www.radarlampung.com
Selasa, 26 Oktober 2010
Oleh Dharma Setyawan (Mahasiswa Ekonomi Islam STAIN Metro dan Koordinator Komunitas Hijau KAMMI Lampung)
Lagi dan lagi, DPR melakukan kunjungan ke luar negeri. Studi banding menjadi alasan klasikal untuk menutupi agenda jalan-jalan yang menggunakan fasilitas negara secara gratis tersebut.
BELUM lama ini, DPR melakukan kunjungan untuk belajar Pramuka ke Afrika Selatan. Kini giliran Badan Kehormatan (BK) yang akan melakukan kunjungan ke Yunani. Masalah etika politik manjadi alasan anggota DPR untuk studi banding ke negeri para filsuf, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Kali ini, Ketua BK Prof. Gayus Lumbun tidak menyetujui rencana kolektif BK DPR dan memutuskan tidak ikut dalam kunjungan. Namun, wakil ketua dan anggota BK itu tak mengindahkan ktirik dari berbagai pihak.
Dalam agenda kunjungannya ke Yunani, ada hal-hal nggak masuk akal dan mencerminkan alasan DPR yang tidak cerdas dalam menanggapi kritik di publik. Dalam agenda itu, mereka akan belajar soal etika politik DPR menyangkut merokok dalam sidang, berpakaian anggota dewan, dan cara berinterupsi di forum DPR. Alasan tersebut di atas tak sesuai anggaran perjalanan yang menghabiskan Rp165 juta per orang selama 6 hari kunjungan ke Yunani.
Yunani memang memiliki sejarah filsuf masa lampau yang patut dibanggakan. Dalam buku-buku sejarah pendidikan tokoh besar, seperti Plato, Socrates, Aristoteles, dan lainnya, adalah ahli filsafat yang mengawali pembangunan tatanan demokrasi. Pengaruh sejarah inilah yang telah menjadi paradigma berpikir politik dunia bahwa kiblat demokrasi dunia seolah-olah milik Yunani. Literatur-literatur pendidikan demokrasi yang terlalu mengkultuskan Yunani sebagai pencetus filsafat terbaik telah melupakan para filsuf besar di negara bagian lain.
Tokoh etika politik masih banyak di negara lain. Seperti Inggris pernah ada John Locke (1632–1704); India, Mahatma Gandhi (1869–1948); Amerika, Franklin D. Roosevelt (1882–1945); Afrika Selatan, Nelson Mandela; serta Islam melahirkan banyak tokoh filsafat antara lain Ibnu Khaldun, Imam Ghazali, dan Al Farabi. Yunani yang terlalu diagung-agungkan sebagai negara yang memiliki referansi etika politik kenyataannya hanya tertulis apik dalam buku-buku sejarah. Negara ini sama halnya dengan negara-negara lain yang sama-sama memiliki krisis etika dalam Kepemimpinan Negara. Yunani sekararang bukanlah negara yang dapat didambakan dalam etika politik. Yunani dulu yang terkenal dengan negera para filsuf besar adalah negara yang mengalami defisit ekonomi dalam pengelolaan kekuangan negara dan harus dibantu IMF.
Belajar etika politik kita tidak perlu jauh jauh ke Yunani. Tokoh Indonesia masih banyak yang dapat kita jadikan referensi dalam memahami etika politik dan penerapannya. M. Natsir, Soekarno, M. Hatta, Buya Hamka, Bung Tomo, dan Sjahrir adalah contoh nyata para tokoh yang patut dijadikan referensi dalam etika politik.
Tokoh M. Natsir dan Soekarno yang begitu banyak mengalami benturan ideologi sejak awal Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka. Konflik ideologi merupakan pencerminan jati diri tokoh yang berfaham nasionalis religius dan nasional sosialisme.
Berawal dari tulisan Soekarno di panji Islam ketika sebuah benda anaknya dijilat anjing dan harus dibasuh tujuh kali dan terakhir dengan tanah. Soekarno mengatakan, cuci saja dengan karbol. Sebab, zaman Nabi belum ada karbol dan anak saya bisa tidur nyenyak. Menurut Taufik Abdullah, inilah yang menjadi awal perdebatan antara Islam dan negara. Tulisan Soekarno mendapat tenggapan dari M. Natsir ’’Alangkah baiknya kalau Bung Karno juga menyuruh anaknya mencuci nazis sesuai ajaran Islam ditambah pakai karbol, anaknya pasti akan tambah nyenyak lagi tidurnya’’.
Perdebatan memang berkembang. Tetapi ketika terjadi revolusi, Bung Karno dan M. Natsir kompak dalam berjuang mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Bahkan ketika Indonesia berubah dari RIS (Republik Indonesia Serikat) kembali ke NKRI, Bung Karno mengangkat M. Natsir menjadi Perdana Menteri Indonesia.
Perdebatan konstitusi selalu terjadi antara M. Natsir dan Bung Karno, bahkan ide Demokrasi Terpimpin yang digagas Bung Karno yang membentuk Dewan Nasional yang bersifat semi-Parlemen mendapat kritik dari M. Natsir dan M. Hatta. Dalam kritikannya, M. Natsir dengan lantang memprotes kebijakan dan konsepsi presiden yang melanggar konstitusi. Walau kritik akhirnya ditanggapi dengan teror dan berakhir pembubaran Masyumi, partai pemenang Pemilu 1955 yang dipimpin M. Natsir. Meski demikian, M. Natsir tidak pernah membenci Soekarno. Bahkan, pidato Bung Karno sering ditulis M. Natsir. Sebaliknya, Bung Karno tidak mau pidato sebelum ada tanda tangan dari M. Natsir sewaktu menjadi Menteri Penerangan.
Dalam sidang Dewan Konstitusi, M. Natsir berdebat keras di ruang sidang dengan para wakil partai PKI, namun setelah berdebat, mereka tetap bergaul akrab dan ngopi bareng dengan Central Comite D.N. Aidit.
M. Natsir dapat menempatkan masalah sesuai ruang dan waktunya. Begitupun ketika di masa Orde Baru, M. Natsir harus disingkirkan dari panggung politik oleh pemerintahan Soeharto. Namun, M. Natsir tetaplah negarawan. Ketika Idul Fitri tiba, ia menyempatkan bersilaturahim ke Cendana. Sosok yang cerdas dan beretika dalam politik tidak pernah membenci lawan politik inilah yang sekarang susah ditemukan.
Fakta M. Natsir di atas mengajarkan kita bahwa berbeda pendapat harus tetap mempertahankan etika pergaulan. Etika politik yang dibangun para founding fathers seperti M. Natsir adalah gambaran nyata bahwa kita memiliki referensi jelas terkait etika politik yang dijadikan alasan DPR untuk studi banding ke Yunani. Budaya timur yang lebih lekat dengan budaya kearifan lokal (local wisdom) masyarakat cukup menjadi jawaban bahwa etika politik para pendahulu kita lebih baik dari negara Yunani.
Etika Politik para pendahulu kita adalah etika politik yang didasari atas prinsip beragama yang kuat yang tercermin dari laku dan kata. M. Natsir adalah politisi, negarawan, dan ulama terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. M. Natsir mengajarkan kita etika politik secara real, bukan Socrates, Plato, atau Aristoteles. (*)
0 komentar