ISLAM MENUNTUT MORAL (Side A)
(Mengurai
Perdebatan Demokrasi Dan Khilafah)
Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Majelis Serikat KAMMI Madani (SKM)
dan Ketua Komunitas Hijau Lampung
Pendahuluan
Perdebatan system demokrasi dan
khilafah belum tuntas dalam ruang negara. Kelompok-kelompok Islam yag pro dan
kontra dengan demokrasi terus menggulirkan wacana ilmiah untuk memperebutkan
konteks peradaban yang pantas dijalankan, demokrasi dan khilafah telah memasuki
ruang pemikiran dan relung perkembangan gerakan Islam. Sebut saja sejumlah gerakan Islam seperti HTI
(Hisbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan
gerakan Islam lain yang menolak habis system demokrasi. Penolakan itu pun bukan
tanpa alasan, dalam konteks demokrasi Indonesia fakta yang terjadi semakin
menunjukkan demokrasi dipenuhi laku amoral para elit politik. Gerakan anti
demokrasi ini menurut penulis sah-sah saja dilakukan sebagai bagian dari
gerakan kebebasan berpendapat ditengah demokrasi yang katanya egaliter.
Pergulatan antar system ini terus tumbuh seiring dengan bangkitnya kaum santri,
seperti kalangan NU atau Muhammadiyah yang mulai masuk wilayah politik praktis
dengan mendirikan Partai. Sebut saja mantan ketua umum PBNU Abdurahman Wahid
(Gusdur) dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah Amien Rais. Demokrasi pada era
reformasi semakin memberikan ruang bagi kaum santri untuk menunjukkan powernya
di arena kekuasaan.
A. Agama, Demokrasi dan
Perdebatan Elitis
Namun seiring perjalanannya, demokrasi
yang dibangun telah menumbuhkan ide-ide yang merusak tatanan nilai agama.
Pertaruhan para kaum santri terjun di politik praktis memang berakibat pada
wajah citra Islam sebagai solusi. Bahkan
survei LSI tahun 2006 menunjukkan, PKS, PBB, dan PPP
masing-masing belum menunjukan peningkatan berarti. Mereka jauh tertinggal oleh
partai sekuler (Golkar, PDIP, Demokrat) seperti juga terlihat dalam pemilu2004.
Dalam pemilu 2004 kekuatan ketiga partai berplatform Islam ini hanya sekitar
18%.Sekarang, minus dengan yang belum menentukan pilihan, kekuatannya tidak
lebih dari10%. Sementara tiga partai sekuler (Golkar, PDIP, Demokrat), minus
yang belummemutuskan, relatif stabil, yakni sekitar 43%.[1]
Fatsoen politik, politik aliran, ideologi
politik, platform politik dan segala jenis warna politik kaum santri menjadi
campur aduk dan membaur dengan ide-ide demokrasi liberal. Dan yang terjadi
adalah munculnya pemahaman pluralisme, sekulerisme dan liberalisme.
Pembahasan pluralisme misalnya menjadi
semacam jargon baru bagi sebagian kalangan kaum santri yang mencoba lepas
landas dari cita-cita kaum santri dalam membuktikan ekstensi Islam dalam
kepemimpinan. Pluralisme diangkat sangat santer oleh beberapa kalangan Islam
seperti Gusdur dengan dalih penghargaan terhadap kemajemukan agama dan
perbedaan golongan. Memang Pluralisme baik diperlukan sebagai bentuk toleransi
modern. Namun Pluralisme telah menjadikan sesuatu kebenaran menjadi relatif,
pada akhirnya pluralisme mulai masuk pada diskursus agama dan menganggap semua
agama sama. Bagi sebagian kalangan muslim Indonesia, pendapat pluralisme
menjadi pertentangan karena sudah memasuki wilayah akidah (keyakinan) beragama.
Jika semua agama sama maka Tuhan menjadi majemuk, sehingga dengan sendirinya
tidak ada ajaran Tuhan yang benar karena semuanya relatif.
Pertentangan beberapa kalangan muslim pun
terus terjadi menyangkut ide Pluralisme seperti ketua Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia (DDII) DR. Adian Husaini.[2] Kelompok
pro pluralisme berani mengobok-obok wilayah agama yang awalnya hanya membahas
toleransi kemanusian. Kaum pluralisme yang masuk dalam wilayah agama ini
kemudian melembagakan ide gagasannya dalam wadah Jaringan Islam Liberal (JIL).
Gagasan JIL pun kemudian mendapat pertentangan dari sebagian kalangan yang pro
demokrasi tapi menolak pluralisme masuk wilayah agama. Bahkan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa “Paham Selularisme, Pluralisme
(agama), dan liberalisme bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat
Islam untuk memeluknya.”[3] Gagasan
kaum liberal pun penuh dengan kontroversi misalnya mendukung manusia yang
menikah beda agama bahkan kawin sesama jenis. Perdebatan merekapun semakin
elitis memenuhi ruang agama dan malah tidak menyentuh pokok substansi di tengah
demokrasi yang semestinya fokus ke masalah kemiskinan masyarakat. Bahkan
gagasan para kaum liberal ini terkesan mubazir wacana ditengah demokrasi
indonesia yang sangat khas yaitu agama menjadi spirit perubahan dan melakukan
perlawanan rezim yang berkuasa selama 32 tahun. Penulis tidak akan membahas
Pluralisme secara mendalam dalam bab ini namun cukup mengutip sedikit sebagai
pemantik wacana system demokrasi Indonesia.
