan standar
mujtahid, dimana pendapat-pendapat mereka dalam fatwa dan istinbath hukum
diperhitungkan umat. Kedua, Pemilik skill, pengalaman pakar dan
kemampuan pakar dan kemampuan dalam urusan publik. Ketiga, Para tokoh
kharismatik yang memiliki komando dan kepemimpinan di tengah masyarakat,
seperti ketua suku, tokoh masyarakat dan pemimpn organisasi (LSM/ NGO).[1]
Para Ahlul Halli Wal ‘Aqdi idealnya harus mengakomodir aspirasi
masyarakat yang menyangkut kamaslahatan bersama. Sehingga rakyat dalam hal ini
diberi ruang kebebasan berpendapat sebagaimana gagasan Ibnu Taimiyah diawal.
Walaupun tidak menggunakan istilah demokrasi namun Ibnu Taimiyah menginginkan
aspirasi rakyat didengar.
Jadi Demokrasi secara substansi
sebenarnya sejalan dengan khilafah. Hanya saja instrumen yang mengatur keduanya
perlu bersinergi agar wujud negara yang dicita-citakan dapat terbentuk
keberagaman Agama dalam negara memaksa setiap pemeluk agama untuk bertoleransi
dalam membangun peradaban bangsa. Peradaban negara Madinah sebagai peradaban
pertama yang terlembagakan dalam sebuah negara sebenarnya telah jelas bagaimana
rosul menghargai perbedaan antara Islam sebagai minoritas saat itu dan Yahudi
dan Nasrani yang lebih awal hadir. Seiring berjalannya waktu peradaban tetap
memberi kesempatan untuk sebuah ideologi berkembang memberikan solusi ke
tatanan masyarakat. Pada akhirnya Islam menjadi agama yang paling banyak
diminati karena nilai profetik (kenabian) yang sejalan dengan penghargaan
terhadap hak asasi manusia.
Perilaku nabi yang sekaligus menjadi
fatsoen (etika) politik agama dan kontitusi piagam madinah sebagai konstitusi
negara, serta ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah) yang memberi solusi masyarakat
menjadikan Islam berkembang pesat dalam wilayah madinah. Namun toleransi yang
di bangun oleh nabi juga tidak tolelir terhadap penghianatan yang terjadi antar
golongan agama. Pada akhirnya Yahudi dan Nasrani harus di usir karena melanggar
konstitusi piagam madinah dalah rangka mempertahankan wilayah tersebut dari
ancaman perang para Kafir Qurays.[2]
Islam yang dibangun Rosul pada awalnya adalah minoritas yang tumbuh dalam
wilayah mayoritas kehidupan Yahudi dan Nasrani. Dan pada akhirnya karena
kesempatan kebebasan untuk tumbuhnya ideologi Islam menjadi agama yang
mayoritas dan menjadi jawaban bagi system manusia. Walaupun pada akhirnya Rosul
tidak pernah mengatakan ini adalah syatem Khilafah tapi perilaku Rosul juga
mengandung nilai demokrasi dengan contoh konkret seorang Bilal bin Rabah yang
berasal dari kaum budak akhirnya menjadi Gubernur di Damaskus. Jelas Rosul
tidak otoriter dalam kepemimpinan, Rosul 1400 tahun yang lalu sangat menghargai
meritokrasi yang digaungakan saat ini. Meritokrasi adalah sebuah penghargaan
terhadap kepemimpinan yang berangkat dari tempaan panjang sebuah pengalaman
politik. Meritokrasi adalah sebuah bentuk tatanan dimana kondisi penghargaan
diberikan kepada orang-orang yang berproses, berkeringat dan berprestasi dalam
sebuah cita-cita peradaban.
B. Menggugat Moral Demokrasi
dan Khilafah
Pendapat Syafi’i Maarif “Demokrasi
sejalan dengan ide modernisasi yang menuntut adanya perubahan disegala bidang
kehidupan. Tradisi Islam bukanlah warisan kaku yang hanya mempertahankan contoh
klasiknya. Meski pada awalnya Islam tidak mengenal prinsip demokrasi sejalan
dengan gagasan universal Islam. Bahkan Islam lahir dengan prinsip demokrasi,
meski Al-Quran sendiri tidak secara eksplisit menggambarkan struktur negara
tertentu. Hal ini membuat organisasi politik bernafaskan Islam dapat selalu
berubah agar sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat muslim.[3]
Islam sebenarnya lebih menggugat
perkara substansi pemerintahan dari pada mendebatkan nama Khilafah atau
Demokrasi. Kejelasan platform system lebih ditekankan Islam sebagai
bagian dari kaderisasi kepemimpinan bagi manusia. Maka para pendahulu kaum
muslim sangat fokus pada upaya menciptakan manusia yang bermoral profetik
(kenabian) sebagaimana Rosul sebagai contoh nyata. Politik adalah bagian kerja
mulia yang Islam tidak pernah memisahkannya dengan perkara agama. Karena dengan
agama sebuah moral dalam kepemimpinan dapat diraih. Nabi dan para sahabat pun
tidak menjadikan politik sebagai lahan kehidupan, lewat mereka kita mendapatkan
fatsoen (etika) politik menjadi sebuah pengabdian dan wujud ibadah
manusia kepada Tuhan. Kita tahu bahwa Rosul meninggal dalam keadaan
menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, dalam hal ini Rosul
membuktikan diri bahwa kepemimpinan bukan untuk menjadi seorang yang kaya raya.
