MENCARI NEO”KARTINI"ISME
09.40.00
Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Ketua Komunitas Hijau Lampung
dan Aktif di Kajian Strategis KAMMI Lampung
21 April hari yang spesial bagi wanita Indonesia. Hari dimana
para wanita mengenang sosok pembaharu yang mengangkat harkat martabat wanita di
Indonesia. Wanita dimasa penjajahan belanda mengalami berbagai ketidakadilan,
perlakuan yang semena-mena oleh kaum laki-laki, dibiarkan terpuruk dalam
kebodohan tanpa dunia pendidikan dan lain sebagainya. Kartini menjadi sosok
pemecah kebuntuan peradaban zaman bagi wanita di Indonesia. Kartini menjadi sebuah representasi
perjuangan kaum wanita di Indonesia
yang memimpikan sebuah perubahan bagi diri dan derajat kaum wanita saat itu.
Namun peringatan Kartini yang setiap tahun dirayakan di
negeri ini tidak menjadikan refleksi bagi kita semua akan masa depan
bangsa Indonesia
yang salah satunya bertumpu pada kaum Wanita. Maraknya Prostitusi, Pornografi,
dan pornoaksi adalah gambaran hari Kartini hanyalah sebuah ritualisme
tahunan yang dilakukan tanpa ada sebuah makna untuk saling memperbaiki kondisi
dan harkat martabat di Indonesia.
Budaya Timur yang terkenal dengan sopan santun, tata krama, tepo sliro telah
menjauh dan malah semakin mendekat dengan peradaban barat yang sangat mengagungkan
prinsip Kebebasan (Liberalisme). Sosok Kartini sebenarnya sudah lama
tidak menjadi panutan bagi bangsa ini dalam mengambil peran Wanita. Padahal Kartini
dikenal sebagai sosok wanita pembaharu dalam Intelectualisme dan Budaya Bangsa.
Semakin menjamurnya Budaya Barat di Indonesia membuat
wanita Indonesia
semakin lupa dengan akar budaya yang kita miliki selama ini. Dan lebih
dahsyatnya lagi kita terkadang masih saja berani melantangkan nasionalisme
yang sebenarnya sudah lama hilang tergerus budaya barat yang semakin hari mencengkeram
kita. Sebaiknya kita menengok kembali bagaimana sejarah peradaban barat dalam
melihat makhluk yang bernama wanita. Philip J. Adler, dari East
Carolina University, dalam bukunya World Civilizations (2000),
menggambarkan bagaiman kekejaman barat dalam memandang dan memperlakukan
wanita. Sampai abad ke- 17, di Eropa wanita masih dianggap sebagai jelmaan
setan atau alat bagi setan untuk menggoda manusia. Seorang penulis jerman abad
ke- 17 Adler menulis : It is fact that women has only a weaker faith (In
God). Adalah fakta bahwa wanita itu lemah dalam kepercayaan kepada Tuhan.
Dan itu sesuai dengan konsep etimologis mereka tentang wanita yang dalam
bahasa mereka di sebut ‘female’ yang dalam bahasa Yunani ‘femina’.
Kata ‘femina’ berasal dari kata ‘fe’ dan ‘minus’.‘Fe’
artinya ‘fides’, ‘faith’(kepercayaan atau iman). Sedangkan ‘mina’berasal
dari kata ‘minus’ artinya kurang. Jadi femina artinya seseorang yang
imannya kurang (one with less faith) karena itu barat di abad ke- 17
memandang wanita sebagai makhluk jahat.
Karenanya di Abad ke- 17 di barat banyak terjadi
pembantain terhadap kaum wanita. Adler mengungkap data pada periode
1572-1629, ada 152 wanita yang dibantai dan dituduh tukang sihir, mereka
dibantai dengan cara digantung dan dibakar hidup-hidup. Sebanyak 306 orang hampir
semua wanita dibantai hanya dalam tempo
6 tahun di desa-desa dekat kota Trier dan hanya ada 2 saja
wanita yang tersisa.
Lain dengan Islam sejak abad ke- 7 Islam sudah
memberikan garis yang tegas bagaimana dalam memandang dan mendudukan posisi
wanita baik secara individual, keluarga dan masyarakat. Islam begitu menghargai
wanita ketika dulu para orang tua harus mengubur hidup hidup karena malu
memiliki anak perempuan. Islam menghargai wanita yang haid dan tidak
mengusirnya seperti yang dilakukan Yahudi bahkan Islam tidak menyuruh Istri
harus bunuh diri mengikuti suami yang telah meninggal seperti pernah terjadi di
India.
Bahkan di Islamlah wanita mendapatkan hak warisan ketika saat itu wanita tidak
memiliki hak sedikitpun. Islam juga mengatur Poligami hanya sampai empat
ketika dulu banyak para raja mengambil istri dan selir sesuai keinginannya.
Pembantaian wanita di Eropa itu terjadi pada abad ke- 17
, jadi 1000 tahun atau 10 abad setelah islam menyelesaikan konsepnya tentang
Wanita dan mangangkatnya menjadi makhluk terhormat. Setelah Barat terjatuh
kedalam satu kutub Ekstrem, mereka sekarang terjatuh dalam kutub ekstrem yang
lain. Jika dulu Barat menindas wanita sekarang Barat melepaskan wanita
sebebas-bebasnya.Dengan konsep Liberalisme dan relativisme para wanita
dipandang sebagai keindahan dan harus dinikmati. Budaya Barat sekarang lebih
melegalkan bahwa kecantikan harus diumbar, Maka tidak heran jika persepsi barat
bahwa manusia di nilai dari segi penampilan. Media yang telah memberikan
transformasi budaya Barat menjadikan bangsa kita mengikuti Budaya mereka.
Kontes kecantikan Putri Indonesia,
Take him/me/selebriti out, miss waria, dan acara syahwat lainnya merupakan
produk-produk budaya barat. Wanita dihargai bukan karena kecerdasan atau
usahanya tapi karena Fisiknya. Fisik adalah sesuatu yang ‘Given’.Jika hal ini
menjadi paradigma semua kalangan maka tidak ada tempat bagi orang-orang yang di
karuniai Tuhan dengan fisik yang kurang. Acara seperti take me out tentu tidak
akan berlaku jika manusia lebih mengedepankan isi dari pada tampilan.
Dan jangan heran jika Negeri ini lebih menghargai Artis
dari pada para tokoh Pendidikan. Negeri yang tergila-gila dengan budaya lain
yang akhirnya lebih menempatkan Fisik dan tampilan dari pada isi. Negeri yang
mengangkat para penebar syahwat ke tempat terhormat. Lihat saja dari
kontroversi Inul, Trio macan, Dewi persik yang merusak moral para wanita.
Semangat perubahan yang dilakukan Kartini perlu kita
bangkitkan kembali untuk mengobati pola fikir masyarakat kita yang sudah sakit
dan lupa akan budayanya sendiri. Sikap baik dari Individu maupun Kolektif
akan menjadi penyembuh bagi para generasi masa depan yang semakin tidak
menyadari bahwa dulu nenek moyang kita memiliki peradaban yang lebih baik dari
pada peradaban syahwat yang selama ini di konsumsi bangsa ini. Spirit kartini
akan menjadi penggerak bangsa untuk menuntaskan perubahan bangsa yang lebih
baik.
0 komentar