Oleh : DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa
Sekolah Pascasarjana
Universitas
Gadjah Mada
Perdebatan panjang Sarekat Islam (SI) yang kelak pecah
menjadi SI merah dan putih adalah prinsip ideologi Islam dan Komunis yang
memang hadir dan terus bergulat didalamnya. Bagi Founding Father seperti HOS Tjokroaminoto
yang memiliki kedalaman ilmu Islam, sosialisme adalah karakter filantropi
(kedemarwanan) sebagai seorang muslim yang peduli pada bentuk kemiskinan,
ketidakadilan, ketimpangan sosial dan penjajahan yang kejam saat itu. Jadi
ideologi Islam dan Sosialis ini tidak menjadi masalah, karena keduanya akan
menjadi alat perjuangan yang sama dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sarekat Islam yang berawal dari kumpulan para pedagang yang membela kaum lemah
akhirnya bermetamorfosa menjadi gerakan Islam besar saat itu dan menjadi
ketakutan bagi Belanda. Karakter Islam Sosialis yang dibawa oleh Hos
Tjokroaminoto memang menjadi relevan untuk digaungkan saat itu atas
kebenciannya terhadap Imperialisme, Kolonialisme dan Kapitalisme yang sangat
menyengsarakan rakyat.
Namun di sebagian anak
didiknya kelak, Sosialisme dalam tubuh SI berubah menjadi merah komunis dan
semakin progresif membangun aliansinya sendiri. Dengan semangat para kaum
proletar, dan sokongan dari Uni Soviet, sosialisme di Indonesia semakin memberi
warna perjuangan yang lebih radikal dan anti terhadap Agama. Namun juga tidak
dapat digeneralkan bahwa para anggota Partai Komunis Indonesia meninggalkan
agamanya. Untuk konteks Indonesia, PKI adalah partai yang besar dan nilai
religi masih dianut kuat oleh para anggota. Hanya saja cara-cara perjuangan
kelas gaya Marx-Engel menjadi titik tolak perjuangan mereka. Di panggung rapat
Sarekat Islam itu, Muso –kelak menjadi tokoh Partai Komunis Indonesia– berdiri,
kokoh. Dia melihat para anggota rapat, tersenyum.
“Saudara, saudara, seperti apa orang yang berjanggut itu,”
tanyanya.
Para peserta seperti kaget. Tapi, mereka menjawab juga.
“Kambing!”
“Lalu, seperti apa orang yang memasang kumis,” tanya Muso
lagi.
“Kucing!”
“Terimakasih.” Muso tergelak, lalu turun dari podium.
Kemudian, seorang lelaki kecil, berjanggut panjang,
berkumis, naik podium. Dia tersenyum sebentar pada peserta rapat. Mengelus
janggutnya, berdehem, dan bertanya,
“Tahukah Saudara, seperti apa orang yang tidak berkumis dan
berjanggut?”
Koor jawaban pun bergema. “Anjing!”
Lelaki berjanggut itu tersenyum. Kemudian meneruskan
pidatonya, menjelaskan agenda Sarekat Islam dalam menghadapi politik
kolonialisasi Belanda. Dengan cerdas Laki-laki berjanggut itu menghadapi
perdebatan dengan kemenangan. Agus Salim adalah laki-laki tersebut, seseorang
yang kelak menjadi juru diplomat terhadap bangsa-bangsa Timur Tengah untuk
mendukung kemerdekaan Indonesia bersama Syahrir dan kawan-kawan. Agus Salim
adalah orang yang sangat pandai membalas perdebatan-perdebatan panjang para
tokoh yang dinilai merongrong agenda Islam. Namun kita baru menyadari kelak
Agus Salim bukanlah orang yang terlalu sibuk dengan kostum dan komestik Islam
dalam perjuangan Islamnya. Dirinya adalah Islam yang memberi rasa tenang dan
nyaman pada manusia yang lainnya. Sikap hidup yang sederhana tanpa ada upaya
menumpuk kekayaan sudah sangat inheren
pada pribadi Agus Salim. Selain itu tidak semua orang tahu bahwa tokoh yang
mampu berkomunikasi dengan 9 bahasa ini terbiasa hidup dengan mengontrak rumah,
bahkan rumah kontrakannya di gang sempit menjadi saksi setiap hari Agus Salim
harus terbiasa menaiki sepeda tuanya. Jika hujan sepeda itu diangkat di atas
kepala, jika tidak hujan dan tanah kering sepeda dia naiki. Bukan karena tidak
bisa baginya menghadirkan kesejahteraan, namun sangat tidak arif jika masih
banyak rakyat miskin, buta huruf, berpakaian goni pemimpinnya hidup di rumah
mewah bagai raja dikelilingi budak.
