http://www.radarlampung.co.id/web/opini/29335-pembebasan-ayin-dan-korupsi-
Rabu, 19 Januari 2011
Oleh Dharma Setyawan
Rencana pembebasan bersyarat (PB) Ayin, terpidana kasus penyuapan jaksa urip Tri Gunawan, menuai banyak protes. Ayin divonis lima tahun penjara di tingkat kasasi serta denda Rp250 juta. Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) yang diwakili M. Jasin mengatakan, pembebasan bersyarat Ayin bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia yang tercantum dalam UU No. 31/1999. Dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dinyatakan bahwa korupsi termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga penanganannya harus sejalan dengan semangat pembuatan undang-undang tersebut.
LAIN halnya dengan Menkum dan HAM Patrialis Akbar. Ia menyatakan, pemberian PB itu sudah sesuai aturan yang berlaku. Dengan alsan jika nanti tidak diberikan (PB), akan menyalahi aturan. Kakanwil Kemenkum HAM Banten Poppy Pudjiaswati juga mengatakan, Ayin laik mendapat PB karena berkelakuan baik selama dalam tahanan. Pada April 2010, Ayin mendapatkan pengurangan hukuman dari Mahkamah Agung setelah mengajukan peninjauan kembali (PK). Dari lima tahun penjara, dipotong menjadi empat tahun enam bulan.
Semangat para pemimpin dan penegak hukum di negeri ini untuk memberantas korupsi hanya sekedar jargon belaka. Bukti nyata tentang PB terhadap Ayin merupakan penghianatan UU No. 31/1999 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 20/2001. Komitmen SBY terhadap pemberantasan korupsi harus digugat oleh seluruh rakyat Indonesia mengingat kejahatan korupsi merupakan masalah terburuk bagi majunya perekonomian indonesia.
Catatan ringannya hukuman bagi kasus korupsi negeri ini sangat luar biasa. Robert Tantular yang merugikan negara Rp6,7 triliun ditambah dampak potensi dari tindakannya pada kasus Bank Century namun hanya dengan denda Rp50 miliar yang dijatuhkan kepadanya. Aulia Pohan yang notabene adalah besan SBY tersangka kasus dana BI Rp100 miliar hanya di vonis lima tahun penjara dan sudah melenggang bebas karena mendapat banyak remisi. Saukani, mantan bupati Kutai, yang divonis kasus korupsi dana APBD juga mendapat remisi dengan alasan sakit. Belum lagi kasus korupsi bupati yang berlindung di balik ketiak politik SBY sangat begitu janggal terendus mengingat banyak sekali lobi-lobi yang telah diberikan. Tidak heran, jika Media Indonesia pernah memuat berita tentang Partai Demokrat Adalah Bunker Para koruptor.
Namun, kita juga bisa lihat pemberantasan korupsi yang syarat tebang pilih akibat berbeda pandangan politik. Seperti vonis untuk gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin yang notabene berasal dari Golkar. Memang tidak ada yang salah dengan hal demikian. Namun, akan lebih baik jika pemimpin daerah yang berasal dari partai sendiri juga harus di usut tuntas agar lobi atas korupsi tidak benar adanya.
Kasus Ayin adalah kasus yang mencoreng nama baik institusi penegak hukum. Orang semacam jaksa Urip Tri Gunawan, menurut penulis, adalah sebagian kecil mafia peradilan yang tertangkap. Selama kasus ini tidak selesai memuaskan dengan cara pandang rakyat, kasus suap seperti ini akan terjadi dan terjadi lagi.
Secara tidak langsung, kasus Ayin adalah kasus pembunuhan kredebilitas kepemimpinan SBY. Semestinya, SBY merasa terinjak-injak dengan adanya PB terhadap Ayin. Kalau memang alasan bahwa Ayin merupakan narapidana yang berkelakuan baik, lalu apa bedanya dengan pembunuh yang dipenjara juga berkelakuan baik. Kenapa remisi mereka berbeda? Fakta juga masih teringat jelas bagaiman kelakuan Ayin di dalam sel penjara yang ternyata mendapat banyak kemewahan, mulai dari sel penjara be-AC, ruang olahraga, televisi, freezer, dan tempat salon kecantikan lengkap. Apakah demikian penilaian pihak Kemenkum dan HAM menyangkut kelakuan baik?
