Oleh
: Dharma Setyawan
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI)
Kita sama-sama tercengang dengan
kejadian yang menimpa Ibu Siami orang tua muruid Alifah Ahmad Maulana yang dipaksa gurunya untuk menyebarkan jawaban ujian nasional SD. Ny Siami
(38) yang diusir ratusan warga setelah melaporkan guru SDN Gadel II yang
memaksa anaknya memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional,
10-12 Mei 2011 lalu, akhirnya menuruti kemauan warga. Siami telah meninggalkan
rumahnya di Jl Gadel Sari Barat, Tandes lantaran tak tahan dengan tekanan dan
gelombang demo warga. Mereka kini mengungsi di Solo. Mediasi yang dilakukan
para tokoh masyarakat akhirnya sia-sia karena masyarakat lebih memilih
mendengar orang tua murid yang takut ananknya tidak lulus dari pada membela
kebenaran dari apa yang di gugat Siami atas perbuatan kotor oknum Guru yang menyuruh
Al untuk menyebarkan jawaban kepada temannya saat ujian nasional.
Fenomena Gagalnya Pendidikan
Siapa yang salah? Pertanyaan ini
sama-sama muncul di benak kita semua, ada beberapa hal yang perlu dilihat dalam
kasus ketidakjujuran penyelenggaraan pendidikan kita. Pertama, jika
meneliti apa yang diungkap Siami, semestinya bagi warga negara yang
menginginkan kebaikan generasi, kita harus angkat kepala untuk mengatakan mana
yang memang benar dan mana yang memang salah. Pada posisi ini Siami ingin
mengajarkan anaknya tentang makna kejujuran dari setiap proses hidup yang
dilalui. Siami ingin memberikan sifat baik
terhadap masa depan anaknya atas apa yan dilakukan gurunya untuk
menyebarkan kunci jawaban. Kedua, warga masyarakat dan orang tua murid
juga tidak bisa disalahkan begitu saja dalam perkara yang terjadi. Wajar jika
orang tua takut anaknya tidak lulus ujian, wajar jika orang tua cemas terhadap
masa depan anaknya karena dapat mengalami depresi jika ujian diulang karena
dari pengulangan ujian tersebut ada yang tidak lulus. Namun juga tidak benar
jika Siami disalahkan dan akhirnya mediasi berujung dengan pengusiran dari rumahnya dan harus berpindah ke Solo. Ketiga,
Pemerintah yang sampai hari ini terjadi polemik tuntutan dari berbagai pihak
untuk menghilangkan ujian nasioanal bagi siswa. Pemerintah juga terkesan
setengah-setengah dalam mereformasi system pendidikan.
Pendidikan merupakan sesuatu instrumen
fundamental dalam memajukan negara. Dengan pendidikan manusia meningkatkan
kapasitasnya dlam menjalankan profesionalisme kehidupan. Dengan pendidikan manusia
dapat menemukan teknologi, menemukan etika moral, menemukan kebenaran dan
menemukan banyak hal yang menjadi prasyarat manusia untuk mendapat tempat hidup
yang lebih baik. Namun jika kita melihat fenomena pendidikan di Indonesia kita
masih melihat pendidikan masih menjadi barang langka bagi rakyat. Pendidikan
yang mayoritas dipahami oleh para elit dan masyarakat awam adalah sebuah
ritualisme pendidikan bukan substansi pendidikan.
Kita harus mengakui bahwa pendidikan
kita masih banyak hal-hal yang janggal dan banyak kita temui dilapangan
kegagalan pendidikan kita. Orang tua jadi lebih takut anaknya gagal karena
tidak naik kelas atau tidak lulus ujian. Orang tua lebih senang anaknya lulus
walau dengan cara curang tanpa memandang nilai-nilai kejujuran. Pendidikan
hanya menjadi formalitas tanpa menimbang output hasil pendidikan seperti skill
(kemampuan) peserta didik. Bahkan kita masih banyak temukan pendidikan kita
hanya menjadi lahan bisnis dari tingginya biaya pendidikan yang disediakan oleh
pemerintah atau swasta. Lembaga pendidikan kita tidak ubahnya seperti lembaga
penampung anak-anak yang dimandulkan kreatifitasnya. Pendidikan kita dikekang
oleh para pendidik yang otoriter, kaku, tidak harmonis dan sangat membosankan.
