Oleh : DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa
Sekolah Pascasarjana
Universitas
Gadjah Mada
Leiden is lijden
(memimpin adalah menderita).
Kutipan Tulisan itu pernah menjadi Judul Opini Yudi
Latif KOMPAS, 31 Januari 2012, mengutip
Kredo Agus Salim bersikap sebagai seorang negarawan. Pemimpin yang kita kenal semestinya sebagai penyambung lidah
rakyat layaknya Soekarno sebagaimana pendapat Cindy Adam. Pemimpin yang setiap
hari memikirkan apa dan bagaimana nasib rakyatnya di esok hari. Pemimpin yang
benar-benar mencintai Negara dan seluruh isi di dalamnya dengan tekad memberi
kemanfaatan dirinya untuk sebanyak-banyaknya makhluk. Begitu mengharukan tapi
ini nyata ada dalam diri Agus Salim. Seorang pejuang, negarawan, orator,
penulis, diplomat, penjual minyak tanah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
dengan cara yang halal. Agus Salim yang tidak gila jabatan dan harta. Agus
Salim yang cukup bahagia dan mensyukuri semua keadaan. Maka Leiden is Lijden adalah sikap diri untuk
memberikan jiwa raga bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya tanpa harus merasa
masygul atas kekurangan yang masih menghinggap dalam kehidupan pejuang itu
sendiri.
Menurut Mohamad Roem
(yang terkenal namanya lewat perjanjian Roem-Rojen), Kehidupan Agus Salim
sangat sederhana, termasuk tempat tinggalnya. Menurutnya,“Agus Salim, kira-kira
enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur
rumahnya. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji Agus
Salim berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan,
yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi
istirahat di lain kota atau negeri”.
“Orang tua yang
sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan
menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya
satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat" demikian penilaian Prof.Schermerhorn
yang ditulis dalam catatan hariannya Senin malam tanggal 14 Oktober 1946.
Dalam kisah yang dikutip dari buku Seratus Tahun Haji Agus
Salim. Rumah yang bocor malah dirasakan sebagai suatu sukacita yang dapat
menciptakan keasyikan bersama. “Pada suatu masa, mereka menempati rumah buruk
yang kakusnya telah rusak. Kalau disiram, isi kakus itu malah meluap. Zainatun
Nahar istrinya, benar-benar tidak tahan dan setiap kali ke WC malah
muntah-muntah karena jijik. Agus Salim kemudian melarang istrinya menggunakan
WC yang rusak itu dan ia sendirilah yang tiap hari membuang pispot istrinya”.
Memang sulit menemukan kembali hal-hal yang demikian pada
pemimpin pada zaman saat ini. Agus Salim sebagai seorang Menteri yang disegani
dan terpercaya berdiplomasi dengan pemimpin-pemimpin luar negeri mampu menyembunyikan
keadaaan kekurangan yang sangat langka pada kehidupannya yang bukan lagi
sederhana. Tapi sangat melarat, Maka kata-kata “memimpin adalah menderita”
adalah resiko yang Agus Salim ambil dan semakin membuat rakyat luas percaya
bahwa benar-benar Pak Menteri itu sangat menderita bersama keluarganya. Dan
terbukti, tidak ada dalam kehidupan Agus Salim mengeluh minta ditambah gaji
atau fasilitas yang lain. Kondisi Indonesia yang baru merdeka saat itu masih
banyak ditemukan rakyat luas tidak dapat makan dengan gizi yang cukup. Anak-anak
memakai pakaian yang tidak layak. Jangankan pendidikan, Negara yang sudah
sangat tua sebagai budak Belanda sangat minim menggapai kesejahteraan dalam
waktu yang singkat. Kesejahteraan itu kini pun juga hadir pada
kelompok-kelompok terstruktur namun tidak merata. Kesejahteraan dan kemelaratan
kian menjadi jurang pemisah bagi keindonesiaan kita.
Agus Salim dan Istrinya juga tidak mungkin mengatakan kepada
public bahwa WC seorang Menteri yang tinggal dirumah kecil kontrakan telah
rusak. Agus Salim sangat paham dan menyadari bahwa penderitaannya adalah bentuk
wakaf dirinya sebagai seorang pemimpin yang benar-benar mencintai dan dicintai
rakyatnya. Prof.Schermerhorn yang menyanjung Agus Salim sebagai seorang yang
pandai bahasa dan menulis dengan
sempurna menelisik kehidupan dalam Agus Salim yaitu kemelaratannya. Kemelaratan
yang membuat Pak Tua itu semakin tegar. Kemelaratan yang membuat Pak Tua itu
semakin berjiwa besar. Agus Salim adalah sebagian contoh pemimpin yang saat itu
benar-benar berkorban dan menderita. Kita juga masih ingat Bung Hatta yang
tidak mampu membeli sepatu keinginannya hingga akhir hidupnya. Kita juga tahu
bagaimana Muhammad Natsir seorang perdana menteri yang menggenakan baju bertambalkan
aspal.
Kita saat ini merindukan sosok-sosok itu hadir memimpin
negeri ini bukan untuk menjadi melarat,
tapi kita rindu sosok-sosok itu hadir dalam ruang kesederhanaan. Ruang yang
akan menjadi dealektika kepercayaan antara pemimpin dan rakyat. Sebuah bentuk
kepemimpinan yang menjamah nurani rakyat penuh keteladanan. Bukan sebuah
kemepimpinan yang nir-akhlak, dan nir-sosial. Tidak perlu pemimpin hari ini
harus bersusah payah seperti Agus Salim. Pemimpin hari ini hanya dituntut untuk
Amanah, sederhana dan tidak korupsi!
0 komentar