http://www.radarlampung.co.id/web/opini/21724-selamatkan-kekayaan-indonesia
Sabtu, 18 September 2010
Oleh Dharma Setyawan (Ketua KOMUNITAS Hijau Lampung)
Perjalanan reformasi Indonesia masih memiliki segudang permasalahan yang harus diselesaikan. Semangat kebersamaan penghormatan kepada hak asasi manusia, keadilan politik, dan ekonomi menjadi harapan semua unsur golongan di tanah air.
DEMOKRASI yang fair sangat diimpikan seluruh rakyat agar pemimpin yang dihasilkan mampu memberikan solusi agar keluar krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini. Sebab tanpa sadar, bangsa ini telah lama tidur, bangsa yang mengalami amnesia sejarah, bangsa yang telah melupakan petuah founding father Bung Karno yang terkenal dengan istilah ’’Jas merah’’ jangan melupakan sejarah. Sejarah yang telah lama dilupakan, sejarah tentang penjajahan pihak asing di bumi kaya nusantara, sejarah penjajahan oleh para imperalisme, juga sejarah tentang penjajahan ekonomi yang sampai hari ini masih terjadi.
Begitu mudahnya para pengambil kebijakan negeri ini menyepakati perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat. Pemimpin yang tetap saja tunduk dan patuh dengan aturan serta perjanjian yang dibuat pihak asing dan menguras kekayaan alam kita.
Sejarah seharusnya menyadarkan kita arti penting kedaulatan dan kemandirian bangsa tanpa campur tangan orang lain. Mungkin sejarah telah menghukum bangsa ini akibat kita telah melupakannya dan lebih memilih amnesia sejarah atau mungkin berpura-pura amnesia sejarah. ’’Hukuman sejarah itu berupa kehancuran logika, kemusnahan nalar sosial, ketidakmengertian tentang apa yang layak dikagumi dan apa yang menghacurkan martabat kemanusiaan, kebutuhan untuk menentukan tokoh, pemimpin, idola, serta panutan. Kita dihukum dengan mengalami negara yang hampir selalu gagal sebagai negara, dengan pemerintahan yang benar-benar tidak mengerti pada tingkat elementer pun di mana sebenarnya letak pemerintah, perannya, fungsinya, serta hak dan kewajiban. Kita dihukum dengan memiliki kekayaan kita sendiri itu, setelah kita sewa para tetangga mancanegara untuk mengolah kekayaan itu dengan bayaran yang harus kita tanggung dengan menelan kenyataan bahwa kekayaan itu ternyata akhirnya menjadi milik mereka’’ (Emha Ainun Najib).
Eksploitasi Alam
PT Freeport sebagai sedikit contoh ketidakadilan pembagian keuntungan dan bukti keserakahan korporasi asing yang telah menguras kekayaan alam kita. Selain itu, mereka juga melakukan berbagai kejahatan eksploitasi alam. Yaitu, kejahatan lingkungan, ekonomi, hukum, dan kemanusiaan di bumi papua. Aktivis lingkungan seperti WALHI Lampung pernah mengingatkan pemerintah akan perjanjian Indonesia atas pertambangan emas dengan PT Freeport namun pemerintah SBY tanpa rasa bersalah telah menyetujui dengan memberikan kontrak karya II PT Freeport sampai 2041.
Yang mencengangkan, uraian Amin Rais tentang PT Exxon Mobile yang menguras gas alam kita di Natuna. Produksi gas alam itu dibawa ke wilayah Singapura lewat pipa bawah laut dan dijual agen Exxon yang ada di negara Singa tersebut. Sudah berapa Volume gas alam kita yang dijarah dan berapa kerugian negara setelah puluhan tahun. Dalam uraian disebutkan Lee Raymond, mantan CEO Exxon Mobile, selama 13 tahun bekerja mendapat gaji USD686 juta atau sekitar Rp6 triliun dan Rp174 miliar. Bahkan, pemerintah SBY telah memberikan operatorship minyak blok cepu sepenuhnya kepada Exxon Mobile dengan diizinkannya mengeksploitasi minyak kita sampai tahun 2036. Maih banyak lagi eksploitasi kekayaan alam yang terjadi di negeri ini tanpa adanya profit sharing (bagi hasil) yang adil bagi Indonesia seperti Eksploitasi hutan, kekayaan laut, tambang dan kekayaan lainnya.
Indonesia membutuhkan kepemimpinan politik yang benar-benar berani melawan segala ketidakadilan dari profit sharing (bagi hasil) kekayaan Indonesia . Kepemimpinan politik seharusnya tidak bersikap sama seperti tokoh pendidikan, social, budaya, dan agama yang berperan memberikan pencerdasan dan pencerahan ke publik. Seharusnya kepemimpinan politik terlahir dari sentuhan para tokoh diatas dan lebih berperan signifikan serta berani meregulasikan kebijakan demi kepentingan rakyat. Kepemimpinan politik tidak hanya sekedar berbicara di media dan berbagai seminar dan menulis di koran atau majalah yang dalam bebarapa hitungan waktu di buang dan terlupakan. Karena sejatinya seorang Pemimpin politik diberi wewenang dan kepercayaan masyarakat untuk mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.
