SOSIALISME ISLAM AGUS SALIM

06.36.00



Oleh : DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada


Prof Schermerhorn (alm): Saya khusus ingat kepada Salim (H. Agus Salim), yg pada suatu hari saya undang ke istana sini. Orang tua yang sangat pintar ini seorang jenius dalam bahasa, bicara dan menulis dengan sempurna paling sedikit dalam sembilan bahasa. Ia hanya mempunyai satu kelemahan yaitu: bahwa selama hidupnya melarat! (dari buku harian Schermerhorn, terbit tahun 1970, senin malam, 14 oktober 1946, pukul 21.15)
Islam muncul atas keprihatinan Agus Salim terhadap bentuk Kapitalisme yang sangat eksploitatif. Islam yang disandingkan Agus Salim dengan sosialisme mengingat jati dirinya sebagai sebuah cara muslim untuk melawan hegemoni modal segelintir orang yang akhirnya menyingkirkan mayoritas rakyat. Untuk memperkuat alasan apa yang dikemukakan terakhir mengenai sikap Agus Salim terhadap Sosialisme pendapat A. P. E. Korver. Tokoh ini menandakan empat sikap yang sekaligus menjadi ciri-ciri organisasi Agus Salim (SI). Pertama, penolakan bermacam-macam prasangka terhadap pribumi dan penolakan sikap diskriminatif Belanda terhadap pribumi. Kedua, penghargaan positif terhadap identitas pribumi. Ketiga, cita-cita penentuan nasib sendiri. Keempat, anti Kapitalisme. Empat faktor inilah, terutama faktor keempat --bersama faktor lain—yang membuat tokoh-tokoh SI termasuk Agus Salim mau menoleh kepada Sosialisme (Korver, 1985)[1] lantaran sama-sama anti Kapitalisme.
Mohammad Hatta bahkan yakin Agus Salim menganut “Sosialisme Islam” yang dipelajarinya pada tahun 1906.[2] Dalam penuturan Hatta, Agus Salim pernah mengatakan bahwa dirinya banyak membaca buku Sosialisme, dan Nabi Muhammad diutus ke muka bumi untuk, antara lain, mengajarkan Sosialisme tersebut (Hatta, 1965)[3] Tanpa menolak bentuk Kapitalisme yang juga membangun kesejahteraan, sosialisme Islam sebenarnya bentuk perjuangan ekonomi yang mengupayakan pemerataan distribusi ekonomi. Maka Hatta dan Agus Salim sebagi seorang muslim tentunya sangat memahami bagaimana Islam sangat memperhatikan kaum mustadafin atau proletar. Agus Salim pun tidak terjebak pada sosialisme liberal yang sampai pada bentuk cara pandang Marx yang menganggap “Agama sebagai candu”. Dalam pandangan Marx agama menjadi penghalang untuk manusia menjadi maju khususnya dalam ekonomi. Tapi Agus Salim sebagai seorang pejuang muslim menjadikan spirit agama Islam untuk bangkit dan melawan penindasan terutama bentuk penindasan Kapitalisme yang menjajah bangsa Indonesia.
Pemikiran Agus Salim tentang Sosialisme bermula dari pertemuannya dengan HOS Cokroaminoto yang memang sejak muda berumur 18 tahun telah menyelesaikan membaca De Socialisten karya Quack yang terdiri dari 6 jilid, buku yang juga dibaca oleh Mohammad Hatta. Ketertarikan Cokroaminoto dengan sosialisme menurutnya sejalan dengan konsep Nabi Muhammad yang memang berjiwa sosial. Cokroaminoto berkeyakinan Sosialisme merupakan alat yang ampuh untuk memerangi Kolonialisme, Feodalime dan Kapitalisme yang dikembangkan Belanda, maka menjelang Kongres Al Islam di Garut pada tahun 1922 ia mulai memasarkan apa yang ia namakan “Sosialisme Berdasarkan Islam” melalui koran milik SI (Rahardjo, 1993). Selain itu Tjokroaminoto juga giat memberikan kursus-kursus mengenai Sosialisme dan akhirnya menerbitkan buku berjudul Islam dan Sosialisme pada tahun 1924.[4]
Bersama Hos Cokroaminoto bergerak di SI, Agus Salim membangun narasi besar tantang bersatunya rakyat bersama sosialisme berdasarkan Islam. Maka gerakan ini tentu sangat berbeda dengan Sosialisme Marx yang memperjuangkan sosialisme dalam perjuangan kelas secara radikal. Sosialisme Islam lebih mengawali bentuknya pada upaya membangun narasi besar tentang keadilam ekonomi yang memihak pada rakyat. SI yang sebagian besar anggotanya adalah pedagang muslim juga menanamkan komitmen bersama untuk membangun etos kerja sebagai seorang muslim.
Maka sikap sosialisme Islam agus salim inilah yang dianggap mempengaruhi hidupnya sehingga dia tidak sanggup untuk memperkaya diri. Dengan jabatan Menteri luar negeri, Agus Salim kesana-kemari hanya naik sepeda tua. Melarat, bukan karena dirinya tidak mampu menjadi kaya, tapi karena pilihan hidupnya untuk bersama kaum proletar, apalagi saat Indonesia saat itu sedang memulai kemerdekannya. Jadi tidak pantas jika dirinya mengusir Kapitalisme dari Indonesia, dan merubah dirinya menjadi kapitalisme local yang menjajah bangsanya sendiri. Sikap Agus Salim ini adalah bentuk Sosialisme Islam yang selama ini diyakininya bersama Muhammad Hatta dan Hos Cokroaminoto.
