Oleh : DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa
Sekolah Pascasarjana
Universitas
Gadjah Mada
Oleh Pramoedya Ananta Toer[1], Diterbitkan
18 April 1999
Sekitar 50 tahun yang lalu, pada resepsi diplomatik di
London, satu orang menonjol: dia pendek untuk ukuran Eropa, dan tipis, dan ia
mengenakan topi fezlike hitam di
rambutnya yang putih. Dari mulutnya datang awan tak berujung asap aromatik yang
merasuki ruang resepsi. Orang ini adalah Agus Salim, Duta Besar Republik
Indonesia yang pertama ke Inggris. Dimaksud dalam negaranya sebagai Old Man Grand, Salim berada di antara
generasi pertama dari Indonesia telah menerima pendidikan Barat. Dalam hal ini,
ia adalah spesies langka, untuk pada akhir hegemoni Belanda atas Indonesia pada
tahun 1943, tidak lebih dari 3,5 persen dari penduduk negara itu bisa membaca
atau menulis.
Tidak mengherankan, penampilan dan sikap Salim - belum lagi
bau aneh dari rokok - dengan cepat mengubahnya menjadi pusat perhatian. Seorang
pria dengan kata-kata pertanyaan yang berada di bibir setiap orang:'' Apa itu
hal yang Anda merokok, Pak?'' '' Itu, Yang Mulia,'' Agus Salim dilaporkan telah
mengatakan,'' adalah alasan yang Barat mengalahkan dunia'' Bahkan ia mengisap
kretek, sebuah rokok indonesian dibumbui dengan cengkeh,! Yang selama
berabad-abad adalah salah satu yang paling dicari di dunia rempah-rempah.
Apakah kisah saya tentang bahasa Indonesia di istana Raja
James kisah terbesar dari milenium? Tentu saja tidak, meskipun aku harus
tersenyum pada ketidaksopanan ditunjukkan oleh sebangsa saya. Saya termasuk di
sini karena menyentuh pada apa yang saya berpendapat adalah dua proses yang
paling penting'''' milenium ini: mencari rempah-rempah oleh negara-negara
Barat, yang membawa negara-negara asing dan budaya ke dalam kontak dengan satu
sama lain untuk pertama kalinya; dan perluasan kesempatan pendidikan, yang
kembali ke dijajah bangsa di dunia hak mereka terpaksa kehilangan bawah
penjajahan Barat - hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Proses yang terakhir ini dicontohkan oleh apa yang sekarang
sebuah karya sastra hampir tidak dikenal:'' Max
Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda,'' novel karya Eduard Douwes Dekker, seorang Belanda,
yang diterbitkan pada tahun 1859 dengan nama samaran Multatuli (Latin untuk'' Saya sangat menderita''). Buku ini
menceritakan pengalaman salah Max Havelaar, seorang pejabat kolonial Belanda di
Jawa idealis. Dalam cerita, Havelaar bertemu - dan kemudian memberontak
terhadap - sistem tanam paksa yang dikenakan pada petani Indonesia dengan
Pemerintah Belanda.[2]
Kisah perjalanan Agus Salim dan Pramoedya memang sangat
jauh. Tapi sedikit tulisan Pram di atas menggambarkan bagaimana para pejuang
awal Negara ini mengalami kesulitan bangkit dari bentuk pendidikan. Belanda yang
memberi kesempatan belajar anak-anak pribumi untuk sekolah di pendidikan
Belanda kelak menjadi pejuang untuk membebaskan bangsanya dari sebuah kebodohan
turunan dan terlena abadi dalam penjajahan yang sakit. Pram kemudian
menyebutkan bahwa Agus Salim adalah generasi pertama yang memperoleh pendidikan
Barat. Agus Salim adalah spesies langka, yang dikemudian hari spesies langka
ini bertambah dan terus bertambah seperti Muhammad Hatta yang akhirnya
memecahkan kebuntuan pendidikan dan merasakan langsung pendidikan sampai ke
negeri Belanda. Walaupun dididik oleh Belanda mereka-mereka yang umumnya
berasal dari Sumatra Barat telah memiliki basis Islam yang kuat. Jadi Spesies
langka menurut Pram bisa jadi adalah langkanya para pelajar yang juga memiliki ideologi
Islam pondasi Tauhid yang kelak terus melawan.