Ironi memang, namun kenyataan ini telah berlangsung sejak lama. Bangsa yang mengaku merdeka sejak 64 tahun yang lalu, ternyata tidak sedikitpun merasa telah terjajah kembali dalam aspek politik dan ekonomi. Gerakan aktivis yang menyuarakan kebenaran dan keadilan hanya dianggap angin lalu oleh pemerintah Kapitalisme (neoliberal, Red). Kita harus mendukung penuh aktivis seperti WALHI, ICW, dan lainnya yang sangat aktif dalam membangun check and balances terhadap pemerintah yang semakin hari hanya berusaha mempertahankan status quo paling tidak sampai dua periode kepemimpinan.
Melakukan penyadaran kepada pemerintah yang mengalami amnesia sejarah harus dilakukan berbagai elemen. Kita perlu belajar pada Negara Quba, Venezuela dan Bolivia. Quba dengan kepemimpina Fidel Castro mampu membangun kemandirian bangsa bangsa dan mengusir imperalisme yang pernah bercokol di Quba dan menjajah rakyat. Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez dan Bolivia yang di pimpin Evo Morales dengan kepemimpinan tegas berhasil melakukan negosiasi ulang atas seluruh perjanjian pertambangan dengan pihak asing yang sebelumnya telah merugikan kepentingan rakyat.
Kita tidak bisa berharap banyak kepada para wakil kita di Eksekutif, legislative dan yudikatif yang telah melakukan perjanjian murahan atas kepentingan individu mereka dengan korporasi asing. Para pemimpin yang di gaji mahal kemudian di amanahkan untuk membangun bangsa dan memanfaatkan kekayaan alam untuk rakyat terbukti tidak pecus dan hanya pandai bicara di ruang publik. Secara nyata UUD 1945 telah dikhianati oleh para pemimpin. Padahal jelas pasal 33 Undang-Undang menyatakan ’’Segala bumi, air, tanah dan semua kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kita perlu mendorong para intelektual organik yang mampu memberikan penyadaran kepada seluruh rakyat Indonesia akan bahaya para pemimpin Neoliberalisme. Kaum intelektual, tokoh muda dan akademisi, para ekonom dan aktivis perlu bersama-sama melakukan kontrol baik secara vertikal maupun horizontal. Intelektual organik seperti mereka akan membangkitkan sikap ’’sama rasa sama rata’’ yang menjadi cita-cita substansi dari demokrasi. Karena substansi demokrasi bukan pada santun dan kepura-puraan tapi pada wujud keadilan dan kesejahteraan bersama. (*)
Sabtu, 18 September 2010
Oleh Dharma Setyawan (Ketua KOMUNITAS Hijau Lampung)
Perjalanan reformasi Indonesia masih memiliki segudang permasalahan yang harus diselesaikan. Semangat kebersamaan penghormatan kepada hak asasi manusia, keadilan politik, dan ekonomi menjadi harapan semua unsur golongan di tanah air.
DEMOKRASI yang fair sangat diimpikan seluruh rakyat agar pemimpin yang dihasilkan mampu memberikan solusi agar keluar krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini. Sebab tanpa sadar, bangsa ini telah lama tidur, bangsa yang mengalami amnesia sejarah, bangsa yang telah melupakan petuah founding father Bung Karno yang terkenal dengan istilah ’’Jas merah’’ jangan melupakan sejarah. Sejarah yang telah lama dilupakan, sejarah tentang penjajahan pihak asing di bumi kaya nusantara, sejarah penjajahan oleh para imperalisme, juga sejarah tentang penjajahan ekonomi yang sampai hari ini masih terjadi.
Begitu mudahnya para pengambil kebijakan negeri ini menyepakati perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat. Pemimpin yang tetap saja tunduk dan patuh dengan aturan serta perjanjian yang dibuat pihak asing dan menguras kekayaan alam kita.
Sejarah seharusnya menyadarkan kita arti penting kedaulatan dan kemandirian bangsa tanpa campur tangan orang lain. Mungkin sejarah telah menghukum bangsa ini akibat kita telah melupakannya dan lebih memilih amnesia sejarah atau mungkin berpura-pura amnesia sejarah. ’’Hukuman sejarah itu berupa kehancuran logika, kemusnahan nalar sosial, ketidakmengertian tentang apa yang layak dikagumi dan apa yang menghacurkan martabat kemanusiaan, kebutuhan untuk menentukan tokoh, pemimpin, idola, serta panutan. Kita dihukum dengan mengalami negara yang hampir selalu gagal sebagai negara, dengan pemerintahan yang benar-benar tidak mengerti pada tingkat elementer pun di mana sebenarnya letak pemerintah, perannya, fungsinya, serta hak dan kewajiban. Kita dihukum dengan memiliki kekayaan kita sendiri itu, setelah kita sewa para tetangga mancanegara untuk mengolah kekayaan itu dengan bayaran yang harus kita tanggung dengan menelan kenyataan bahwa kekayaan itu ternyata akhirnya menjadi milik mereka’’ (Emha Ainun Najib).