Baginya Islam perlu melakukan pembaharuan perjuangan, agar
mampu melawan belanda dengan kecerdasan bukan hanya dengan berdoa mendapat
mukjizat keajaiban dari Tuhan. Perdebatannya dengan Muso yang sudah mengarah
pada penghinaan fisik juga dihadapinya dengan lantang dan cerdas. Bahkan
balasannya atas majas-majas Muso yang menyindirnya dengan binatang “Kucing dan
Kambing” dibalas dengan santai dan menohok, yang disambut oleh para anggota
dengan jawaban “Anjing”. Konflik podium tersebut adalah perdebatan “Fabel
Politik” yang paling liberal karena kelak Sarekat Islam pacah menjadi dua
dimana SI Merah adalah Komunis dan SI putih adalah Islam. Sebenarnya Agus Salim
adalah orang yang memiliki empati terhadap kesusahan fisik tapi dia sangat
tajam menghujat kepicikan fikir yang terlontar dari para pejuang saat itu yang
terlalu apriori dengan Islam dan perlawanan Penjajahan. Sikap Agus Salim yang
mampu menjadi lawan tanding bagi para tokoh kiri adalah buah dari pemikirannya
yang selalu progresif menjawab tantangan Pan-Islamisme (gerakan pembaharuan
Islam).
“Jarang ada yang mau menghadapi Agus Salim dalam berdebat.
Ia amat ahli berkelit, bernegosisi, dan lidahnya amat tajam kala mengecam,”
ucap Mohamad Roem, rekan Agus Salim semasa aktif di Jong Islamieten Bond. Roem
sangat memahami kapan dan bagaimana Agus Salim bersikap terhadap
masalah-masalah ke-Indonesiaan yang berubah-dan terus berubah. Agus Salim bukan
hanya sosok pejuang Islam, tapi dia termasuk intelektual zaman itu yang sangat dihargai
didunia Internasional. Sepak terjangnya yang selalu totalitas terhadap
kebenaran membuat Agus Salim disegani lawan dan disenangi lawan. Tidak ada
dalam diri Agus Salim sebuah sikap yang membuat kawan perjuangannya merasa
terbebani. Beberapa kali dibuang di pengasingan tidak membuat Agus Salim mati
gaya untuk terus menyadarkan rakyat arti penting kemerdekaan. Pak Tua itu-pun
pada akhirnya masih sempat merasakan dibuang di Muntok, Bangka Belitung bersama
Soekarno dan M Hatta akibat dari propaganda-propaganda yang mereka lakukan
untuk mengajak seluruh intelektual dan pejuang saat itu mempertahankan
kemerdekaan diseluruh Nusantara. Sungguh perjuangan yang melelahkan dimana
Proklamasi 17 Agustus 1945, namun tahun-tahun sesudahnya Indonesia berjuang
keras untuk mengusir Penjajah yang masih saja ingin menguasai Indonesia.
Foto ini dibuat sekitar tahun
1947. Dua tahun kemudian Bung Karno dan Agus Salim ditangkap Belanda dan
dibuang ke Bangka.
0 komentar