Gagasan kelompok liberal inipun
berlanjut tidak sekedar pluralisme agama tapi meningkat pada ide sekulerisme (memisahkan
antara ruang agama dan negara). Frans Magnis Suseno dalam penyampaiannya
menuliskan, Kata “Sekulerisme” di Indonesia memang masih kata yang tidak dapat
diucapkan. “sekulerisme” dihubungkan dengan “negara sekuler” dan negara
sekuler kita tolak. Itulah kesepakatan
umum diantara kita. Indonesia, begitulah cara berbicara yang kita sepakati,
atau yang sudah biasa dan diulang-ulang terus, bukan “negara agama” dan bukan
“negara sekuler”, melainkan negara pancasila.[4]
Sekulerisme muncul akibat gesekan gesekan
yang yang sering terjadi antara agama dan negara. Ketakutan sebagian pihak yang
menuntut sekulerisme karena tidak ingin adanya pemaksaan negara terhadap rakyat
oleh hegemoni agama. Almarhum Nurkhols Madjid pun menyatakan bahwa “Islam dan
sekulerisasi bukan bertentangan, melainkan Islam menuntut sekulerisasi.
Sekulerisasi dalam arti bahwa yang
duniawi memang duniawi dan harus didekati dengan nalar.” Namun perdebatan terus
muncul seiring dengan peran negara dan agama yang terkadang terus bertolak belakang.
Jika sekulerisme kemudian menghalangi agama mengintervensi negara yang ingin
memberikan warna bagi kehidupan negara yang berbau religius. Di era reformasi
ini sebaliknya, negara yang melanggar sekularisasi karena mengintervensi agama
dan semenjak dulu memang mengatur wilayah keagamaan. Negara mencabik-cabik
nilai keyakinan agama dengan membolehkan penistaan agama tertentu. Nilai
keyakinan agama menjadi rancu mana ajaran yang benar dan mana yang salah.
Bahkan negara terlalu represif terhadap pemeluk agama yang menuntut keadilan
setelah melakukan pembiaran terhadap penistaan agama. Ide sekulerisasi pun
seperti sesuatu yang dipaksakan karena fakta tidak dapat dipungkiri bahwa agama
dan negara tidak dapat dipisahkan.
“Dalam studi
kasus ditemukan bahwa negara dan agama saling berkaitan, contohnya tentang
ibadah, hari raya, perkawinan, dan lainnya yang di sebut ruang privat akhirnya
melibatkan negara dalam mengatur jam kerja, hari libur dan urusan administrasi
pengesahan. Kemudian agama juga masuk dalam wilayah negara seperti tentang UU
pornografi dan pornoaksi, kemudian negara yang ikut campur dalam masalah poligami yang terjadi
di masyarakat. Agama juga memberi solusi tentang pengentasan kemiskinan dengan
penerapan UU zakat yang antara satu daerah ada yang menyetujui dan daerah lain
tidak setuju.bahkan Negara juga mengadopsi symbol-simbol agama, kitab suci (kontitusi),
ritual dan sebagainya.”[5]
Negara tetap mengatur kehidupan agama
karena hal ini menyangkut masalah negara bermanfaat memberikan fasilitas kenyamanan
bagi aktifitas keagamaan manusia. Negara dan agama tidak mungkin dipisahkan
(baca : disekulerkan) karena saling berkaitan. Dengan sendirinya ide tentang liberalisme
absolut (kebebasan mutlak) dalam demokrasi terpatahkan. Negara dan agama
tetap membutuhkan relasi kerja, dimana negara membutuhkan moral baik rakyat
yang diadopsi dari kehidupan agama dan agama butuh negara untuk mendapatkan
perlindungan aktifitasnya.
Sebelum reformasi ide pluralisme,
sekulerisme, dan liberalisme belum tumbuh seperti sekarang dan agama berjalan
rukun tanpa ada gejolak parah. Bahkan agama menjadi simbol perlawanan terhadap
arogansi negara di orde baru. Agama Indonesia sebenarnya masih normal
sebenarnya tanpa gagasan pluralisme, sekulerisme dan liberalisme yang masuk ke ruang
agama. Gesekan agama terjadi akibat negara tidak memberikan ketegasan norma
beragama. Alih-alih membuat kerukunan, ide tersebut di atas malah menambah
sumbu kerusuhan yang selama ini terjadi dalam kehidupan beragama. Bahkan negara
terkesan memancing di air yang keruh melihat rusaknya kehidupan beragama.
Penulis memberi 2 alasan terkait dengan pembiaran kacaunya kehidupan beragama.
Pertama, negara dan system intelegen dalam negeri dan asing mencoba merusak
tatanan sosial agama yang ditakutkan mengancam kekuasaan seperti pada masa orde
baru. Kedua, negara tidak dapat
memberikan pembuktian konkret manyangkut kinerja politik sehingga wacana elitis
(pluralisme, sekulerisme dan liberalisme) ditumbuh suburkan sehingga
melupakan para intelektual agama untuk fokus menuntut kesejahteraan ekonomi.
[2] Lihat DR. Adian Husaini,
Pluralisme Agama, Musuh Agama-agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam Terhadap paham
Pluralisme Agama, DDII, 2010.
[3] Fatwa MUI 2005
[4] Franz Magnis Suseno,
Sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Modul Basic Training Jaringan Islam
Kampus (JARIK) dan Lembaga Studi Agama
dan Filsafat (LSAF).
0 komentar