Oleh
: Dharma Setyawan
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI)
“Hidup baik adalah dasar hukum yang baik”
Begitulah ungkapan Prof Satjipto Rahardjo. Kasus suap di Sesmenpora Wahid
Muharam yang melibatkan politisi Demokrat Muhammad Nazaruddin, Mindo Rosalina
Manulang belum juga tuntas. SBY pun gerang karena Nazaruddin mangkir dari
pemanggilan KPK untuk diperiksa terkait kasus tersebut. Dengan alasan sakit Nazaruddin
pun pergi ke Singapura untuk berobat dari sakitnya, pasca pemecatan jabatannya
sebagai bendahara umum partai Demokrat. Kita mungkin boleh saja berprasangka
baik atas alasan sakit yang dialami Nazaruddin, tapi kita juga tidak salah jika
berprasangka buruk sakit hanya alasan dan semakin jelas bahwa system hukum di
negeri ini memang kebal untuk orang-orang yang memiliki kuasa. Hukum di negeri
kita benar-benar tidak dapat diterapkan sama antara orang kuat seperti Nazaruddin
dan orang lemah seperti contoh Prita Mulyasari. Hukum kemudian menjadi sebuah
barang komoditi yang diperdagangkan kapanpun bisa dibeli bahkan dapat
dimonopoli oleh kekuasaan.
Hukum bukan Jual Beli
Hukum tidak dapat disamakan dengan
jual beli, hukum dibuat untuk kebahagiaan seluruh manusia bukan untuk
kebehagiaan segelintir orang. Kesadaran berhukum inilah yang akan menjadi
landasan pacu sebuah tatanan masyarakat untuk menemukan keadilan dalam
kehidupan. Pemahaman manusia akan pentingnya hukum semestinya sesuai dengan apa
yang dipraktekkan dalam fakta yang terjadi. Keadilan hukum tentu akan terjawab
dengan nurani manusia tentang bagaimana memandang konsekuensi pelanggaran
hukum. Contohnya dalam kasus Nazaruddin dan Prita Mulyasari yang pernah
dituntut pencemaran nama baik. Dalam hal ini Nazaruddin adalah seorang politisi,
pengusaha dan juga seorang berpendidikan yang mengerti hukum. Pemahaman Nazaruddin
tentang hukum jelas sangat berbeda dengan Prita yang hanya karyawan bank swasta dan
orang lemah dalam kekuatan hukum, atau seperti mbok minah orang lemah yang
dituduh mencuri 3 buah kakau. Nazaruddin juga seorang anggota DPR RI yang
tugasnya membuat undang-undang sebagai regulasi yang ada dalam negara.
Seharusnya dalam kacamata keadilan hukum jika Nazaruddin terbukti bersalah
dalam kasus tersebut akan mendapat sanksi yang lebih berat dari pada sanksi
yang diberikan terhadapa rakyat kecil.
Nazaruddin walaupun belum terbukti
sebagai tersangka dalam kasus suap Sesmenpora, tapi tindakannya pergi ke
Singapura merupakan sinyal kuat tidak komitmen dirinya dalam penyelesaian kasus
suap Sesmenpora. Nazaruddin juga menghambat proses tersangka lain yang terlibat
dalam kasus suap tersebut. Tertangkapnya kasus suap di Sesmenpora juga
menjadikan kita sadar bahwa kasus Tipikor (tindak pidana korupsi) di negeri ini
hanya jargon belaka. Demokrat sebagai partai penguasa pun yang dalam kampanye
pemilu 2009 paling gencar kampanye anti korupsi seperti harus menelan pil pahit
atas kasus yang menimpa bendahara umumnya yaitu Nazaruddin. Harapan besar pil
pahit itu ditelan dengan senang hati sehingga menjadi titik awal proses
penyembuhan partai Demokrat untuk membersihkan penyakit korupsi dalam-dalam.
Dipecatnya Nazaruddin dari bendahara
umum partai Demokrat harus sama-sama kita aprasiasi sebagai tindakan beranai
dewan kehormatan partai Demokrat. Namun akan lebih baik lagi jika ketegasan
tersebut ditambah dengan pemecatan Nazaruddin dari anggota DPR sehingga
memudahkan kasus suap Sesmenpora dapat segera diusut tuntas. Hukum pada prinsipnya
tidak mengenal status manusia karena hukum berjalan untuk memenuhi keadilan
bagi manusia. Plato berpendapat bahwa pelanggaran-pelanggaran merupakan suatu
penyakit dalam bagian intelektual manusia (logistikon), artinya seorang
penjahat belum tahu cukup tentang
keutamaan yang harus dituju dalam hidup. Akan tetapi kemungkinan besar
pengetahuan itu dapat ditambah melalui pendidikan sehingga ia sembuh dari
penyakitnya. Cara untuk menyembuhkan si sakit ialah melalui hukuman maka
hukuman bertujuan memperbaiki sikap moral penjahat tetapi seandainya penyakit
itu tidak dapat disembuhkan, orang itu harus dibunuh. (DR. Theo Huijtars,
Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah : 1982). Demikianlah pendapat filsuf
klasik Yunani Plato dalam merumuskan hukuman bagi penjahat pelanggar hukum.