Di bumi Indonesia dari Sabang sampai Merauke dapat kita
jumpai bagaimana Masyarakat Islam disana mampu melawan penjajah sebagai bentuk
harga diri Islam yang tidak mau di jajah oleh Belanda. Aceh, Sumatra Barat,
Jawab Barat, Surabaya adalah bagian Indonesia yang mencatatkan pertarungan
sengit. Dalam tetralogi buru “Bumi Manusia” dijelaskan oleh Pram bagaimana Aceh
sangat sulit ditakhlukkan oleh Belanda. Daerah yang disebut sebagai Serambi
Mekah itu kian beringas ketika Belanda hadir dan menginjak-injak harga diri
masyarakat Aceh. Dalam Novel “Bumi Manusia” itu juga menceritakan perang Aceh
adalah perang Islam dan Belanda dimana masyarakat Aceh hanya bersenjatakan bambu
runcing tapi jago memainkan system gerilya. Perang Aceh adalah sejarah perang
dimana belanda selalu mengalami kekalahan. Bahka dunia mencatat bahwa Inggris
hanya sekali terkalahkan dalam perang yaitu pertempuran di Surabaya yang
diperingati sebagai hari Pahlawan.
Dalam hal lain ada ‘spesies
langka” yaitu Aktor Minke dalam Bumi
Manusia oleh Pram sangat dilukiskan sebagai pelajar cerdas pribumi yang mampu
berbahasa, menulis dan memliki kecerdasan yang setara dengan pelajar Belanda
saat itu. Tokoh Minke yang kuat digambarkan sebagai bentuk kiasan tokoh Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo
adalah tokoh Pers awal Indonesia. Pram dalam sadarnya ingin membangun persepsi
besar bahwa Indonesia saat penjajahan Belanda saat itu itu butuh spesies langka
yang mampu membaca dan menulis. Dengan itu maka akan lahir spesies-spesies baru
yang mampu membangun narasi besar tentang perjuangan bukan hanya dengan bambu runcing,
bedil atau people power gaya sosialis. Hematnya Indonesia membutuhkan pejuang
yang mampu membangun isu-isu temporal dengan kata dan pena.
Raden Mas Djokomono
Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) adalah seorang tokoh pers dan tokoh
kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran
dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S. Tirto
menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan
Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji
dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu
(bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan,
penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Tirto adalah orang
pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk
pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap
pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan
disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera
(Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke
Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo).
Sedangkan Agus Salim, Pram menulis artikel awal pada tulisan
ini adalah sebagai bentuk awal kesamaan sosok The Grand Old Man dengan Minke atau Tirto Adhi Soerjo yang mampu
membaca dan menulis. Mereka sama-sama prototype awal pejuang Indonesia yang
mengenyam pendidikan Belanda. Kemampuan berdebat cerdas, berbahasa asing yang
baik dan menulis dengan militant adalah anugerah besar. Spesies ini kelak akan
menjadi pemantik Spesies yang lebih hebat seperti Soekarno, Tan Malaka,
Muhammad Hatta, M Natsir, Hamka dan lainnya, yang semuanya bisa dialektika, membaca,
menulis dengan sempurna. Maka Spesies awal seperti Agus Salim ini adalah bentuk
paling otentik dan genuine dari banyaknya pejuang saat itu
dan Pak Tua ini memang sampai saat ini tetap langka. Pribadi yang mampu
menjadikan Sarekat Islam dan Sosialisme dalam
satu tubuh melawan Kapitalisme global. Seorang Tua yang sampai akhir hidupnya
dijalani dengan gaya Proletar. Seorang
tua yang mengajari anak-anaknya berbagai bahasa tanpa pendidikan formal,
seorang Tua yang menggunakan rokok sebagai bentuk perlawanan untuk mencibir
asing yang merebut rempah-rempah di Indonesia.
Seorang Ulama, intelektual, diplomat, satrawan, ahli debat
ulung, guru yang amat sangat jenius, menguasai sekurang-kurangnya nya 7 bahasa
dengan amat sangat baik, bahkan dikatakan bahasa arab Agus Salim mengalahkan
sarjana-sarjana Mesir karena ketinggian bahasanya. Maka wajar jika Bung Hatta
menyebut “…dia itu adalah yang jenial, yang mendapat pikiran yg penting-penting
secara tiba-tiba dan mudah saja mengeluarkannya sepintas lalu. Sikapnya yang
tangkas dan ada rem, itu memberikan garam pada ucapannya, biasanya terdapat
dalam perdebatan atau tulisan yang menangkis serangan lawan atau dalam
pertukaran pikiran yang berisikan lelucon. Di situlah terdapat apa yang dikatakan
orang Belanda "Salim op zijn best".
Suatu penghargaan yang tepat bagi dia julukan "Indonesia's Grand Old Man".
[1] Pramoedya
Ananta Toer adalah novelis.''Soliloquy Bisu itu,'' sebuah kronik tahun sebagai
tahanan politik di Indonesia. Karya terkenal Pram adalah tetralogi Buru dengan
4 judul karya “Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Dan Rumah Kaca”.
Mengalami kepahitan hidup selama 14 tahun dipenjara tanpa pengadilan di Pulau
Buru. Karyanya diterjemahkan lebih dari 42 bahasa. Dan karyanya sangat dihargai
di luar negeri tapi dilarang oleh rezim Orde Baru.
[2] Artikel
ini diterjemahkan oleh John H. McGlynn dari bahasa Indonesia.
0 komentar