Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Public Policy KAMMI Kota Yogyakarta
Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
“Betapa
kewajiban mengajar itu sangat begitu penting pada saat sekarang. Anda menjadi
seorang yang mau memberi pengajaran kepada 5 orang dari sekian juta penduduk di
negara ini adalah sangat berarti. Kita juga telah terinspirasi dengan Anis
Baswedan yang mencetuskan Indonesia Mengajar” (Ungkap DR. Siti Mutiah Setiawati,
Universitas Gadjah Mada). Menarik bagi kita semua bahwa pembangunan Indonesia
tentang Demokrasi, Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya masih
tertatih-tatih tidak menentu. Gejala lambatnya pembangunan ini jamak kita
ketahui akibat mental hipokrit yang
muncul dari para pemangku kebijakan negeri ini. Tidak bermaksud menyalahkan,
tapai telah kita ketahui bersama, negeri ini krisis mental pemimpin yang
solutif dan progresif.
Kita ingin membangun kembali karakter bangsa ini melalui
pengajaran-pengajaran yang baik. Bahwa yang kita tawarkan untuk bangsa ini
melalui instrument apapun adalah tentang sebuah optimisme, pencerahan,
keteladanan, dan semua bentuk masa depan yang baik dengan narasi-narasi para
pahlawan. Kita sebenarnya tidak ingin memiliki para pemimpin yang pesimis,
pandai debat kusir, nir perilaku profetik. Kita juga ingin para pemegang kunci
hukum negeri ini jujur dan fair kepada siapaun baik raja maupun jelata. Istilah
“laskar keadilan” harusnya menjadi pedang yang paling setia pada kebenaran.
Kita juga ingin Media kita yang penuh dengan inspirasi tanpa kepentingan
politik, tanpa provokasi dan berharap sangat mampu memberi kita jalan untuk
interaksi dan mediasi dalam bernegara.
Jauh hari Socrates mengatakan bahwa “tugas utama Negara adalah mendidik warga Negara dalam keutamaaan (arête).
“Gnooti Seauton” kenalilah dirimu”. Negara ini telah kehilangan narasi
panjangnya. Pemimpin yang muncul bukan karena kapasitas yang membanggakan tapi
karena kosmetik (citra) yang dipoles oleh berbagai kepentingan Asing dan
Korporasi. Maka menjadi sangat bodoh kalau kemudian individu yang terlanjur
sukses di pilih secara demokrasi procedural itu, kita harapkan mampu menjangkau
harapan dan mimpi kita sebagai rakyat.
Kita kemudian merindui sosok Soekarno dimana tahun 60-an
buta huruf masih sedemikian merajalela. Dengan optimis Soekarno mencanangkan
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf, yaitu dengan Soskarno sendiri turun tangan
ikut mengajar. Apa yang membedakan kita dengan orang-orang masa lalu. Dengan
keterbatasan teknologi, komunikasi dan transportasi mereka optimis untuk
membangun Indonesia dengan segala kekurangan. Mereka rela berjalan berkilo-kilo
untuk mendatangi tempat-tempat pemberantasan buta huruf dimana dari 100 %
penduduk hanya 5 % yang dapat membaca. Soekarno dengan lantang dan berani,
tidak ada pilihan lain kecuali menawarkan sebuah peta jalan meraih kecerdasan
yaitu bagaimana rakyatnya tercerahkan minimal selesai untuk masalah buta huruf.
Hari ini masalah kita bukan lagi sepelik zaman Soekarno, di zaman SBY ini
reformasi banyak dikatakan omong kosong. Masalah BBM sebenarnya masalah kemauan
pemimpin untuk mengawali menggunakan jasa angkutan public. Pemimpin-pemimpin di
Jakarta memang tidak pernah memberi keteladanan untuk menghemat BBM. Rakyat
kemudian berlomba untuk memiliki kendaraan pribadi dan semakin memperlambat
mobilisasi pada tingkat makro. Jika ada kepastian angkutan pablik yang standar dan
tepat waktu serta diawali dengan keteladanan pemimpin, tentu selesai urusan
karena macet terhapus dari bumi Indonesia.
Masalah Korupsi tetap harus dimulai dari pemimpin yang
mengajarkan kesederhanaan. M Hatta mungkin gagal membeli Sepatu yang diimpikannya
karena tidak mau berhutang, tapi Hatta tidak gagal mengajarkan kesederhanaan
pemimpin. Bahkan pemotongan nilai mata uang rupiah saat terjadi krisis harus
menjadi konsekuensinya karena tabungannya untuk keluarga menjadi bernilai
kecil. Hatta pun tetap lantang mengatakan “Jangan
bangun negeri ini dengan hutang-hutang dan investasi asing”. Begitupun M
Natsir tidak ada lagi dalam sejarah akan terulang, sosok perdana Menteri yang
berbaju tambalan aspal. Seperti mimpi, perilaku mereka bukanlah kosmetik. Saat
itu media tidak semasif sekarang yang memberikan berita bak daun yang jatuh
dari pohonnya. Tapi kita melihat begitu banyak contoh nyata sebuah
kesederhanaan perlu saat ini tanpa mengutuk kekayaan yang memang penting dan
perlu.
Untuk itu Indonesia mengajar, adalah gagasan yang brilian
ditengah kacauanya narasi yang muncul dari pemimpin yang tumpul kita harapkan energi
positifnya. Pemimpin hasil demokrasi procedural adalah petaka bagi rakyat yang
memang telah diajari korupsi lewat suap lima tahunan. Indonesia mengajar adalah
bentuk kepedulian kita terhadap tata etika, kebenaran nilai dan sikap memberi
pencerahan kepada siapapun. Mengajar apapun tentang kebaikan, fatsoen, local
wisdom, mencipta seni, budaya, ekonomi dan kebenaran politik bukan
pembenaran-pembenaran hal yang utama. Kewajiban mengajar tidak hanya kita timpakan
pada Guru dan Dosen. Kewajiban mengajar adalah panggilan jiwa bagi siapapun. tanpa
menegasikan pada suatu hal untuk apa dan kepentingan siapa? Karena mengajar
adalah amanat menuju pencerahan bersama. Entah itu bernama Sekolah, Ngaji,
Tarjih, Yasinan, halaqoh, Kongkow2, yang pasti dimana dan apapun namanya
aktivitas mengajar adalah hal yang substansi di era Negara Indonesia yang serba
nir Sosial. Kalau zaman Soekarno mengawali negeri ini saja dengan optimis maka kita
harus lebih optimis untuk mengajar dan memberi pencerahan. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
(QS. An Nisaa : 58) Tuhan telah mengajari kita, selanjutnya kita harus mengajar dan yang mewariskannya ke anak cucu!
.
.
0 komentar