Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Ketua Komunitas Hijau Lampung
dan Aktifis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI)
(Memperingati 31 Mei sebagai World No Tobacco Day”
Hari Tanpa Tembakau Sedunia)
Rokok telah menjadi pilar industri
besar dibelahan dunia. Budaya rokok telah menggurita bersama dengan masifnya
iklan rokok di sejumlah media. Bahkan rokok telah menjadi kebutuhan primer bagi
penduduk bumi dengan berbagai alasan yang dijadikan pembenaran para perokok.
Sejarah panjang para perokok terus berlanjut walau kampanye anti rokok terus
digencarkan. Pendapatan perusahaan rokok sangat menakjubkan, tiga perusahaan
rokok dunia Philips Morris, RJ Reynolds, dan British American Tobacco tahun
1997 pendapatannya lebih dari 65 milyar dollar AS. Lebih besar dari gabungan
Gross Domestic Product (GDP) Kostarika, Lituania, Senegal, Sri Lanka, Uganda
dan Zimbabwe bersama-sama (A. Setiono Mangoenprasodjo, Sri Nur Hidayati : 2005)
Konsumsi Rokok Meningkat
Kita kemudian bertanya-tanya siapa yang
diuntungkan dalam insdustri rokok ini. Indonesia yang tergolong negara
berkembang yang miskin ternyata menjadi target masif bagi industri rokok. Tidak
tanggung-tanggung data yang menakjubkan muncul Indonesia adalah negara sebagai
konsumsi terbesar ke-3 dunia yang sebelumnya adalah peringkat ke-5. Indonesia
naik secara signifikan. Data terbaru dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan jika Indonesia
menempati juara ketiga dunia dalam hal merokok. Posisi Indonesia masih teratas
karena dipicu pertumbuhan perokok baru di kalangan generasi muda Indonesia yang
tercepat di dunia.
WHO juga
menambahkan penelitian di 3 propinsi di Vietnam menemukan bahwa perokok vietnam
menghabiskan uangnya 3,6 kali lebih besar di bandingkan pengeluaran untuk
pendidikan, 2,5 lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk pakaian, dan 1,9
kali lipat lebih besar dari pada pengeluaran untuk kesehatan. Indonesia
mengalami peningkatan konsumsi rokok yang sangat tajam, konsumsi tembakau dalam 30 tahun
terakhir: dari 33 milyar batang per tahun di tahun 1970 ke 217 milyar batang di
tahun 2000. Antara tahun 1970 dan 1980, Konsumsi meningkat sebesar 159 %.
walaupun terjadi krisis ekonomi.
terakhir: dari 33 milyar batang per tahun di tahun 1970 ke 217 milyar batang di
tahun 2000. Antara tahun 1970 dan 1980, Konsumsi meningkat sebesar 159 %.
walaupun terjadi krisis ekonomi.
Dari fenomena rokok di atas ternyata
masyarakat dunia nampaknya belum menyadari mereka telah beramai-ramai memberi
kekayaan pada segelintir orang di industri rokok. Pemerintah Indonesiapun setengah hati untuk
mencegah bahaya rokok ke masyarakat pada umumnya. Pemerintah secara terbuka
mengambil keuntungan sepihak dan tidak sungguh-sungguh mencari alternative lain
bagi para pekerja rokok yang akan di PHK jika industri rokok dihentikan.
Kampanya Anti Tembakau Sedunia 31 Mei
nanti adalah peringatan seremonial yang tidak pernah akan berujung. Data WHO di
tahun 2002 yang menunjukkan Indonesia sebagai negara no-5 dunia yakni setiap
tahunnya 215 milyar batang rokok. Urutan pertama Cina (1.643 milyar batang), kedua
Amerika Serikat (451 miliar batang), ketiga Jepang (328 milyar batang) dan
keempat Rusia (258 Milyar batang). Penkonsumsi rokok Indonesia semakin
bertambah di tahun 2010 sampai 2011 ini menjadi hingga Indonesia peringkat ke-3
Setelah Cina dan India.
Profit Pajak dan Dampak Rokok
Revisi PP No 81 tahun 1999 tentang
pengamanan rokok bagi kesehatan menjadi PP no 19 tahun 2003 merupakan awal
bencana bagi rakyat Indonesia. Kampanye Anti Rokok hanya akan sia-sia dan tetap
stasioner tanpa perubahan. PP tersebut menggaris bawahi “tidak adanya
pembatasan kadar kandungan tar dan nikotin dalam rokok.” Alasan revisi PP no 81
tersebut disinyalir karena pesanan aturan dari para pengusaha rokok dan juga
paradigma pemerintah yang menargetkan pemasukan negara berasalan dari industri
rokok akan semakin meningkat. Disebutkan pajak cukai rokok sebesar 27 triliun
menjadi penyebab Pp no 81 dihapuskan dan diganti PP No 19 tahun 2003 .
Pemerintah telah terjebak pada pragmatisme pemasukan pajak rokok tanpa meneliti
dan menimbang dampak rokok yang akan ditimbulkan dari rokok.
