INILAH POLITIK KAMMI
Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Ketua Komunitas Hijau Lampung
dan Aktifis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI)
KAMMI bukanlah partai Politik tapi
KAMMI melakukan aktivitas Politik. Lalu bagaimanakah KAMMI memandang politik?
Plato jauh hari menjelaskan teori politiknya bahwa keadilan yang sebenarnya
hanya dapat terwujud dalam konteks negara Republik. Sebelumnya Plato telah
berbicara tentang tiga unsur diri manusia (rasio, ruh dan nafsu). Saat itu juga
Plato mengatakan ada 3 komponen masyarakat yakni : Pemerintah, tentara dan paa
pekerja. Aristoteles mengatakan bahwa “ Manusia adalah seekor hewan yang
didorong oleh lingkungan (alamnya) untuk
berperikehidupan yang berbudi luhur.[1]Apa
yang disampaikan Aristoteles hampir sama dengan teori politik Plato bahwa
pemenuhan berbagai kebutuhan biologis, sosial, dan etika manusia hanya dapat
terwujud jika ia bergabung dalam aneka asosiasi (perhimpunan) yang bermula dari
keluarga dan berakhir pada negara.
Pendapat Aristoteles dan Plato memberikan
kesadaran bahwa dalam memenuhi kebutuhannya manusia harus mau berhimpun (baca:
berorganisasi) sebagai upaya menyatukan visi misi kehidupan masa depan yang
dapat dipecahkan secara bersama-sama. Dari sinilah nanti ide awal tentang
pentingnya sebuah negara akan terjawab. Pendapat Plato dan Aristoteles meskipun
sedikit berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Seseorang individu yang hidup
sendiri tanpa mau berhimpun digambarkan Aristoteles sebagai perihal persamaan
hewan. Cita-cita individu yang tidak dapat mewujudkan mimpi pribadi mereka
menjadi sebuah tuntutan awal mereka harus berhimpun untuk saling memberikan
bantuan. Keharusan individu untuk berhimpun anilah yang akan menciptakan
masyarakat politik dan merancang masa depan mereka. Asal-usul inilah yang
menjadi jawaban manusia dalam mewujudkan dirinya akan membentuk asosiasi
politik sebagai alasan awal menjadi makhluk politik. Maka Plato juga menyebut
manusia sebagai Zoon Politicon yaitu makhluk individu-individu yang berkumpul
dan melakukan aktivitas politik.
Dengan berhimpun itulah sekumpulan
manusia memiliki sebuah wahana baru kehidupan yaitu kekuasaan. Kekuasaan lahir
dari sekumpulan manusia yang menunjukkan kekuatannya sampai pada menunjuk
pemimpin sebagai individu yang dipercaya mewaakili atau memimpin sebuah
komunitas perhimpunan. (John Locke : 1975) mengatakan bahwa kekuasaan
hadir dari upaya individu untuk menyatukan visi mereka dalam sebuah komusitas.
Visi tersebut lahir dari rangkaian refleksi kesadaran atas hakikat dirinya
sendiri sebagai makhluk yang rasional. Artinya sebuah tatanan komunitas manusia
yang terdiri dari kumpulan individu-individu secara otomatis telah memiliki
kekuasaan untuk mewujudkan visi misi mereka.
