Oleh
: Dharma Setyawan
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI)
“Saya menyayangi Plato tetapi saya lebih
menyayangi kebenaran” (Aristoteles). Demikianlah ungkapan Aristoteles
atas pentingnya kebenaran dalam kehidupan manusia. Kebenaran yang diambil dari
pendalaman dari nilai-nilai moral spiritual yang menjadi kemaslahatan hidup
bersama. Aristoteles menyanggah pendapat gurunya Plato yaitu dunia
materi yang merupakan obyek pengalaman dan dunia rohani merupakan obyek
pengertian yang terpisah sama sekali yang satu dari yang lain, Aristoteles
menyanggah itu tidak mungkin. Sebab jika dunia rohani terlepas sama sekali dari
dunia materi, dunia rohani tidak berguna bagi dunia materi, bahkan ide-ide
rohani (eidos) tidak dapat dikenal manusia yang termasuk dunia materi
juga.
Aristoteles menolak tegas pemisahan antara dunia rohani dan
materi, lebih jelasnya pada perdebatan saat ini adalah tentang kehidupan
akhirat dan kehidupan dunia, atau dalam perdebatan panjang demokrasi adalah
tentang pemisahan antara agama dan negara. Bagi Aristoteles kehidupan dunia
rohani jika dipisahkan dari kehidupan materi maka rohani tidak berguna lagi
dunia materi. Pendapat Aristoteles cukup memiliki landasan pasti bahwa dunia
rohani (agama) akan sangat berpengaruh bagi dunia materi (negara).
Agama adalah Moral Bernegara
Pendapat Aristoteles di atas
menjadi pembahasan awal tentang makna agama dalam kehidupan bernegara. Dalam ide
sekuler, agama seolah-olah menjadi penyebab dan terjadinya konflik manusia
dalam bernegara. Agama dalam pandangan sekulerisme merupakan otoritas yang
perlu dipisahkan dalam kehidupan bernegara. Maka muncullah gagasan sekulerisme
dalam tata kehidupan negara, yang diharapkan dapat meminimalisir terjadinya
hegemoni agama atas negara. Karya Plato yang paling terkenal adalah Republic
dimana Plato membagi masyarakat ideal dalam tiga kelas. Pertama kelas
Pemerintah atau filsuf raja (philoshoper king) kelas ini cerdas,
rasional, mampu mengendalikan diri, bijak dan adil. Kedua kelas Tentara (warriors),
kelas ini untuk mereka yang kuat, pemberani dan teroganisir secara militer.
Ketiga kelas pekerja produktif (workers), kelas ini adalah masyarakat
yang harus menyumbangkan keahliannya bagi masyarakat secara produktif. Seperti
petani, pedagang, tukang, peternak dan lain-lain. Dalam konsep republic Plato
ini semua dikontrol oleh elit pemimpin untuk kebaikan masyarakat. Hal ini
sering menjadi tuduhan bahwa konsep republic Plato telah mengilhami model
pemerintahan sosialis-komunis yang menafikan adanya peran Tuhan dalam
mengurus kehidupan manusia.
Agama dalam demokrasi Indonesia seakan
menjadi ancaman bagi kehidupan negara. Agama dan negara harus dipisahkan untuk
menhindari konflik antar agama muncul dalam kehidupan bernegara. Demokrasi pun
akhirnya semakin layu karena substansi kedaulatan rakyat hilang tergerus
kepentingan elit dan lelah dengan konflik agama dan negara. Fakta inipun
terjadi dalam demokrasi kita dimana banyak partai yang sebelumnya mengggunakan
simbol yang merepresentasikan agama telah berubah citra mengatasnamakan partai
nasionalis atau partai terbuka. Walau kemudian ini merupakan strategi beberapa
partai untuk menarik hati konstituen diluar basis agama namun akan menimbulkan
efek bahwa agama semakin tidak menarik untuk dimasukkan dalam dunia demokrasi.
Phobia agama pun akan meningkat tajam manakala agama menjadi alasan beberapa
partai untuk meraih suara konstituen dan mengubah platfrom partai. Perlu ada pelurusan
konteks bernegara dalam memandang pentingnya agama dalam menegakkan kehidupan
bernegara. Jika agama dalam bentuk simbol, platfrom, ideologi atau gerakan
dihilangkan niscaya nilai moral akan semakin hilang dalam bingkai kepemimpinan
negara.