Kasus lain yang begitu nyata pun SBY seperti menutup mata. Protes Adnan Buyung Nasution menyangkut komitmen kampanye SBY tentang pemberantasan korupsi juga belum ada sinyal kepekaan. Kasus penyuapan mestinya mendapat saksi yang berat bahkan bila perlu dihukum mati karena kasus ini bagai lingkaran setan yang akan melibatkan siapa saja. Baik pengusaha yang menyap, penegak hukum (polisi dan kejaksaan) serta pemimpin yang punya kepentingan politik sempit. Pelaku suap dan yang disuap seperti Ayin, Anggodo, Gayus, jaksa Urip Tri Gunawan, dan Cyrus Sinaga seharusnya perlu diambil tindakan tegas agar korupsi benar-benar dapat diberantas.
Indonesia perlu mengambil pelajaran dari pemberantasan korupsi yang ada di Tiongkok. Di Tiongkok hingga 2004, sekitar empat ribu orang dihukum mati gara-gara korupsi. Bahkan tercatat sekitar empat ribu pejabat yang melakukan korupsi bisa lolos dari lubang kematian dan melarikan diri ke Amerika.
Bahkan, Presiden Tiongkok Hu Jin Tao menyiapkan 100 peti mati bagi para koruptor, 99 ditujukan untuk orang lain, dan satu peti disiapkan untuk dirinya jika terbukti korupsi. sedemikian ketatnya hukuman mati bagi koruptor di Tiongkok masih saja ada orang yang mecoba korupsi. Apalagi, Indonesia yang kata orang adalah surganya koruptor di mana para koruptor bisa melenggang ke mana pun dia suka, karena uang korupsi masih bisa dinikmati.
UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diperbaharui menjadi UU No. 20/2001 harus segera diamandemen. Para koruptor besar harus dihukum mati dan asetnya diserahkan ke negara. Dengan cara itulah, mungkin koruptor negeri ini semakin jera. Paling tidak meminimalisasi tindakan korupsi.
Komitmen SBY harus tetap kita tuntut sampai 2014 batas akhir kepemimpinannya menjadi presiden. SBY berhak mengintervensi hukum jika memang kasus korupsi sudah terbuka dan nyata diketahui masyarakat umum, sebagaimana kasus Ayin, Gayus, dan lainnya. Upaya kita bersama akan menjadi semangat bagi terciptanya Indonesia maju yang bebas korupsi. Mengutip ungkapan Lord Acton Power tends to corrupt (bahwa kekuasaan cenderung korup), kita wajib mengawasinya. Tetap bergerak tuntaskan perubahan! (*)
Rabu, 19 Januari 2011
Oleh Dharma Setyawan
Rencana pembebasan bersyarat (PB) Ayin, terpidana kasus penyuapan jaksa urip Tri Gunawan, menuai banyak protes. Ayin divonis lima tahun penjara di tingkat kasasi serta denda Rp250 juta. Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) yang diwakili M. Jasin mengatakan, pembebasan bersyarat Ayin bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia yang tercantum dalam UU No. 31/1999. Dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dinyatakan bahwa korupsi termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga penanganannya harus sejalan dengan semangat pembuatan undang-undang tersebut.
LAIN halnya dengan Menkum dan HAM Patrialis Akbar. Ia menyatakan, pemberian PB itu sudah sesuai aturan yang berlaku. Dengan alsan jika nanti tidak diberikan (PB), akan menyalahi aturan. Kakanwil Kemenkum HAM Banten Poppy Pudjiaswati juga mengatakan, Ayin laik mendapat PB karena berkelakuan baik selama dalam tahanan. Pada April 2010, Ayin mendapatkan pengurangan hukuman dari Mahkamah Agung setelah mengajukan peninjauan kembali (PK). Dari lima tahun penjara, dipotong menjadi empat tahun enam bulan.
Semangat para pemimpin dan penegak hukum di negeri ini untuk memberantas korupsi hanya sekedar jargon belaka. Bukti nyata tentang PB terhadap Ayin merupakan penghianatan UU No. 31/1999 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 20/2001. Komitmen SBY terhadap pemberantasan korupsi harus digugat oleh seluruh rakyat Indonesia mengingat kejahatan korupsi merupakan masalah terburuk bagi majunya perekonomian indonesia.
Catatan ringannya hukuman bagi kasus korupsi negeri ini sangat luar biasa. Robert Tantular yang merugikan negara Rp6,7 triliun ditambah dampak potensi dari tindakannya pada kasus Bank Century namun hanya dengan denda Rp50 miliar yang dijatuhkan kepadanya. Aulia Pohan yang notabene adalah besan SBY tersangka kasus dana BI Rp100 miliar hanya di vonis lima tahun penjara dan sudah melenggang bebas karena mendapat banyak remisi. Saukani, mantan bupati Kutai, yang divonis kasus korupsi dana APBD juga mendapat remisi dengan alasan sakit. Belum lagi kasus korupsi bupati yang berlindung di balik ketiak politik SBY sangat begitu janggal terendus mengingat banyak sekali lobi-lobi yang telah diberikan. Tidak heran, jika Media Indonesia pernah memuat berita tentang Partai Demokrat Adalah Bunker Para koruptor.