Dalam catatan Roem, Salah satu tokoh idolanya adalah Agus Salim. Tokoh Agus Salim kelak menjadi sangat penting bagi masa muda Roem dalam pentas pergerakan. Sebagai kawan perjuangan juga sebagai penuntun jalan Roem dimasa pergerakan kemerdekaan. Sejak 1925, Roem sudah mengenal sosok idolanya itu sejak berdirinya Jong Islamiten Bond. Pengaruh Agus Salim diterima oleh Roem lewat tulisan-tulisan di surat kabar Hiindia Baru, Tajuk, Mimbar Jum’at. Kesadaran Roem pada tanah Hindia yang merdeka terinspirasi dari pidato Salim yang menyatakan ‘betapa masyarakat Hindia terutama kalangan intelektual dicekam dibawah sugesti superior barat’. Karenanya, Roem menyadari bahwa ia dan kawan-kawannya yang aktif dalam Jong Java dan JIB, menyadari bahwa dengan berorganisasi kelak mereka akan menjadi pimpinan bangsa. Pengaruh Salim, sebagai sosok yang dikagumi Roem, menentukan arah-arah politik Roem dikemudian hari.[5]
Agus Salim termasuk Pak Tua ke dua setelah Tjokroaminoto yang mengawali perlawanan dengan narasi besar melawan raksasa besar yaitu Kapitalisme Belanda. Bisa dibayangkan saat itu ketika banyak orang yang haus spirit untuk optimis Tokoh SI Agus Salim ibarat memainkan peran besar membangun jiwa-jiwa pejuang sembari dirinya juga hadir untuk tegar dan terus berfikir dan memobilisasi massa lewat SI. Secara nalar sadar semua mustahil untuk dilakukan, tapi narasi besar itu semakin menguat dan Agus Salim memang layak mendapat apresiasi dari beberapa tokoh yang mengobarkan perang terhadap Kapitalisme lewat Sosialisme Islam. Sampai akhirnya SI pecah menjadi dua kubu merah dan putih tapi semuanya tetap setia untuk melawan Kapitalisme namun hanya saja dengan cara berbeda.
Kapitalisme sampai saat ini hanya menguntungkan segelintir kelompok tetap menjadi musuh bersama. Lebih parah Kapitalisme tidak memiliki sikap fitantropi (kedermawanan)  terhadap rakyat Indonesia. Maka Sosialisme yang digaungkan pejuang adalah langkah tepat untuk merebut aset-aset Indonesia yang dikuasai Belanda seperti perkebunan rempah-rempah Indonesia. Terbukti kelak sosialisme Islam ini diejawantahkan oleh Soekarno dengan menasionalisasi beberapa perusahaan belanda menjadi milik nasional.
Pembebasan Irian Barat ini memicu Soekarno untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Dasar hukum pengambilalihan perusahaan Belanda itu adalah Undang-Udang Nomor 86 Tahun 1958. Pasal 1 UU itu menyebutkan bahwa perusahaan Belanda yang berada di wilayah Indonesia dinyatakan menjadi milik negara. Presiden Sukarno pada hari peringatan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1958. Dalam pernyataan itu dikemukakan:
 ”Bagi Belanda tinggal kini dua pilihan: terus berkeras kepala, atau memahami tuntutan sejarah. Terus berkeras kepala akan berarti ‘jalan lain’ akan kita daki terus dan Belanda akan kehilangan Irian Barat dengan tiada terhormat dan memahami tuntutan sejarah, akan berarti mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia dengan terhormat, dari normalisasi hubungan antara Nederland dan Indonesia sebagai lazim dalam dunia internasional."[6]
Walaupun kelak nasionalisasi ini menjadi alat untuk menjatuhkan Soekarno dan Asing Amerika bercokol dengan memesrai Soeharto. 180 derajat negeri ini diubah kembali menjadi budak asing lewat penjajahan ekonomi. Sampai hari ini sosialisme Islam masih menunggu untuk dibangkitkan atau dengan ekonomi Islam yang sedang tumbuh baik di belahan Timur dan Barat,  Barat pun mulai insaf dari Kapitalisme yang sudah tua sebagaimana Sosialisme Marx tumbang dan mencari Post-Sosialismenya.
Sosialisme Islam Agus Salim ini yang menuntunnya meninggalkan pekerjaan sebagai intel Belanda dengan gaji besar dan memilih untuk berjuang bersama SI. Sosialisme inilah yang menjadi alat ukur ideologi Agus Salim kenapa ia lebih memilih sederhana bahkan melarat saat dirinya menjabat menjadi menteri luar negeri. Sosialisme Islam inilah yang menjadi jawaban kenapa ketika SI pecah merah dan putih. Karena Merah mencoba hilang dari Islam. Jadi Islam bagi Agus Salim adalah kepercayaan yang dapat merasuk pada bentuk apapun tanpa mengotori Islam, Agama itu dapat bekerjasama dengan siapapun, ideologi apapun dan  demi kebaikan bersama. Agus Salim adalah Sosialisme Islam sejati bersamaa Hos Tjokroaminoto.