Pentingnya Pendidikan Karakter
Socrates berpendapat bahwa tugas utama
negara adalah mendidik warga negara dalam keutamaan (arete). Maka
Socrates menyerukan “Gnooti Seauton” (kenalilah dirimu), dalam hal ini
pendidikan Socrates menginginkan peserta didik lebih mengenal siapa diri kita,
apa bakat kita dan apa yang kita lakukan di masa depan. Anis Matta menjelaskan
dalam bukunya “Delapan Mata Air Kecermelangan : 2009”, bahwa akar dari semua
tindakan, perilaku, kebiasaan dan karakter kita adalah lintasan pikiran yang
bertebaran dalam benak. Lintasan pikiran itu menyerbu benak kita, maka ia
berkembang menjadi memori, dan memori itu secara perlahan berkembang menjadi
ide gagasan atau pikiran.
Pikiran itu selanjutnya menukik lebih
jauh dalam diri kita, dalam wilayah emosi dan membentuk keyakinan, maka
keyakinan berkembang menjadi kemauan dan secara perlahan kemauan berkembang
menjadi tekad. Begitu ia menjadi tekad, pikiran itu telah memperoleh energi
atau tenaga agar ia terwujud dalam kenyataan. Setelah itu, tekad menjalar ke
dalam tubuh dan menggerakkannya. Maka, lahirlah tindakan. Bila tindakan
tersebut dilakukan secara berulang-ulang, maka terbentuklah kebiasaan dan bila
kebiasaan itu berlangsung dalam waktu lama, terbentuklah karakter.
Salah satu cara yang tepat dalam
mengelola pendidikan kita seharusnya adalah membebaskan peserta didik untuk
memilih apa yang akan dilakukannya sehingga muncul karakter peserta didik di
masa depan. Proses ujian nasioanal yang diterapkan oleh pemerintah untuk
beberapa mata pelajaran tidak memberi jaminan peserta didik memiliki kemampuan karakter.
Pendidikan karakter yang seharusnya bukan saja menilai peserta didik dari
angka-angka tapi dinilai dari bakat, apa yang mereka minati dan berkembangnya
karakter yang berguna bagi masa depan. Jelas dalam hal ini pendidikan bukan
untuk mematikan kreativitas dan memaksa
peserta didik untuk menghafal hal yag tidak menjadi bakat karakternya.
Kesalahan pendidikan kita adalah peserta didik merasakan perbedaan yang cukup
signifikan antara materi yang disampaikan disekolah dengan dengan realitas yang
terjadi dilingkungan nyata. Pada satu kondisi kita mengakui bahwa para peserta
didik kita sangat tidak siap dan bahkan terombang-ambing delam kehidupan nyata
karena miskin skill dan karakter.
Kita perlu mencontoh dari Dr. Irina
Pramong Pradja seorang pendiri sekolah KAMI bagi anak-anak pemulung di Jakarta.
Apa yang dilakukan ibu Ina panggilan akrabnya mampu merubah anak-anak pemulung
menjadi anak-anak yang mampu menemukan karakter dan skill yang sangat berguna
bagi kehidupan realitas. Ibu Ina mendirikan pendidikan gratis bagi anak-anak
pemulung dengan konsep yang sangat luar biasa. Dalam konsep pendidikan di
sekolah KAMI anak-anak pemulung diberikan pelajaran sekolah pada umumnya yang
langsung menyentuh pada karakter anak. Pelajaran yang berikan pun sangat
disukai dan anak-anak dibiarkan untuk memilih kreatifitas yang mereka inginkan.
Bahkan di dalam kurikulumnya juga diajarkan beberapa kelas yang menarik untuk
memantik bakat anak-anak pemulung dengan menyediakan kelas penjahit,
pertukangan, dan lainnya. Disekolah KAMI juga ada pengajar dari asing yang
sukarela mengajarkan bahasa inggris untuk anak-anak pemulung. Siapa yang akan
menyangka kalau dari sekolah itu telah banyak menghasilkan karya-karya dari
anak-anak pemulung yang kreatiif mulai dari tas, dompet, kursi, seragam baju
dan lainnya. Di sekolah tersebut juga menyediakan musik tradisioanl untuk
membuat anak-anak rileks dalam belajar.
Pada intinya sekolah yang didirikan
Ibu Ina adalah bukti bahwa tidak ada anak yang bodoh dan takut akan masa depan
yang suram. Pendidikan yang diberikan seharusnya menjadi pembebasan bagi
anak-anak untuk menemukan karakternya masing-masing. Nilai ujian yang baik
tidak menjamin seorang anak akan sukses di masa depan. Pendidikan karakterlah
yang akan membawanya pada suatu bakat yang dimiliki sehingga menjadikan para
generasi tahu dan mampu untuk berkembang secara baik bukan untuk belajar
berbohong hanya karena nilai. Mari memulai membangun pendidikan yang
berkarakter!
0 komentar