Syafi’i Maarif menyatakan, agama pada
hakekatnya adalah sumber moral bagi negara, agar pemegang kekuasaan tidak lupa daratan dan tidak lupa lautan. Demokrasi di tangan mereka yang tidak
siuman secara moral juga dapat menjadi sumber malapetaka apalagi system politik
hegemonik-dinastik, yang bergantung pada otoritas perorangan daya rusaknya jauh
lebih besar. (Ahmad Syafi’i Maarif, Suara Muhammadiyah, No 16/Th.Ke-93/16-31
agustus 2008). Secara tidak langsung pendapat Syafi’i Maarif memberikan
pengertian bahwa menghilangkan agama dalam kehidupan berpolitik akan
menyebabkan moral hilang dari pemimpin kita. Menurut Carl Schmith
teoritisi politik dari Jerman mengungkapkan “Negara dan konsep-konsep yang
dipakai oleh negara tidak lebih dari “sekularised theological concepts”
atau konsep-konsep agama yang disekulerkan (dalam arti konsep negara awalnya
adalah konsep agama yang di hilangkan aspek ke-Tuhanannya). Pendeknya negara
dianggap sebagai bentuk paling modern dari evolusi agama”.
Sekulerisme Menghianati Pancasila
Pada peringatan hari Pancasila tanggal
1 Juni 2011, para pemimpin kita berkumpul untuk menegaskan kembali pancasila
sebagai ideologi negara. Hadir dalam acara yang digagas ketua MPR Taufik Kemas
yaitu presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan dua mantan presiden BJ.
Habibie serta Megawati Soekarno Putri. Dalam acara tersebut mereka berpidato
bergantian menyampaikan tentang pentingnya menjadikan kembali nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar negara. Ideologi Pancasila telah dianggap luntur pada
generasi bangsa saat ini. Kita semua juga harus bertanya sudahkan nilai
Pancasila diamalkan (diimplementasikan) dalam kehidupan para pemimpin kita?
Demokrasi kita faktanya telah menerima ideologi yang salah dan menolak pelan
ideologi yang sebenarnya mendukung Pancasila.
Para pemimpin kita dengan ada yang
berani dan malu-malu menyatakan cara politik sekuler yang sebenarnya berlawanan
dengan Pancasila. Sekulerisme yang memisahkan kehidupan agama dan negarapun
tidak menjadi masalah bagi para pemimpin kita. Tapi ideologi agama sebagai
sumber moral semakin dijauhi dari system bernegara kita. Mulai dari system
politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, agama semakin dihindari dalam
ruang publik. Padahal dalam Pancasila sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Pada sila pertama ini menegaskan bahwa kehidupan bernegara harus
didasarkan pada “Ketuhanan Yang Esa”. Sila ini menginginkan agama menjadi tata
etika dalam kehidupan bangsa, Namun kita tidak menyadari bahwa sekulerisme
telah menghianati sila pertama Pancasila. Sekulerisme menyebabkan bangsa ini
menghilangkan agama dalam nilai-nilai bernegara. Bagaimana mungkin sila pertama
dapat diamalkan dengan baik jika ide sekulerisme dibiarkan menggerogori ide
baik yaitu moral agama dalam kehidupan Ketuhanan sebagaimana Pancasila
menyatakan.
Pengamalan kembali nilai-nilai
Pancasila semestinya dimulai dari pengamalan sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan mendekatkan kembali agama delam kehidupan bernegara. Kita harus
merekatkan kembali kehidupan agama untuk dapat memberikan nilai-nilai dalam
kehidupan berbangsa, mulai dari pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Dengan merekatnya nilai agama dan negara diharapkan akan menjadi sebuah
transformasi nilai moral dalam memunculkan etika bernegara. Mengutip ungkapan
filosofi yang disampaikan Aristoteles tentang cinta kebenaran. Penulis juga
ingin menyampaikan,”Saya menyayangi Pancasila tetapi saya lebih
menyayangi agama”.
0 komentar