Bencana Bumi dan Teori Environment

15.55.00

http://www.koranlampung.co.id/detail_berita.php?module=detailberita&id=2514&id_kategori=26
Oleh : Dharma Setyawan
Ketua Komunitas Hijau Lampung
Alam telah bertubi-tubi memuntahkan bencana panjang kepada kehidupan ekosistem, mulai dari banjir, tanah longsor, tsunami, gunung meletus dan lain-lain. Luapan air Sungai Brisbane telah menggenangi Brisbane, ibu kota Negara Bagian Queensland, Australia.
Sebuah bendungan yang dibangun setelah banjir parah tahun 1974 tak mampu menampung curah hujan yang cukup tinggi dan turun berhari-hari. Setidaknya 30.000 rumah dan gedung tergenang. Curahan hujan tinggi dan terus-menerus dari wilayah pegunungan di sekitarnya membanjiri 12.000 rumah dan menyebabkan 118.000 gedung kini tanpa listrik.
Banjir akan memaksa perusahaan asuransi mengeluarkan biaya hampir 1 miliar dollar AS. Beberapa ahli ekonomi memperkirakan kerusakan mencapai 6 miliar dollar AS akibat lumpuhnya industri batu bara, rusaknya jalan-jalan raya, rel kereta api, jembatan, dan terganggunya industri pariwisata. Banjir itu menewaskan sedikitnya 19 orang dan melenyapkan 61 orang hilang.
Banjir juga terjadi di Filipina dan telah menewaskan sedikitnya 40 orang. Demikian dikatakan pejabat otoritas penangan bencana Filipina, Rabu (12-1). Tentara dan personel pemerintah mengungsikan lagi penduduk di Samar dan pulau terdekat Leyte.Hujan lebat dimulai sebelum malam tahun baru dan menyebabkan sekitar 1,29 juta orang dari 144 kota, termasuk 338 ribu orang yang meninggalkan rumah-rumah mereka, menerima pangan atau bantuan lainnya dari pemerintah.
Lebih dari 22 ribu orang tinggal di tempat-tempat penampungan yang dikelola pemerintah sementara menunggu air surut, dengan hampir 1.300 rumah rusak atau hancur. Pemerintah memperkirakan kerusakan pada jalan-jalan, jembatan jembatan, rumah-rumah, dan lahan pertanian mencapai hampir 900 juta peso (20,29 juta dolar). Banyak dampak yang diakibatkan dari banjir yang terjadi di wilayah utara, selatan, dan tengah Filipina. Sekitar 25 ribu orang kini tinggal di pengungsian di Provinsi Albay dan Bicol.
Sumber Republika menyebutkan Banjir Brasil Renggut 369 Korban Jiwa. Regu penyelamat berupaya pada Kamis agar mencapai wilayah terputus oleh banjir dan tanah longsor yang menewaskan sekurangnya 356 orang akibat salah satu bencana alam terburuk Brasil dalam beberapa dekade ini. Jumlah kematian di wilayah pegunungan dekat kota Rio de Janeiro diperkirakan akan meningkat hingga regu penyelamat dapat mencapai sejumlah wilayah terpencil lain.
Hujan deras pada awal pekan menewaskan 13 orang di negara bagian Sao Paulo, membuat jumlah kematian di Brasil selatan mencapai sekurangnya 369 orang. Lereng bukit dan tebing di daerah Serrana, utara Rio, longsor setelah 24 jam hujan yang setara dengan sebulan, menghancurkan perumahan dan menewaskan sejumlah keluarga saat mereka tidur pada Rabu pagi. Surat kabar Filha de Sao Paulo menyebut itu bencana alam terburuk yang terjadi di Brazil dalam 40 tahun. Stasiun televisi menayangkan deras air banjir dan aliran lumpur yang menghancurkan kota Teresopolis, sekurangnya 152 orang tewas, dan kota dekatnya Nova Friburgo.
Di dalam Negeri juga telah terjadi bencana yang bertubi-tubi dari Banjir wasior, Tsunami di mentawai dan Gunung merapi yang meletus. Tanda lingkungan sudah tidak lagi bersahabat dengan manusia mulai kita rasakan. Alam lingkungan yang menjadi tempat habitat segala ekosistem semakin menampakkan sifat angkuhnya sebagaimana manusia bertindak.
Alam bermaksud untuk memberi peringatan kepada kita semua. Etika manusia yang tidak memperhatikan lingkungan menjadi dasar kuat akan bencana yang selama ini datang bertubi-tubi. Manusia yang menghegemoni kerakusan telah melakukan Eksploitasi alam dari Tambang, Tanah, Air, Laut, hutan dan lainnya.
Dalam Teori Etika Lingkungan (Sony Keraf: 2002) menjelaskan terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.
Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme atau shallow enviromental ethics merupakan sebuah kesalahan paradikma Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Teori biosentrisme dan ekosentrisme menjelaskan manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan".(Fritjof Capra:1997).
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism).
Anggapan bahwa manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral dalam pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian lingkungan yang dangkal) karena kenyatannya manusia yang menjadi sumber awal bencana yang terjadi dari sebuah reaksi alam yang mencoba menyeimbangkan diri. Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973 telah memperkenalkan Deep Ecology di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis. Etika ini dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret.
Pihak-pihak yang berkewajiban untuk mewujudkan Deep Ecology adalah komunitas yang mampu dan mau bergerak atas dasar pemahaman pasti bahwa alam butuh di mengerti. Kementrian Kehutanan sampai Dinas dibawahnya harus dapat menanamkan cara pandang yang baik tentang teori lingkungan baik lewat Slogan, Pendidikan pelajar dan pemahaman ke masyatakat.
Partai Politik sebagai wadah Politisi dan Pengusaha segera mungkin merealisasikan kampanye lingkungan bukan hanya untuk menambah nama struktur kepengurusan tentang lingkungan di kepengurusan partai tapi harus meyakinkan publik bahwa Parpol tersebut adalah parpol yang peduli dan real menyelamatkan lingkungan. LSM, NGO, Gerakan mahasiswa, seperti WALHI, MAPALA dan lainnya mulai bergerak dengan aksi nyata demi Alam yang mau kembali bersahabat dengan manusia. Jika tidak jangan harap bencana akan hilang dari bumi kita. ***

You Might Also Like

0 komentar

Ayo Gabung

SUBSCRIBE NEWSLETTER

Get an email of every new post! We'll never share your address.

Dharma

Dharma
Selamatkan kekayaan Indonesia

Ad Banner

Ad Banner