Oleh : DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa
Sekolah Pascasarjana
Universitas
Gadjah Mada
Prof Schermerhorn (alm): Saya khusus ingat kepada Salim (H.
Agus Salim), yg pada suatu hari saya undang ke istana sini. Orang tua yang
sangat pintar ini seorang jenius dalam bahasa, bicara dan menulis dengan
sempurna paling sedikit dalam sembilan bahasa. Ia hanya mempunyai satu
kelemahan yaitu: bahwa selama hidupnya melarat! (dari buku harian Schermerhorn,
terbit tahun 1970, senin malam, 14 oktober 1946, pukul 21.15)
Islam muncul atas keprihatinan Agus Salim terhadap bentuk
Kapitalisme yang sangat eksploitatif. Islam yang disandingkan Agus Salim dengan
sosialisme mengingat jati dirinya sebagai sebuah cara muslim untuk melawan
hegemoni modal segelintir orang yang akhirnya menyingkirkan mayoritas rakyat.
Untuk memperkuat alasan apa yang dikemukakan terakhir mengenai sikap Agus Salim
terhadap Sosialisme pendapat A. P. E. Korver. Tokoh ini menandakan empat sikap
yang sekaligus menjadi ciri-ciri organisasi Agus Salim (SI). Pertama, penolakan bermacam-macam
prasangka terhadap pribumi dan penolakan sikap diskriminatif Belanda terhadap
pribumi. Kedua, penghargaan positif
terhadap identitas pribumi. Ketiga,
cita-cita penentuan nasib sendiri. Keempat, anti Kapitalisme. Empat faktor inilah, terutama faktor
keempat --bersama faktor lain—yang membuat tokoh-tokoh SI termasuk Agus Salim
mau menoleh kepada Sosialisme (Korver, 1985)[1]
lantaran sama-sama anti Kapitalisme.
Mohammad Hatta bahkan yakin Agus Salim menganut “Sosialisme
Islam” yang dipelajarinya pada tahun 1906.[2] Dalam
penuturan Hatta, Agus Salim pernah mengatakan bahwa dirinya banyak membaca buku
Sosialisme, dan Nabi Muhammad diutus ke muka bumi untuk, antara lain,
mengajarkan Sosialisme tersebut (Hatta, 1965)[3]
Tanpa menolak bentuk Kapitalisme yang juga membangun kesejahteraan, sosialisme
Islam sebenarnya bentuk perjuangan ekonomi yang mengupayakan pemerataan
distribusi ekonomi. Maka Hatta dan Agus Salim sebagi seorang muslim tentunya
sangat memahami bagaimana Islam sangat memperhatikan kaum mustadafin atau
proletar. Agus Salim pun tidak terjebak pada sosialisme liberal yang sampai
pada bentuk cara pandang Marx yang menganggap “Agama sebagai candu”. Dalam
pandangan Marx agama menjadi penghalang untuk manusia menjadi maju khususnya
dalam ekonomi. Tapi Agus Salim sebagai seorang pejuang muslim menjadikan spirit
agama Islam untuk bangkit dan melawan penindasan terutama bentuk penindasan
Kapitalisme yang menjajah bangsa Indonesia.
Pemikiran Agus Salim tentang Sosialisme bermula dari
pertemuannya dengan HOS Cokroaminoto yang memang sejak muda berumur 18 tahun
telah menyelesaikan membaca De Socialisten karya Quack yang terdiri dari 6
jilid, buku yang juga dibaca oleh Mohammad Hatta. Ketertarikan Cokroaminoto
dengan sosialisme menurutnya sejalan dengan konsep Nabi Muhammad yang memang
berjiwa sosial. Cokroaminoto berkeyakinan Sosialisme merupakan alat yang ampuh
untuk memerangi Kolonialisme, Feodalime dan Kapitalisme yang dikembangkan
Belanda, maka menjelang Kongres Al Islam di Garut pada tahun 1922 ia mulai
memasarkan apa yang ia namakan “Sosialisme Berdasarkan Islam” melalui koran
milik SI (Rahardjo, 1993). Selain itu Tjokroaminoto juga giat memberikan
kursus-kursus mengenai Sosialisme dan akhirnya menerbitkan buku berjudul Islam
dan Sosialisme pada tahun 1924.[4]
Bersama Hos Cokroaminoto bergerak di SI, Agus Salim
membangun narasi besar tantang bersatunya rakyat bersama sosialisme berdasarkan
Islam. Maka gerakan ini tentu sangat berbeda dengan Sosialisme Marx yang memperjuangkan
sosialisme dalam perjuangan kelas secara radikal. Sosialisme Islam lebih
mengawali bentuknya pada upaya membangun narasi besar tentang keadilam ekonomi
yang memihak pada rakyat. SI yang sebagian besar anggotanya adalah pedagang
muslim juga menanamkan komitmen bersama untuk membangun etos kerja sebagai
seorang muslim.