Pada
hakekatnya tujuan manusia berpolitik adalah mulia. Karena sejarah
manusia yang pernah hidup saling memangsa (homo homini lupus) menjadikan trauma
berkepanjangan dan tidak heran jika diawal tadi Aristoteles menyebut manusia
adalah hewan. Perilaku saling memangsa yang dilakukan manusia hampir sama
dengan cara binatang dan perilaku berbudi luhur yang akan membedakan manusia
dengan hewan. Maka Platopun mencetuskan ide tentang “The Philosopher King” yaitu seorang gambaran
seorang raja yang tidak hanya memperoleh kekuasaan melalui pewarisan, tapi ia
juga adalah orang baik yang mampu bersikap adil dengan kekuasaan yang
dipegangnya. Hadirnya kekuasaan pada diri seseorang lebih tepatnya karena
kepercayaan rakyat pada individu tersebut untuk memimpin mereka secara baik dan
adil. Maka untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan individu tersebut
dibentuklah sebuah himpunan atau asosiasi organisasi politik yang di sebut
dengan negara. Negara pada mulanya dibentuk untuk mengatur individu-individu
manusia yang memerlukan aling tolong-menolong dalam kehidupan. Negara menjadi
perwakilan kekuasaan rakyat yang diwakili
oleh orang-orang yang dipercaya dan dipilih rakyat sendiri. Hingga
akhirnya kekuasaan itu hadir pada orang-orang yang dipercaya rakyat untuk
mewakili aspirasi mereka, maka muncullah sebuah bentuk system kekuasaan dari
rakyat yang di sebut Demokrasi. Menurut Bahasa Yunani (Demos = rakyat Kretos =
kekuasaan).
Sebagaimana pendapat Plato dan
Aristoteles di atas, Pemikir Islam pun memiliki tujuan yang sama dalam
memandang kekuasaan sebagai wilayah manusia mewujudkan visi-misi kehidupannya. Menurut
Ibnu Taimiyah manusia mesti mambangun sebuah organisasi pemerintahan yang
memungkinkannya terhindar dari situasi yang kacau. Kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia juga bakal tergayuh jika ia tergabung dalam sebuah
komunitas itu, ia memiliki peluang kesempatan membangun kehidupan dan interaksi
sosial yang ditandai dengan tolong menolong dan gotong royong. Dalam konteks
inilah manusia ibarat makhluk politik (homo politicus) yang terbentuk secara
alamiah.[2]
Organisasi menjadi hal yang fundamental
untuk menyatukan visi dan misi individu. Ibnu Taimiyah sama halnya dengan Plato
dan Aristoteles kesadaran untuk berkomunitas adalah jawaban dari masalah
individu yang terus bersaing dan memangsa satu sama lainnya. Kebutuhan
organisasi pemerintah sangat pentingnya bagi pemikiran Ibnu Taimiyah karena
dengan itu kekuasaan akan menghadirkan kesejahteraan dan kebahagian manusia.
Indovidu dengan segala keterbatasannya tidak dapat mewujudkan harapan besarnya
dan pada akhirnya kekuasaan dipercayakan kepada beberapa pihak yang dianggap
mampu mewakili keinginan mereka.
Ibnu Taimiyah juga menambahkan Tidak
ada manusia yang mampu meraih kesejahteraan di dunia dan di akhirat, kecuali ia
tergabung dalam sebuah perkumpulan (ijtima’). Mewujudkan kerjasama dan tolong
menolong. Kerjasama dan tolong menolong itu dimaksudkan untuk menggapai manfaat
dan mencegah apapun yang membahayakan mereka. Tetapi, perkumpulan manusia itu
perlu diatur dengan ketentuan yang dapat menjaga kesejahteraan mereka, baik
yang berupa perintah atau larangan. Mereka juga harus mematuhi pemimpin yang
terpilih demi mencapai cita-cita bersama
serta menjauhi perilaku yang menjadi sumber kejahatan. Lebih dari itu semua
manusia harus taat kepada penguasa yang menentukan perintah dan mengeluarkan
larangan. Orang-orang yang tidak terikat pada satu kitab suci atau mereka yang
tidak menganut suatu agama tertentu, namun mematuhi raja-raja mereka dalam
segala persoalan yang menyangkut kepentingan duniawi, bisa benar dan dapat juga
terjebak dalam kekeliuran.[3]
Pemikiran Plato tentang negara dan
Ibnu Taimiyah memiliki kesamaan dalam pengelolaan jiwa. Plato berpendapat bahwa
negara ideal dapat terwujud dengan bagian “akal” jiwa mengatur bagian-bagian
kehidupan. Tegasnya Plato menginginkan filosuf yang pantas menjadi raja karena
kelebihannya dalam ranah fikir. Sedang Ibnu Taimiyah lebih spesifik menjelaskan
ide tentang idealnya jiwa jika seseorang tunduk pada petunjuk Allah swt tanpa
mengabaikan peran “akal” sebagaimana dimaksud Plato. Jadi negara ideal terwujud
bila semua jajaran masyarakat diatur oleh syariat atau system yang di ajarka
Allah dalam pondasi Al-quran dan Sunnah.