Pendapatan Negara Cukai
dan Pajak Rokok mencapai Rp 52 Triliun
tahun 2006. Penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok yang merupakan single commodity pada 2006 mencapai Rp52 triliun. Atas alasan itu, pemerintah akan mendukung perkembangan industri rokok di tanah air mengingat penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok cukup besar bahkan mengalahkan penerimaan negara dari hasil pertambangan yakni Freeport yang dalam satu tahun tidak pernah melebihi angka Rp3 triliun. Target penerimaan cukai rokok tahun 2011 dinaikkan dari Rp 59,3 triliun pada APBN-P 2010 menjadi Rp 60,7 triliun dalam RAPBN 2011. Karena itu, dalam nota keuangan, tarif cukai hasil tembakau disebutkan akan naik 3,9 persen
tahun 2006. Penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok yang merupakan single commodity pada 2006 mencapai Rp52 triliun. Atas alasan itu, pemerintah akan mendukung perkembangan industri rokok di tanah air mengingat penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok cukup besar bahkan mengalahkan penerimaan negara dari hasil pertambangan yakni Freeport yang dalam satu tahun tidak pernah melebihi angka Rp3 triliun. Target penerimaan cukai rokok tahun 2011 dinaikkan dari Rp 59,3 triliun pada APBN-P 2010 menjadi Rp 60,7 triliun dalam RAPBN 2011. Karena itu, dalam nota keuangan, tarif cukai hasil tembakau disebutkan akan naik 3,9 persen
Pemerintah juga telah mengambil
kesalahan besar dari dibebaskannya aturan kandungan rokok. Jika kandungan di
bebaskan dan semakin besar perusahaan rokok memberi kandungan nikotin maka akan
semakin besar candu nikotin yang dikonsumsi masyarakat sehingga perokok di
Indonesia akan terus meningkat. Rokok tetap akan menjadi magnet ketergantungan
abadi bagi rakyat yang telah terjerat rokok. Industri rokok bukan hanya menjadi
ketergantungan semata bagi rakyat yang mengkonsumsi. Ancaman kesehatan sampai
kematian akan terus melanda para perokok. Ada sekitar 4000 kandungan bahan
aktif kimia didalamnya yang dapat membunuh manusia secara pelan maupun cepat
akibat jantung dan paru-paru yang rusak akibat rokok.
WHO pun telah menyatakan bahwa setiap
1 menit ada 8 orang meninggal akibat merokok. Maka tidak mengherankan ormas
Muhammadiyah dan lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan pelarangan keras tentang rokok tersebut. Yang
terjadi di Indonesia rakyat dengan senang hati menukar uang hasil kerja keras
mereka dengan rokok. Makin rendah penghasilan, makin
tinggi prevalensi merokoknya. Sebanyak 62,9% pria berpenghasilan rendah merokok
secara teratur dibandingkan dengan 57,4% pada pria berpenghasilan tinggi (sumber
: Depkes RI). Merokok telah menjadi sebuah kompetisi perlombaan untuk
memberikan pundi-pundi kekayaan bagi para pengusaha rokok.
Menurut data Depkes tahun 2004, jumlah
belanja masyarakat dan negara untuk kesehatan dan obat adalah 20 triliun dan 5
triliun. Padahal total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau yang
dikeluarkan rakyat untuk membeli rokok dalam 1 tahun berkisar adalah Rp 127,4
triliun. Nilai ini sama dengan 10 % APBN Indonesia. Rakyat telah menghabiskan
Rp 127,4 triliun untuk dibakar dan menguap menjadi uang bagi para pengusaha
rokok. Sangat tidak sesuai dengan apa yang diterima rakyat dari pelayanan
kesehatan yang didapatkan selama ini. Pemerintah terkesan sembunyi tangan
dengan industri rokok yang berdampak fatal bagi kesehatan generasi. Sangat
tidak sesuai dengan penyakit yang ditimbulkan akibat rokok dengan fasilitas
kesehatan yang dikembalikan pemerintah untuk rakyat.
Jika alasan lain karena banyak yang di
PHK terkait banyak yang bekerja di sejumlah perusahaan rokok. Kenapa sampai
saat ini pemerintah tidak mencari alternative baru untuk membuat usaha dari
pajak rokok? Pajak yang dikatakan senilai Rp 59 triliun tersebut seharusnya
untuk membangun usaha lain seperti pertanian dan perkebunan yang masih banyak
lahan tidur di Indonesia. Atau untuk industri lain yang lebih memberdayakan
rakyat banyak. Kita tidak menafikan banyak tokoh politik juga memanfaatkan
pengusaha rokok untuk mendanai kampanye politik setiap lima tahun sekali.
Pemerintah sekarang bagai mengail ikan di air yang keruh.
Kita perlu mencontoh keberanian
Jepang. Pemerintah Jepang (01/10/10) memberlakukan peningkatan pajak rokok hingga 40%, dari 300 yen atau sekitar US$ 3,60 menjadi 410 yen
(US$4,90). Tujuan
kenaikan pajak ini adalah untuk mendorong warga berhenti merokok, apalagi
Jepang dikenal sebagai salah satu negara surga perokok. Merokok masih diijinkan
merokok di restoran dan bar di Jepang, dan banyak kantor yang menyediakan ruangan
merokok.. Tetapi harga rokok dinaikan agar warganya menghentikan kebiasaan yang
mengganggu kesehatan tersebut, dan sebuah survei menyebutkan sekitar 60% warga
Jepang ingin menghentikan kebiasaan merokok. Kita pasti bisa mencari Alternative usaha selain rokok. Kita peduli
Indoesia, selamat Hari Anti Tembakau Sedunia(*)
0 komentar