[1] Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafiti.
[2] Ketika Hatta dan kawan-kawannya berkunjung ke rumah Agus Salim, Hatta mengaku bahwa dirinya banyak membaca buku-buku Sosialisme yang dibelikan oleh pamannya. (Lihat Mohammad Hatta, “Kenang-kenangan Kepada Hadji Agus Salim” dalam Solichin Salam, Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional, hlm. 28)
[3] Kamaluddin Marzuki, Perilaku Tokoh Islam “Bersama” Sosialisme, Jurnal Universitas Paramadina, Vol.1, No.1, September 2001:. Lihat Mohammad Hatta, “Kenang-kenangan Kepada Hadji Agus Salim” dalam Solichim Salam, Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional, Djambatan, Jakarta, 1965, hlm. 28 dan 31. Donald Eugene Smith menyebut adanya penganut Sosialisme yang menuduh bahwa Nabi Muhammad sebagai tokoh Sosialisme. Kata mereka, Nabi Muhammad tidak menyebut pengikutnya sebagai “pengikut setia”, tetapi mereka disebut ashhab (sahabat-sahabat) yang berarti kawan atau dalam istilah Sosialisme (Komunis) comrades. Selanjutnya Smith mengatakan bahwa sebagian besar tulisan mengenai Sosialisme Islam didorong oleh pertimbangan-pertimbangan apologetik, yaitu minat untuk meyakinkan pembaca bahwa ide-ide modern sebenarnya telah disebut di dalam Al Qur’an. Suatu sikap yang jelas berlebihlebihan. (Lihat, Smith, Donald Eugene, Agama dan Modernisasi Politik, terj. Drs. Machnun Husein, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 290).
[4] Tjokroaminoto, H.O.S. 1950. Islam dan Socialisme. Jakarta: Bulan Bintang.
[5] Fachri Ali, Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 227
[6] Lihat kumpulan pidato Sukarno dalam Sukarno, Di Bawah Bendera Resolusi jilid II, 1966:326-327.

You Might Also Like

0 komentar

Ayo Gabung

SUBSCRIBE NEWSLETTER

Get an email of every new post! We'll never share your address.

Dharma

Dharma
Selamatkan kekayaan Indonesia

Ad Banner

Ad Banner