Eksploitasi Alam
PT Freeport sebagai sedikit contoh ketidakadilan pembagian keuntungan dan bukti keserakahan korporasi asing yang telah menguras kekayaan alam kita. Selain itu, mereka juga melakukan berbagai kejahatan eksploitasi alam. Yaitu, kejahatan lingkungan, ekonomi, hukum, dan kemanusiaan di bumi papua. Aktivis lingkungan seperti WALHI Lampung pernah mengingatkan pemerintah akan perjanjian Indonesia atas pertambangan emas dengan PT Freeport namun pemerintah SBY tanpa rasa bersalah telah menyetujui dengan memberikan kontrak karya II PT Freeport sampai 2041.
Yang mencengangkan, uraian Amin Rais tentang PT Exxon Mobile yang menguras gas alam kita di Natuna. Produksi gas alam itu dibawa ke wilayah Singapura lewat pipa bawah laut dan dijual agen Exxon yang ada di negara Singa tersebut. Sudah berapa Volume gas alam kita yang dijarah dan berapa kerugian negara setelah puluhan tahun. Dalam uraian disebutkan Lee Raymond, mantan CEO Exxon Mobile, selama 13 tahun bekerja mendapat gaji USD686 juta atau sekitar Rp6 triliun dan Rp174 miliar. Bahkan, pemerintah SBY telah memberikan operatorship minyak blok cepu sepenuhnya kepada Exxon Mobile dengan diizinkannya mengeksploitasi minyak kita sampai tahun 2036. Maih banyak lagi eksploitasi kekayaan alam yang terjadi di negeri ini tanpa adanya profit sharing (bagi hasil) yang adil bagi Indonesia seperti Eksploitasi hutan, kekayaan laut, tambang dan kekayaan lainnya.
Indonesia membutuhkan kepemimpinan politik yang benar-benar berani melawan segala ketidakadilan dari profit sharing (bagi hasil) kekayaan Indonesia . Kepemimpinan politik seharusnya tidak bersikap sama seperti tokoh pendidikan, social, budaya, dan agama yang berperan memberikan pencerdasan dan pencerahan ke publik. Seharusnya kepemimpinan politik terlahir dari sentuhan para tokoh diatas dan lebih berperan signifikan serta berani meregulasikan kebijakan demi kepentingan rakyat. Kepemimpinan politik tidak hanya sekedar berbicara di media dan berbagai seminar dan menulis di koran atau majalah yang dalam bebarapa hitungan waktu di buang dan terlupakan. Karena sejatinya seorang Pemimpin politik diberi wewenang dan kepercayaan masyarakat untuk mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.
Ironi memang, namun kenyataan ini telah berlangsung sejak lama. Bangsa yang mengaku merdeka sejak 64 tahun yang lalu, ternyata tidak sedikitpun merasa telah terjajah kembali dalam aspek politik dan ekonomi. Gerakan aktivis yang menyuarakan kebenaran dan keadilan hanya dianggap angin lalu oleh pemerintah Kapitalisme (neoliberal, Red). Kita harus mendukung penuh aktivis seperti WALHI, ICW, dan lainnya yang sangat aktif dalam membangun check and balances terhadap pemerintah yang semakin hari hanya berusaha mempertahankan status quo paling tidak sampai dua periode kepemimpinan.
Melakukan penyadaran kepada pemerintah yang mengalami amnesia sejarah harus dilakukan berbagai elemen. Kita perlu belajar pada Negara Quba, Venezuela dan Bolivia. Quba dengan kepemimpina Fidel Castro mampu membangun kemandirian bangsa bangsa dan mengusir imperalisme yang pernah bercokol di Quba dan menjajah rakyat. Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez dan Bolivia yang di pimpin Evo Morales dengan kepemimpinan tegas berhasil melakukan negosiasi ulang atas seluruh perjanjian pertambangan dengan pihak asing yang sebelumnya telah merugikan kepentingan rakyat.
Kita tidak bisa berharap banyak kepada para wakil kita di Eksekutif, legislative dan yudikatif yang telah melakukan perjanjian murahan atas kepentingan individu mereka dengan korporasi asing. Para pemimpin yang di gaji mahal kemudian di amanahkan untuk membangun bangsa dan memanfaatkan kekayaan alam untuk rakyat terbukti tidak pecus dan hanya pandai bicara di ruang publik. Secara nyata UUD 1945 telah dikhianati oleh para pemimpin. Padahal jelas pasal 33 Undang-Undang menyatakan ’’Segala bumi, air, tanah dan semua kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kita perlu mendorong para intelektual organik yang mampu memberikan penyadaran kepada seluruh rakyat Indonesia akan bahaya para pemimpin Neoliberalisme. Kaum intelektual, tokoh muda dan akademisi, para ekonom dan aktivis perlu bersama-sama melakukan kontrol baik secara vertikal maupun horizontal. Intelektual organik seperti mereka akan membangkitkan sikap ’’sama rasa sama rata’’ yang menjadi cita-cita substansi dari demokrasi. Karena substansi demokrasi bukan pada santun dan kepura-puraan tapi pada wujud keadilan dan kesejahteraan bersama. (*)
0 komentar