Begitupun setelahnya para sahabat mengikuti etika profetik yang
dicontohkan Nabi. Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali menjadi pemimpin yang memegang teguh nilai di atas.
Pengalaman Nabi Muhammad dalam
berdagang dan diangkat menjadi Rosul di Umur 40 tahun menjadikan kita yakin
Nabilah yang telah mencontohkan segala fatson politik, yang sebenarnyta itu
terangkum dan menjadi sumber dalam nilai Demokrasi, Khilafah, Meritokrasi, dan
lainnya. Bahkan Nabi mencontohkan sebuah pergantian pemimpin yang jauh dari
dinasti kekeluargaan. Jimly As-Shidiqy menyatakan bahwa pergantian Nabi
Muhammad saw dari posisinya sebagai khilafah (baca : pemimpin) kepada Abu Bakar
adalah suksesi pertama dalam sejarah tanpa melibatkan garis keturunan. Jelas
Rosul tidak menginginkan oligarki kepemimpinan yang ada dalam keluarga
Rosul, penghargaan terhadap meritokrasi sangat dilakukan Rosulullah bahwa
pemimpin dipimpin atas dasar kemampuan bukan kedekatan hubungan semata. Dan
dalam hal ini jelas nilai demokrasi sudah terkandung didalamnya.
Moral profetik itulah yang kemudian
melahirkan orang-orang besar dalam sejarah intelektual muslim di dunia. Kita
bisa temukan tokoh muslim yang tetap bertahan di tengah badai pragmatisme
dan runtuhnya nilai etika moral. Maka kita bisa lihat para tokoh yang mendapat
hukuman akibat mempertahankan moral Islam namun kemudian menghasilkan karya
besarnya di dalam jerubi besi. HAMKA pernah
dipenjara rejim Orde Lama. Tapi, dipenjara, justru ia menghasilkan Tafsir
Al-Azhar. Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta dan berbagai
buku lainnya. Sama dengan HAMKA, di penjara, Sayyid Quthbmenghasilkan Fii
Zhilalil Qur’an. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmu’ul Fatawa. Dan Ibnu Haistam
menghasilkan teori optik. Mereka, adalah tipe ilmuwan, sekaligus ulama pejuang.[4]
Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya
bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk
10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam
pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur. Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mu’tazilah tentang
kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam
penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan
rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap
hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan
dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang
shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241
Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya[5]
Syafi’i Maarif menyatakan ‘ Agama pada hakekatnya adalah
sumber moral bagi negara, agar pemegang kekuasaan tidak lupa daratn dan lautan.
Demokrasi di tangan mereka yang tidak siuman secara moral juga dapat menjadi
sumber malapetaka apalagi system politik hegemonik-dinastik yang bergantung
pada otoritas perorangan, daya rusaknya jauh lebih besar.[6] Menciptakan moral
demokrasi tidak mungkin tanpa agama. Menjauhkan agama dan negara sama dengan
menjauhkan moral politik para pemimpin. Islam secara tegas menggugat moral para
pemimpin dan menolak tegas dijauhkannya agama dalam kehidupan bernegara. Agama
dalam sejarah Indonesia telah menjadi spirit perjuangan bagi kemerdekaan
Indonesia. Sangat munafik jika atas dasar demokrasi yang ditegakkan umat Islam
sabagai mayoritas agama menjadi hal yang dilarang merasuki relung-relung
negara. Nasrani, Hindu, Budha dan ajaran agama lain pun tetap sepakat bahwa
moral menjadi hal yang fundamental dalam menegakkan etika demokrasi. (bersambung “ KAMMI dan Cita-cita Moral”)
[1] Hasan Al Bana, Kumpulan
Risalah Dakwah Hasan Al –Banna, jilid II, Jakarta, Al-I’tishom, 2006 hal 97
[2] Piagam Madinah
ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara pun yang
memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umatberagama. Piagam
Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur hubungan tersebut.
Misalnya (terjemah oleh ZAA): Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa
Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan
perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan
dari pergaulan umum.” Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi
memikul beaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam
peperangan.” Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu
bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas
memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.
(3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu
mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan
berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya. (Dikutip dari tulisan “Piagam Madinah
Dan Toleransi Beragama” Oleh: Dr. Adian Husaini, http://www.insistnet.com )
[3] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
Politik dan Demokratisasi di Indonesia”dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal
(penyunting), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta, Bapennas, 1983 hal 42)
[6] Ahmad Syafii Maarif, Masalah
Agama dan Negara, Suara Muhammadiyah, No 16/Th.ke-93/16-31 Agustus
2008, hal 44 .
0 komentar