Oleh Dharma Setyawan (Ketua Komunitas Hijau Lampung dan Aktivis KAMMI)
Di muat di Radar Lampung Jumat, 06 Mei 2011
Di muat di Radar Lampung Jumat, 06 Mei 2011
Siapa
sangka nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) begitu pedih. Mimpi akan
merubah nasib di negeri orang menjadi petaka bagi ribuan orang yang
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Istilah pahlawan devisa yang
disematkan untuk menaikkan derajat para TKI tidak sebanding dengan
derita yang mereka rasakan seperti penyiksaan, pemerkosaan bahkan
sampai pembunuhan.
SEBERAPA besar jasa TKI, hingga September
2010, total dana remitansi yang dikirimkan di luar negeri mencapai 5,031
miliar dolar Amerika dengan angka terbesar datang dari Malaysia disusul
Arab Saudi. Data lain menyebut, dari 2009 hingga awal Maret 2010
pemasukan devisa yang dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI
mencapai 6,615 miliar dolar AS atau setara Rp60 triliun. Pada 2010, bank
dunia bahkan memprediksi akan mencapai 7 miliar dolar lebih.
Berdasarkan data yang dikompilasi Bank Indonesia, jumlah remitansi yang
diperoleh dari TKI pada 2008 sebesar USD6,6 miliar, 2009 (USD6,617
miliar), dan September 2010 (USD5,03 miliar). Begitu juga kontribusinya
terhadap pertumbuhan domestik bruto (PDB) yang pada 2008 tercatat 1,3%,
2009 (1,2%), dan kuartal II-2010 (1%). Jika melihat data, tidak
berlebihan dikatakan TKI dikenal sebagai pahlawan devisa yang memberikan
kontribusi besar bagi negara.
Namun, TKI yang selama ini
memberikan keuntungan bagi Indonesia telah berujung pada pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) yang dilakukan negara tetangga sebagaimana
memandang TKI seperti budak. Pelecehan terhadap para TKI ini sudah di
luar tindakan manusiawi. Indonesia sebagai negara besar telah kehilangan
martabatnya dengan menjadi pembantu di negeri orang. Pemerintah selama
ini memang menjadi target yang layak disalahkan karena terlalu lamban
mengatasi upaya perlindungan terhadap para pahlawan devisa yang
mengalami penyiksaan di negeri orang. Kasus demi kasus terungkap media
namun pemerintah kurang responsif dalam membela hak-hak para TKI. Ide
Presiden SBY untuk membekali para TKI handphone hanyalah ide insidental
atau responsif sesaat yang jika dikaji kembali merupakan kebijakan yang
tidak menyelesaikan dasar permasalahan. Pemerintah terkesan mengalami
gejala birokrasi gagap ketika melihat media menayangkan penyiksaan TKI
yang terus memunculkan korban baru hingga melonjak ribuan kasus dari
tahun ke tahun.
Tercatat di BNP2TKI, pada 2008 terdapat
45.626 kasus yang menimpa 4,3 juta TKI kita di luar negeri. Jumlah kasus
terbesar terjadi di Arab Saudi, 22.035 kasus. Kemudian beberapa negara
Timur Tengah lainnya, seperti UEA 3.866 kasus dan Qatar 1.516 kasus.
Menurut data pemerintah, jumlah TKI di luar negeri kini sekitar 3,27
juta orang. Sementara, menurut Lembaga Migrant Care, jumlah TKI kita
diperkirakan mencapai 4,5 juta orang. Sebagian besar di antaranya atau
sekitar 70% adalah TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Menurut catatan Migrant Care. Sepanjang 2010, jumlah total dari berbagai
jenis masalah yang dialami buruh migran mencapai 45.845 kasus dan 908
orang mati sia-sia. Kasus yang paling tragis adalah Sumiati binti Salan
Mustapa yang baru bekerja pada Juli 2010 di Madinah disiksa ibu dan anak
perempuan majikannya. Bahkan, bibirnya sobek digunting. Juga kasus
Nirmala Bonat, bekas TKW Malaysia yang mengalami penyiksaan hebat dari
majikannya dengan menyeterika tubuhnya serta disiram dengan air panas.
Permasalahan yang timbul terkait TKI disebabkan beberapa faktor.