Maka sikap sosialisme Islam agus salim inilah yang dianggap
mempengaruhi hidupnya sehingga dia tidak sanggup untuk memperkaya diri. Dengan
jabatan Menteri luar negeri, Agus Salim kesana-kemari hanya naik sepeda tua.
Melarat, bukan karena dirinya tidak mampu menjadi kaya, tapi karena pilihan
hidupnya untuk bersama kaum proletar, apalagi saat Indonesia saat itu sedang
memulai kemerdekannya. Jadi tidak pantas jika dirinya mengusir Kapitalisme dari
Indonesia, dan merubah dirinya menjadi kapitalisme local yang menjajah
bangsanya sendiri. Sikap Agus Salim ini adalah bentuk Sosialisme Islam yang
selama ini diyakininya bersama Muhammad Hatta dan Hos Cokroaminoto.
Dalam catatan Roem, Salah satu tokoh idolanya adalah Agus
Salim. Tokoh Agus Salim kelak menjadi sangat penting bagi masa muda Roem dalam
pentas pergerakan. Sebagai kawan perjuangan juga sebagai penuntun jalan Roem
dimasa pergerakan kemerdekaan. Sejak 1925, Roem sudah mengenal sosok idolanya
itu sejak berdirinya Jong Islamiten Bond. Pengaruh Agus Salim diterima oleh
Roem lewat tulisan-tulisan di surat kabar Hiindia Baru, Tajuk, Mimbar Jum’at.
Kesadaran Roem pada tanah Hindia yang merdeka terinspirasi dari pidato Salim
yang menyatakan ‘betapa masyarakat Hindia
terutama kalangan intelektual dicekam dibawah sugesti superior barat’.
Karenanya, Roem menyadari bahwa ia dan kawan-kawannya yang aktif dalam Jong
Java dan JIB, menyadari bahwa dengan berorganisasi kelak mereka akan menjadi
pimpinan bangsa. Pengaruh Salim, sebagai sosok yang dikagumi Roem, menentukan
arah-arah politik Roem dikemudian hari.[5]
Agus Salim termasuk Pak Tua ke dua setelah Tjokroaminoto
yang mengawali perlawanan dengan narasi besar melawan raksasa besar yaitu
Kapitalisme Belanda. Bisa dibayangkan saat itu ketika banyak orang yang haus
spirit untuk optimis Tokoh SI Agus Salim ibarat memainkan peran besar membangun
jiwa-jiwa pejuang sembari dirinya juga hadir untuk tegar dan terus berfikir dan
memobilisasi massa lewat SI. Secara nalar sadar semua mustahil untuk dilakukan,
tapi narasi besar itu semakin menguat dan Agus Salim memang layak mendapat
apresiasi dari beberapa tokoh yang mengobarkan perang terhadap Kapitalisme
lewat Sosialisme Islam. Sampai akhirnya SI pecah menjadi dua kubu merah dan
putih tapi semuanya tetap setia untuk melawan Kapitalisme namun hanya saja
dengan cara berbeda.
Kapitalisme sampai saat ini hanya menguntungkan segelintir
kelompok tetap menjadi musuh bersama. Lebih parah Kapitalisme tidak memiliki
sikap fitantropi (kedermawanan) terhadap
rakyat Indonesia. Maka Sosialisme yang digaungkan pejuang adalah langkah tepat
untuk merebut aset-aset Indonesia yang dikuasai Belanda seperti perkebunan
rempah-rempah Indonesia. Terbukti kelak sosialisme Islam ini diejawantahkan
oleh Soekarno dengan menasionalisasi beberapa perusahaan belanda menjadi milik
nasional.
