Oleh : DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa
Sekolah Pascasarjana
Universitas
Gadjah Mada
Pertikaian hukum agama
dengan hukum adat bukanlah masalah baru, dan pada umumnya sudah selesai. Lain
dari pada itu orang-orang beragama lain tidak perlu khawatir : keamanan
orang-orang itu tidak tergantung pada kekuasaan negara, tetapi pada adatnya
ummat Islam yang 90 % itu (Agus Salim).[1]
Begitulah jawaban H. Agus
Salim pasca Seorang anggota BPUPKI yang beragama Kristen, Latuharhary,
menyatakan keberatannya atas Piagam Jakarta ini ialah termuatnya tujuh kata,
yaitu “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,.
Dia mengkhawatirkan akibatnya mungkin besar terutama terhadap agama lain, juga
bisa menimbulkan kekacauan terhadap adat istiadat. Jawaban Agus Salim saat itu
adalah bentuk sikap kenegarawan yang menjamin keamanan pada semua lapis bangsa
yang sedang menuju kemerdekaan Indonesia. Sebuah ungkapan yang muncul untuk
tidak mendramatisir masalah dalam bingkai kekakuan beragama sehingga
dikhawatirkan ketakutan itu menjadi racun kebencian bagi Indonesia yang
memiliki 90% penduduk muslim saat itu.
Adat menarik untuk kita bahas, Adat adalah gagasan
kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan,
kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. (Wikipedia).
Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan
yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku
yang dianggap menyimpang. Menurut Jalaluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal di Aceh
dalam tulisannya pada tahun 1660). "Adat" berasal dari bahasa Arab
عادات, bentuk jamak dari عادَة (adah), yang berarti "cara",
"kebiasaan". Di Indonesia kata Adat baru digunakan pada sekitar akhir
abad 19. Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada masyarakat Melayu setelah
pertemuan budayanya dengan agama Islam pada sekitar abad 15-an. Kata ini antara
lain dapat dibaca pada Undang-undang Negeri Melayu.
Maka kata “adat” yang muncul dari ucapan Agus Salim memiliki
sejarah yang begitu panjang menyangkut karakter umat Islam Indonesia sendiri
sebagaimana tertuang pada sejarah-sejarah kebudayaan Islam. Islam yang memiliki
kebiasaan baik tanpa ada upaya menjajah negeri-negeri yang telah dikuasai
Islam. Andalusia (Spanyol), Baghdad (Irak), Turki, Mesir, adalah Negara-negara
berperadaban tinggi saat itu pada saat Islam memimpin. Sedangkan di Indonesia
Agama Islam hadir dengan cinta damai tanpa harus berseteru dengan Kerajaan yang
kala itu telah menguasai Nusantara seperti Majapahit dan Sriwijaya. Maka “Adat”
Islam yang kemudian di lontarkan Agus Salim pada perdebatan salah satu bunyi
pasal pada Piagam Jakarta adalah penegasan dengan sejarah bahwa Islam
mengandung banyak kebaikan tanpa ada upaya menindas pihak-pihak lain. Agus
Salim seperti ingin menjamin kepada bentuk ketakutan Latuharhary, bahwa
Mayoritas 90% Umat Islam akan berjuang bersama umat lain untuk membangun
Indonesia bersama-sama. Jadi ucapan itu adalah sikap tegas Agus Salim untuk
dapat dipahami semua pihak termasuk umat Islam sendiri bahwa adat (kebiasaan
baik) itu yang harus menjadi toleransi bersama sejak hari itu dan untuk masa depan seterusnya.
Kita pun menyadari sampai saat ini umat Islam masih
memegang kuat adat yang baik tanpa ada keinginan umat Islam untuk melakukan
otoritarianisme lewat kekuasaan Negara. Jika kita kritik kembali pada para
pemimpin bangsa ini penolakan terhadap Piagam Jakarta adalah bentuk terlalu
memberi kebaikan pada minoritas umat sehingga berbalik memecah belah mayoritas
Islam sendiri. Mayoritas umat Islam saat itu adalah kelompok yang paling
memiliki kepentingan untuk kebaikan Negara, jadi terlalu masygul jika kemudian
ada ketakutan baik kalangan di luar Islam yang begitu takut dengan bunyi sila
pertama pada bagian Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta yang berbunyi sebagai berikut :
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
ssegala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan peri-keadilan. Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia, dengan selamat sentausa mengantaskan rakyat Indonesia kedepan pntu
gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkatrahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara
Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang
berkedaulatan Rakyat, dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan–perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh Rakyat Indonesia.[2]
A. Wahid Hasjim mengajukan dua usul. “Pertama pada pasal 4 ayat 2 ditambah dengan kata “yang beragama Islam”.
Buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dengan
masyarakat”. Dia menyampaikan alasan : “Jika
Presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar
pengaruhnya”. Kedua, diusulkannya pula pada pasal 29 tentang agama, diubah
sehingga berbunyi : “Agama negara ialah
agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain untuk,
dan sebagainya”. Dia beralasan; “Pada
umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena
menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama”.[3]
Usul Wahid Hasjim ini nampaknya bukan saja ditolak oleh kalangan non muslim,
tetapi Haji Agus Salim, yang juga merupakan juru bicara pihak Islam, tidak
menyetujui usul tersebut.
Penolakan Agus Salim bukanlah bentuk dirinya yang tidak
menyepakati hadirnya Islam dalam bentuk konstitusi Negara. Agus Salim lebih
berfikir untuk membangun kebersamaa Islam dan agama lain untu menghentikan
kecurigaan dan berdebat pada bentuk adu ideologi. Bentuk perdebatan ideologi
itu yang akan menguras energi bangsa dan akan membuat pihak penjajah yang masih
memiliki keinginan untuk merebut kembali jajahannya, menyerang dengan membangun isu agama.
Sebagai seorang diplomat, Agus Salim pun membuktikan diri untuk dapat membangun
akses dukungan dari Negara-negara mayoritas Islam di luar negeri. Mesir pertama
kali lewat Ikhwanul Muslimin yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Tanpa banyak
berdebat Agus Salim dan beberapa kawan bertandang ke Mesir untuk mengucapkan
terimakasih kepada Hasan Al-Bana dan tokoh Mesir lainnya yang dengan berani
lantang mendukung kemerdekaan Indonesia. Cara-cara ini lebih arif dan
menghindari tuduhan bahwa Islam Indonesia telah melakukan tindakan
fundamentalisme agama lewat konstitusi yang dibangun. Pilihan yang saat itu
sangat sulit karena pihak luar Islam mengancam akan menggagalkan dukungan
kemerdekaan. Maka atas nama bangsa Agus Salim menampakkan sikap
kenegarawananya membangun aliansi antar berbagai Negara untuk mendukung
Indonesia merdeka.
0 komentar