Ibnu Taimiyah melihat keadilan sebagai
syarat pokok bagi semua bentuk pemerintahan yang sah, baik pemerintahan Islam
atau bukan. Nilai keadilan dianggap begitu penting dalam pemikiran politik Ibnu
Taimiyah sehingga berada di atas keimanan bila disangkutkan dengan masalah
pemerintahan. Menurut pendapatnya “Allah swt mendukung negara yang adil meski
bercorak atheistik, Namun Allah tidak akan mendukung pada negara yang tidak
adil kendati dijalankan atas dasar keimanan.[4]
KAMMI sebagai gerakan muslim sangat
menginginkan cita-cita politik yang dibangun atas landasan semangat memperbaiki
moral bangsa. Moral yang ingin dibangun KAMMI adalah moral yang landasi atas
kehidupan beragama dan menyadari diri sebagai makhluk Tuhan. Etika politik yang
dibangun atas dasar akal maka yang ada adalah kepentingan duniawi. Sehingga
politik digunakan untuk mengakali sesama saudar, antar golongan, bahkan antar
negara. Politik yang berwatak kekuasaan terus menjadikan makhluk zoon politicon
tidak akan pernah puas sebelum kematian menjemput. Politik bagi KAMMI adalah
tindakan mulia, tindakan pembebasan manusia dari nalar akal menuju nalar wahyu.
Memadukan akal dan wahyu menjadi syarat baiknya sebuah sytem politik. Yunani
yang terlalu memuja akal hari ini terbukti menjadi negara terbelakang dalam
praktek demokrasi sesungguhnya. Barat yang mempraktekan demokrasi Yunani pada
kenyataannya menggunakan politik untuk menjajah sumber daya ekonomi negara
timur.
Ibnu Taimiyah adalah salah satu sosok
yang memberikan penyegaran muslim dalam memandang Politik.Masih banyak tokoh
Islam lain yang dapat kita jadikan contoh dalam memandang politik sebagai tugas
mulia seperti Al-Ghazali, Jamaludin Al Afgani, Sayyid Quthb, dan tokoh lainnya.
Dalam konteks Indonesia KAMMI sangat mengaprasiasi politikus muslim yang penuh
dengan landasan etika moral agama seperti Ahmad Dahlan, Hos Cokroaminoto, Hasym
Ashari, Agus Salim, M Natsir, M Hatta, Buya Hamka dan lainnya. Mereka telah
memberikan kerangka etik mengembalikan intelektual profetik ditengah suramnya
Islam dalam peradaban. KAMMI meyakini Islam akan bangkit bersama dibangunnya
perdaban sebagaimana masa awal Islam membangun nilai-nilai Islam dalam sebuah
negara madinah. KAMMI meyakini Islam memberikan konteks lebih lengkap dalam
memandang setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan. Karena KAMMI yakin
akan system Islam yang harus digali, ditemukan dan dipraktekan kembali di
tengah-tengah kehidupan manusia.
[1] Aristoteles, The Politics, disunting oleh Ernest Barker (Oxford : Oxford University Press, 1973) hal 111
[2] Dr. Khalid Ibrahim
Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, Surabaya, Risalah Gusti :
1995) hal v
[3] Ibnu Taimiyah, Ma’jmu’
Fatawa,...., jilid 28 hal 62
[4] Ibnu Taimiyah, Al-hisbah,....
hal 3
0 komentar