Seorang Nazaruddin tentu bukan
penjahat yang tidak memiliki pengetahuan tentang hukum sebagaimana pendapat
Plato diatas. Sehingga jika diterapkan kasus ini dalam pendapat Plato maka
hukuman mati akan didapati Nazaruddin. Jika benar terbukti bahwa dirinya
melakukan pelanggaran hukum terkait kasus suap Sesmenpora. Namun dalam hal ini
penulis tidak akan membahas hukuman mati sebagaiamana pendapat Plato. Penulis
ingin menekankan pentingnya penegakan hukum progresif terhadapa kasus yang menimpa
Nazaruddin. Hukum progresif dimaksudkan untuk tidak hanya memandang hukum
secara teks yang ada pada undang-undang yang dibuat tapi lebih pada proses
penegasan keadilan hukum untuk semua manusia. Tindakan korupsi yang dilakukan
olah para pejabat negeri ini merupakan bukti belum tegaknya hukum progresif
oleh pemangku lembaga hukum seperti polisi, hakim dan jaksa. KPK sebagai
lembaga hukum ad hoc pun tidak memiliki taring kuat jika menghadapi para
pejabat yang terbelit kasus korupsi. KPK yang dibentuk untuk membantu hubungan
kerja penegak hukum dalam menguak kasus korupsi harus tersandra dengan
kepentingan karena lembaga KPK semakin dikecilkan peranannya.
Tegakkan Hukum Progresif
Prof. Satjipto Rahardjo dalam bukunya
Penegakan Hukum Progresif : 2010 menyatakan, manusia selaku aktor penting dan
utama dibelakang dalam kehidupan hukum tidak hanya dituntut mampu menciptakan
dan menjalankan hukum (making the law), tetapi juga keberanian mematahkan dan
merobohkannya (breaking the law) manakala hukum tidak sanggup menghadirkan roh
dan substansi keberadaannya yakni menciptakan keharmonisan, kedamaian,
ketertiban dan kesejahteraan masysrakat. Realita yang ada selama ini, hukum
hanya dipahami hanya sebatas undang-undang kemudian implementasinya sekedar
menerapkan silogisme. Aparat penegak hukum dipaksa bahkan ada yang demi aman
sengaja menempatkan diri hanya menjadi corong undang-undang tanpa ada ruang dan
kemauan untuk bertindak progresif. Ungkapan bertindak progresif ini disampaikan
Prof. Satjipto untuk menyadarkan bahwa hukum bukan hanya untuk dilihat dan
dilaksanakan dengan cara pandang teks. Tapi hukum progresif adalah segala upaya
para penegak hukum untuk menggali, menemukan dan menerapkan hukum secara
progresif demi keadilan untuk semua manusia.
Prof. Satjipto menginginkan hukum dan
bekerjanya hukum seyogyanya dilihat dalam konteks itu sendiri. Hukum tidak ada
untuk diri dan keperluannya sendiri melainkan untuk manusia, khususnya
kebahagiaan manusia pada umumnya. Kasus kaburnya para tersangka hukum ke
Singapura adalah bukti bahwa hukum yang kita tegakkan sangat lemah. Bahkan
semenjak dibentuk KPK lembaga seperti kepolisian menjadi pemalas dan terlihat
semakin mandul dalam bergerak progresif mengungkap kasus di Indonesia.
Penegakan hukum progresif digagas Prof. Satjipto perlu disadarkan ke para
pemangku lembaga hukum kita. Kesadaran akan pentingnya hukum sebagai fungsi
kebahagiaan manusia akan memberikan pemahaman kepada para elite politik bahwa
hukum ditegakkan bukan untuk kepentingan segelintir orang tapi hukum benar-benar
untuk kebahagiaan manusia. Maka semakin benar bahwa hidup baik adalah dasar
hukum yang baik. Karena dengan hidup baik, jujur, bertanggung jawab akan
meminimalisir terjadinya perkara hukum di sekitar kita. Tegakkan hukum
progresif demi kebahagiaan hidup yang lebih baik!
0 komentar