Namun, kita juga bisa lihat pemberantasan korupsi yang syarat tebang pilih akibat berbeda pandangan politik. Seperti vonis untuk gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin yang notabene berasal dari Golkar. Memang tidak ada yang salah dengan hal demikian. Namun, akan lebih baik jika pemimpin daerah yang berasal dari partai sendiri juga harus di usut tuntas agar lobi atas korupsi tidak benar adanya.
Kasus Ayin adalah kasus yang mencoreng nama baik institusi penegak hukum. Orang semacam jaksa Urip Tri Gunawan, menurut penulis, adalah sebagian kecil mafia peradilan yang tertangkap. Selama kasus ini tidak selesai memuaskan dengan cara pandang rakyat, kasus suap seperti ini akan terjadi dan terjadi lagi.
Secara tidak langsung, kasus Ayin adalah kasus pembunuhan kredebilitas kepemimpinan SBY. Semestinya, SBY merasa terinjak-injak dengan adanya PB terhadap Ayin. Kalau memang alasan bahwa Ayin merupakan narapidana yang berkelakuan baik, lalu apa bedanya dengan pembunuh yang dipenjara juga berkelakuan baik. Kenapa remisi mereka berbeda? Fakta juga masih teringat jelas bagaiman kelakuan Ayin di dalam sel penjara yang ternyata mendapat banyak kemewahan, mulai dari sel penjara be-AC, ruang olahraga, televisi, freezer, dan tempat salon kecantikan lengkap. Apakah demikian penilaian pihak Kemenkum dan HAM menyangkut kelakuan baik?
Kasus lain yang begitu nyata pun SBY seperti menutup mata. Protes Adnan Buyung Nasution menyangkut komitmen kampanye SBY tentang pemberantasan korupsi juga belum ada sinyal kepekaan. Kasus penyuapan mestinya mendapat saksi yang berat bahkan bila perlu dihukum mati karena kasus ini bagai lingkaran setan yang akan melibatkan siapa saja. Baik pengusaha yang menyap, penegak hukum (polisi dan kejaksaan) serta pemimpin yang punya kepentingan politik sempit. Pelaku suap dan yang disuap seperti Ayin, Anggodo, Gayus, jaksa Urip Tri Gunawan, dan Cyrus Sinaga seharusnya perlu diambil tindakan tegas agar korupsi benar-benar dapat diberantas.
Indonesia perlu mengambil pelajaran dari pemberantasan korupsi yang ada di Tiongkok. Di Tiongkok hingga 2004, sekitar empat ribu orang dihukum mati gara-gara korupsi. Bahkan tercatat sekitar empat ribu pejabat yang melakukan korupsi bisa lolos dari lubang kematian dan melarikan diri ke Amerika.
Bahkan, Presiden Tiongkok Hu Jin Tao menyiapkan 100 peti mati bagi para koruptor, 99 ditujukan untuk orang lain, dan satu peti disiapkan untuk dirinya jika terbukti korupsi. sedemikian ketatnya hukuman mati bagi koruptor di Tiongkok masih saja ada orang yang mecoba korupsi. Apalagi, Indonesia yang kata orang adalah surganya koruptor di mana para koruptor bisa melenggang ke mana pun dia suka, karena uang korupsi masih bisa dinikmati.
UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diperbaharui menjadi UU No. 20/2001 harus segera diamandemen. Para koruptor besar harus dihukum mati dan asetnya diserahkan ke negara. Dengan cara itulah, mungkin koruptor negeri ini semakin jera. Paling tidak meminimalisasi tindakan korupsi.
Komitmen SBY harus tetap kita tuntut sampai 2014 batas akhir kepemimpinannya menjadi presiden. SBY berhak mengintervensi hukum jika memang kasus korupsi sudah terbuka dan nyata diketahui masyarakat umum, sebagaimana kasus Ayin, Gayus, dan lainnya. Upaya kita bersama akan menjadi semangat bagi terciptanya Indonesia maju yang bebas korupsi. Mengutip ungkapan Lord Acton Power tends to corrupt (bahwa kekuasaan cenderung korup), kita wajib mengawasinya. Tetap bergerak tuntaskan perubahan! (*)
0 komentar