Oleh : DHARMA SETYAWAN
Aktifis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Terbit di media online Okezone pada Selasa, 24 Mei 2011
Terbit di media online Okezone pada Selasa, 24 Mei 2011
13
tahun reformasi adalah sejarah masifnya gerakan mahasiswa dalam
menumbangkan rezim orde baru. Reformasi telah meninggalkan perjuangan
yang dipenuhi dengan air mata, darah dan nyawa. Gerakan mahasiswa adalah
panggilan nurani untuk merubah kepemimpinan tiran dan menghegemoni
negara dengan kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Gerakan
mahasiswa akhirnya harus mengambil jalan gerakan ekstraparlementer (luar parlemen) untuk melawan despotisme
pemimpin yang sudah berkuasa selama 32 tahun lamanya. Atas nama rakyat
gerakan mahasiswa menjadi gerakan radikal yang sebenarnya tidak disukai
oleh rakyat sendiri yang jelas-jelas diperjuangkan haknya sebagai
makhluk bernegara. Tidakan represif militer, popor senjata, tembakan
peluru dihadapi demi idealisme perjuangan. Gerakan mahasiswa akhirnya
berhasil menumbangkan rezim otoriter dengan terus memobilisasi masa dan
terus melakukan gerakan radikal.
Demokrasi dan Kembalinya Hegemoni Parpol
Mei
98’ adalah sejarah gerakan mahasiswa terkuat dalam menyuarakan aksi
untuk menuntut demokrasi yang lebih terbuka dan fair. Tidak adanya
keterbukaan dan rezim yang penuh pengekangan dipaksa untuk turun dari
singgasananya yang sudah berkuasa 32 tahun. Pada akhirnya gerakan radikalisme harus diambil sebagai jalan perlawanan rezim otoriter. Gagasan radikalisme perubahan pernah ditawarkan oleh Karl Marx, dengan perspektif Marx ortodoks gerakan radikal diupayakan untuk melakukan perubahan kebijakan mengganti rezim. Oleh karena itu menurut Marx perubahan harus dilakukan dengan memobilisasi massa dan memaksa rezim tiran turun dari singgasana.
Demokrasi
terbuka berhasil menjadi isu 98’ dan segala tuntutannya, namun seiring
perjalanan reformasi sampai hari ini belum menunjukkan keberhasilan
Indonesia menjadi welfare state (negara sejahtera). Masalah yang
timbul adalah demokrasi malah menunjukkan kebebasannya yang semakin
memperlihatkan laku politik yang elitis dan tuli terhadap aspirasi.
Demokrasi semakin offside dan menimbulkan problem baru bangsa yaitu hegemoni parpol dalam system demokrasi.
Rentetan pemilu daerah dan nasional menjadi ajang transaksi kotor yang
merusak etika demokrasi. Parpol menjadi alat penghisap kekuatan modal
paling kuat setelah reformasi berhasil digulingkan. Multi partai semakin
memperlihatkan kepongahannya dan menunjukkan demokrasi yang tidak
substansi. Reformasi dibajak oleh elit politik dan memburamkan nalar
etik demokrasi kita.
Beberapa
kesalahan besar yang dilakukan parpol adalah mengeluarkan legetimasi
konstitusi yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat. Parpol secara
perlahan melakukan rekonsolidasi otoritarianisme sebagaimana gaya orde baru. Pertama,
Parpol dengan wakilnya di DPR mengeluarkan konstitusi yang tidak
berupaya menyelamatkan kekayaan alam Indonesia tapi mendukung hegemoni
asing menjarah kekayaan Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam isi UU
penanaman modal asing, UU Migas, UU kehutanan, UU Air dan UU lainnya
yang lebih pro terhadap asing. Kedua, Parpol semakin menunjukkan laku politik yang miskin program untuk rakyat tapi kaya program untuk kepentingan kelompok partai. Ketiga,
parpol semakin otoriter dalam meraup keuntungan atas transaksi
demokrasi ditiap pilkada. Bukan hal baru parpol melakukan tawar menawar
harga dengan calon yang diusung dalam pemilu kepala daerah. Hal ini
sangat jelas menunjukkan parpol semakin otoriter dan telah mencederai demokrasi dengan rekonsolidasi otoritarianisme.