Pertama, dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar TKI
berpendidikan sekolah dasar, bekerja di sektor informal, sementara 30%
sisanya adalah TKI terdidik dan terampil yang mayoritas bekerja di
sektor formal. TKI yang bekerja di Malaysia merupakan jumlah TKI
terbesar, yaitu sekitar 2 juta orang. 70 % yang berpendidikan rendah
membutuhkan keterampilan yang memadai sehingga ketika dikirim ke luar
negeri merupakan pekerja yang profesional. Manajemen perekrutan TKI
selama ini hanya diserahkan kepada swasta yang berorientasi terhadap
untung. Sehingga pemerintah dari awal tidak tanggap terhadap kemampuan
TKI yang sesungguhnya. Kedua, Status kerja para TKI tidak pada aturan
yang baku dan jelas dari kesepakatan antar negara. Berapa jam kerja?
Berapa standar gaji? Berapa kontrak baku? Bagaimana pelanggaran HAM?
Dalam hal ini belum ada aturan yang mengikat antara pihak Indonesia dan
negara tujuan. Sehingga jika terjadi pelanggaran HAM, pihak Indonesia
tidak dapat menuntut secara legitimasi hukum yang kuat. Tenaga kerja
Indonesia bermasalah (TKIB), tenaga kerja yang mengalami segala bentuk
kekerasan, ilegal, dan tidak mendapat perlindungan hukum di negara
tempat bekerja. Ketiga, Warga negara Indonesia overstayers (WNIO),
mereka adalah warga negara Indonesia yang masa izin tinggalnya sudah
habis alias overstayers dengan visa/kafil bebas yang izin tinggalnya
sudah habis masa berlakunya atau tidak mempunyai dokumen perjalanan
resmi baik berupa paspor maupun dokumen perjalanan lainnya. Masalah ini
tidak bisa dibiarkan terus menerus mengingat banyak TKI yang menggantung
status kewarganegaraannya dan ada 400 TKI di Arab Saudi yang hidup di
bawah kolong jembatan.
Dari rentetan kekerasan terhadap TKI
dan negara tempat tujuan yang menganggap TKI bagai budak, protes
dilakukan oleh berbagai kalangan mulai aktivis mahasiswa dan sejumlah
LSM di tingkat daerah sampai nasional. Gerakan mengumpulkan dana 1000
rupiah untuk pemulangan TKI cukup membuat Pemerintah yang lambat
responsnya seperti kebakaran jenggot. Tuntutan demi tuntutan terus di
gaungkan agar nasib TKI yang telantar di negeri orang dapat dicarikan
solusinya. Pemerintah akhirnya memutuskan memulangkan 5.000 lebih TKIB
dan WNIO. Sebanyak 2.072 orang telah dipulangkan dengan pesawat Garuda
dan sisanya 2.349 menggunakan KM. Labobar. Dari jumlah 2.349 WNI/TKI
yang dipulangkan menggunakan KM Labobar, lanjut Imam, terdapat 32 TKI
laki-laki, 169 anak-anak dan balita, sisanya sebagian besar WNI eks
umrah dan TKI perempuan, termasuk 87 wanita dalam keadaan hamil 1-8
bulan lebih.
Namun sungguh mencengangkan, ternyata para TKW
telah banyak yang memiliki anak tanpa ada ayah yang jelas dan tidak mau
bertanggung jawab. Wanita dalam keadaan hamil tanpa suami siap menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk lebih bertanggung jawab
sebagaimana para TKI telah pasrah dengan nasib mereka. Bahkan ada TKW
yang pulang menggunakan KM Labobar melahirkan dalam perjalanan. Kita
sangat sedih dengan apa yang terjadi di negeri ini. Kepada siapa lagi
nasib bangsa ini akan dapat diperjuangkan kecuali dengan ketegasan dan
responsibility dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Ke depan
perbaikan sistem dan perekrutan TKI serta kerja sama yang terlegitimasi
hukum harus dibentuk antarnegara. Pahlawan devisa yang memberikan
keuntungan bagi Indonesia jangan dianggap sebagai sapi perah yang
seenaknya diperlakukan bagai budak tanpa pertanggungjawaban negara yang
pasti. Kita berharap pemerintah menyadari dan memperbaiki semua keadaan.
(*)
0 komentar