Pembebasan Irian Barat ini memicu Soekarno untuk
menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Dasar hukum pengambilalihan
perusahaan Belanda itu adalah Undang-Udang Nomor 86 Tahun 1958. Pasal 1 UU itu
menyebutkan bahwa perusahaan Belanda yang berada di wilayah Indonesia
dinyatakan menjadi milik negara. Presiden Sukarno pada hari peringatan kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1958. Dalam pernyataan itu dikemukakan:
”Bagi Belanda tinggal
kini dua pilihan: terus berkeras kepala, atau memahami tuntutan sejarah. Terus
berkeras kepala akan berarti ‘jalan lain’ akan kita daki terus dan Belanda akan
kehilangan Irian Barat dengan tiada terhormat dan memahami tuntutan sejarah,
akan berarti mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia dengan terhormat, dari
normalisasi hubungan antara Nederland dan Indonesia sebagai lazim dalam dunia internasional."[6]
Walaupun kelak nasionalisasi ini menjadi alat untuk
menjatuhkan Soekarno dan Asing Amerika bercokol dengan memesrai Soeharto. 180
derajat negeri ini diubah kembali menjadi budak asing lewat penjajahan ekonomi.
Sampai hari ini sosialisme Islam masih menunggu untuk dibangkitkan atau dengan
ekonomi Islam yang sedang tumbuh baik di belahan Timur dan Barat, Barat pun mulai insaf dari Kapitalisme yang
sudah tua sebagaimana Sosialisme Marx tumbang dan mencari Post-Sosialismenya.
Sosialisme Islam Agus Salim ini yang menuntunnya meninggalkan
pekerjaan sebagai intel Belanda dengan gaji besar dan memilih untuk berjuang
bersama SI. Sosialisme inilah yang menjadi alat ukur ideologi Agus Salim kenapa
ia lebih memilih sederhana bahkan melarat saat dirinya menjabat menjadi menteri
luar negeri. Sosialisme Islam inilah yang menjadi jawaban kenapa ketika SI
pecah merah dan putih. Karena Merah mencoba hilang dari Islam. Jadi Islam bagi
Agus Salim adalah kepercayaan yang dapat merasuk pada bentuk apapun tanpa
mengotori Islam, Agama itu dapat bekerjasama dengan siapapun, ideologi apapun
dan demi kebaikan bersama. Agus Salim
adalah Sosialisme Islam sejati bersamaa Hos Tjokroaminoto.
[1] Korver,
A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafiti.
[2]
Ketika Hatta dan kawan-kawannya berkunjung ke rumah Agus Salim, Hatta mengaku
bahwa dirinya banyak membaca buku-buku Sosialisme yang dibelikan oleh pamannya.
(Lihat Mohammad Hatta, “Kenang-kenangan Kepada Hadji Agus Salim” dalam Solichin
Salam, Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional, hlm. 28)
[3] Kamaluddin Marzuki, Perilaku Tokoh Islam “Bersama” Sosialisme, Jurnal Universitas
Paramadina, Vol.1, No.1, September 2001:. Lihat Mohammad Hatta,
“Kenang-kenangan Kepada Hadji Agus Salim” dalam Solichim Salam, Hadji Agus
Salim Pahlawan Nasional, Djambatan, Jakarta, 1965, hlm. 28 dan 31. Donald
Eugene Smith menyebut adanya penganut Sosialisme yang menuduh bahwa Nabi
Muhammad sebagai tokoh Sosialisme. Kata mereka, Nabi Muhammad tidak menyebut
pengikutnya sebagai “pengikut setia”, tetapi mereka disebut ashhab
(sahabat-sahabat) yang berarti kawan atau dalam istilah Sosialisme (Komunis)
comrades. Selanjutnya Smith mengatakan bahwa sebagian besar tulisan mengenai
Sosialisme Islam didorong oleh pertimbangan-pertimbangan apologetik, yaitu
minat untuk meyakinkan pembaca bahwa ide-ide modern sebenarnya telah disebut di
dalam Al Qur’an. Suatu sikap yang jelas berlebihlebihan. (Lihat, Smith, Donald
Eugene, Agama dan Modernisasi Politik, terj. Drs. Machnun Husein, Rajawali,
Jakarta, 1985, hlm. 290).
[4] Tjokroaminoto,
H.O.S. 1950. Islam dan Socialisme. Jakarta: Bulan Bintang.
[5] Fachri
Ali, Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno
Suffatni, (ed)., h. 227
[6] Lihat kumpulan pidato Sukarno dalam Sukarno, Di Bawah Bendera Resolusi
jilid II, 1966:326-327.
0 komentar