Rekonsolidasi otoritarianisme
bisa berupa : system politik demokratik yang pelan-pelan mengarah
kepada system otoriter, penguasa mulai terlihat watak otoriternya,
persekongkolan kepentingan atau budaya lama yang menghinggapi mental dan
cara kerja politik para aktor. Mereka memang hidup di era reformasi,
tapi mereka sungguh belum reformis. Mereka terpilih lewat mekanisme yang
demokratis tapi mereka belum sepenuhnya demokratis (Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen, 2008)
Kembali Mengokohkan Gerakan Mahasiswa
Demokrasi semakin offside,
ini yang terjadi diusia reformasi yang sudah 13 tahun. Kekuatan
mahasiswa yang dulu mengangkat isu keterbukaan demokrasi harus mengambil
jalan perjuangan untuk mengembalikan nalar etika demokrasi. Antonio Gramsci sebagai pengagum Marx mencari jalan lain dalam melakukan gelombang perubahan di tengah offsidenya demokrasi. Gramsci
tidak menawarkan mobilisasi gerakan massa sebagaimana gerakan 98’
karena demokrasi sebenarnya sudah sedemikian terbuka dan pemimpin bebas
dikritik. Gramsci lebih menarik dengan menawarkan gerakan intelektual
yaitu membangun kesadara kultural masyarakat. Artinya gerakan ini lebih
pada aktivitas ilmiah dan bentuk pencerdasan masyarakat disegala lini.
Gerakan intelektual ini ditujukan dalam rangka melawan kekuatan Parpol
sebagai hegemoni negara. Gerakan Gramsci ini lebih dikenal dengan counter hegemoni.
Gerakan
mahasiswa sekali lagi harus mengambil jalan perjuangan untuk
menyelamatkan misi demokrasi yang benar-benar mensejahterakan rakyat.
Beberapa hal yang harus dilakukan gerakan mahasiswa harus bergerak
terstruktur dan tetap melibatkan massa tapi tidak untuk melakukan
gerakan radikal. Pertama, Gerakan mahasiswa harus turun ke basis
rakyat dan melakukan pendidikan politik dan kampanye anti parpol elit
yang mengkapitalisasi suara kontituen. Kedua, melakukan kerja
intelektual dengan menguatkan posisi tawar daerah dan melawan parpol
yang miskin program sehingga memaksa parpol bekerja terprogram ketika
janji kepada rakyat. Ketiga, mencermati peraturan daerah dan mencari gagasan cerdas dengan pengkajian Peraturan Daerah
(PERDA) yang pro tehadap rakyat. Artinya mahasiswa juga harus kaya akan
pengkajian ilmiah dan mampu mencari solusi terobosan pembangunan daerah
sebagai wujud bentuk konkret substansi otonomi daerah.
Sebagaimana pendapat Gramsci kerja mahasiswa merupakan salah satu bentuk intelektual organik yang mampu bekerja dengan perubahan konstitusi sebagai landasan pijak. Gerakan pengkajian konstitusi oleh Intelektual organik
akan lebih memberi solusi dari kejumudan para wakil parpol di
legislatif. Para wakil rakyat di DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/
kota yang miskin Prolegnas (Program Legislatif Nasional) dan Prolegda (Program Legislatif Daerah) didesak untuk bekerja bersama intelektual organik untuk menghasilkan konstitusi
dan perda yang pro takyat. Bersama Mahasiswa, akademisi, dan pers
segera melakukan Penguatan Ormas, LSM, dan Komunitas rakyat sebagai cara
mencerdaskan sikap politik bangsa dan pemahaman rakyat bagaimana
menjalankan demokrasi substansial. Gagasan Gramsci ini lebih relevan karena Indonesia butuh adanya perubahan konstitusi baru sebagai pijakan demokrasi rakyat. Tanpa harus meninggalkan gerakan jalanan mahasiswa suatu waktu juga perlu melakukan preasure group sebagai ciri Gerakan Mahasiswa.
Ali Syariati
mengatakan, “misi suci kaum intelektual atau cendekiawan adalah
membangkitkan dan membangun masyarakat bukan memegang kepemimpinan
politik negara. Dan melanjutkan kewajiban dalam membangun dan menerangi
masyarakat hingga mampu memproduksi pribadi tangguh, kritis, independen,
dan punya kepedulian sosial tinggi”. Pendapat Syariati di atas menguatkan argumen bahwa pencerdasan civil society sangat penting dalam demokrasi kita. Masyarakat yang cerdas akan memunculkan pemimpin yang baik dan juga memunculkan konstitusi
yang bermutu serta pro kepentingan rakyat. Kaum intelektual seperti
gerakan mahasiswa akan terus ada dan tumbuh untuk menjaga nalar etik
demokrasi. Mereka adalah penjaga kebenaran dan selalu akan menjadi aktor
eksekusi bagi rezim tiran yang menghegemoni. Mengokohkan kembali
gerakan mahasiswa sangat penting bagi perjuangan gerakan. Menolak tunduk
terhadap hegemoni parpol adalah pilihan logis sebagai gerakan sosial
independent dan gerakan ekstra parlementer.
0 komentar