Oleh :
DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Sejarah persahabatan Bung Karno dan
Agus Salim sangatlah panjang. Sebagai anak didik Hos Tjokroaminoto, Bung Karno
sangat idealis terhadap nilai-nilai teguh untuk anti terhadap Imperalisme dan
Kolonialisme. Tjokroaminoto sebagai Pemimpin pertama Sarikat Islam (SI) adalah
guru sekaligus mertua (dari Istrinya Oetari) yang sangat dikagumi Bung Karno.
Demikian pula dengan Agus Salim sebagai pemimpin kedua pengganti Tjokroaminoto
di Sarekat Islam. Agus Salim adalah orang tua yang mau bekerjasama tanpa merasa
senioritas di mata pejuang muda seperti Bung Karno dan lainnya. Bahkan kita
juga melihat bahwa Bung Karno dan Agus Salim sama sama di buang di Muntok, di
Bangka Belitung.
Setelah serangan Belanda ke
Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948, Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana
Menteri Mohamad Hatta dan sejumlah menteri kabinet RI ditangkap. Dan pada
tanggal 22 Desember mereka dibawa ke Sumatera. Setelah rombongan Hatta
diturunkan di Pangkalpinang, pesawat bomber B 25 pengangkut tawanan itu
meneruskan penerbangan ke barat. Kemudian mendarat di Polonia, Medan, Di situ
pejabat-pejabat Belanda sudah menunggu para tawanan penting itu yang terdiri
dari Soekarno. H. Agus Salim dan Syahrir, yang langsung dibawa ke Berastagi.
Soekarno dan Agus Salim diasingkan oleh Belanda ke Bangka, setelah sebelumnya
diasingkan di Berastagi dan Prapat, Sumatera Utara. Dari Prapat, Soekarno dan
Agus Salim diterbangkan dengan pesawat amfibi Catalina menuju perairan Pangkal
Balam, Bangka. Kejadian itu terjadi pada tanggal 5 Februari Soekarno dan Agus
Salim dipindahkan dari Prapat. Mereka dibawa ke Muntok, Bangka; terpisah dari
Hatta dan tahanan lainnya yang ditempatkan di Menumbing.
Bung Karno bercerita:
"Berastagi berarti mengalami kehidupan Bengkulu lagi. Hanya ada beberapa
perbedaan. Satu: mereka tidak menamakannya pengasingan. Sekarang istilahnya
'penjagaan untuk keselamatan'. Dua: kami dijauhkan dari istri kami. Dan tiga:
kami berada di dalam lingkungan kawat berduri dua lapis dan antara rumah kami
dengan kawat berduri enam orang pakai senapan mondar-mandir secara bersambung.
Wanita yang memasakkan kami senang kepadaku. Di sore hari kedua kami di sana,
dia menyelundup ke kamarku dengan gemetar ketakutan. 'Pak' katanya menggigil,
"Saya tadi menanyakan, apa yang akan saya masak untuk Bapak besok dan
opsir yang bertugas menyatakan, Tidak perlu. Soekarno akan dihukum tembak besok
pagi.' Malam itu penakluk kami menyadari, bahwa Berastagi tidak bisa
di-pertahankan. Tiba-tiba berhembuslah perubahan yang besar dalam rencana dan
esok paginya di waktu subuh mereka memindahkan kami. Belanda juga tidak
menyediakan waktu untuk membunuhku. Berangkatlah rombongan orang buangan menuju
Prapat yang ter-letak di pinggir Danau Toba. Semenjak aksi militer pertama
Belanda telah menduduki daerah semenanjung kecil ini, yang ditumbuhi oleh pinus
yang segar baunya dan sejak itu tetap bertahan di sana. Sebelum perang tempat
ini telah dipergunakan sebagai tempat istirahat orang Belanda. Rumahnya indah
dan cantik. Dan rumah kami letaknya di ketinggian di ujung semenanjung di atas
tebing yang curam menghadap ke danau. Sangat indah pemandangan itu. Pun sukar
untuk dimasuki. Di tiga sisi dia dikelilingi oleh air. Di belakang rumah adalah
daratan dengan jalan yang berkelok-kelok."
Agus Salim! Orang tua itu begitu
tegar, diusia senjanya senyuman seorang revolusioner masih hinggap di raut
bibir menyela di Jenggot dan kumisnya. Ratapannya yang sumringah tidak
mencirikan pejuang yang lemah. Tanpa mengeluh pembuangannya bersama Soekarno di
Muntok adalah bentuk strategi baru yang dimanfaatkan para tokoh ini untuk lebih
dekat dengan masyarakat Sumatra. Kita juga melihat bagaimana sebelumnya Bung
Karno juga menjadi anggota Muhammadiyah di Bengkulu dan mengajar di sana dengan
syarat tidak boleh menyinggung politik. Maka demikian ketika Bung Karno dan
Agus Salim di buang di Muntok mereka malah semakin dekat dengan masyarakat
kecil.
Belanda menempatkan Bung Karno di
Pesanggrahan Muntok atau dikenal Wisma Ranggam, tak jauh dari pelabuhan Muntok.
Pelabuhan ini menjadi saksi sejarah eksploitasi Belanda terhadap kekayaan dari
perut bumi pulau itu. Di sudut belakang wisma itu, Bung Karno menempati kamar
berukuran 5,5 x 4 meter. Kamar Presiden lebih kecil dari kamar Menteri Luar
Negeri Indonesia Agus Salim. Agus Salim menempati ruangan 6 x 4 meter yang
bersebelahan dengan kamar Bung Karno. Keduanya menempati ruangan di bangunan
utama. Dua tokoh lain yang juga diasingkan di Pesanggrahan Muntok, Ali Sastro
Amidjojo dan M Roem, menempati ruangan di sayap depan. Ukuran kamar mereka
tidak berbeda dengan kamar Bung Karno. Kamar Bung Karno, selain dekat dengan
teras belakang, juga bersebelahan dengan ruang tamu utama. Di tempat itulah,
konsep perjanjian Roem-Royen dibahas. Terkait perjanjian itu, banyak diplomat
asing mondar-mandir ke Pesanggrahan Muntok. (http://www.bangkabaratkab.go.id/node/790)
Di masa perjuangan kemerdekaan,
ketika para pemimpin bangsa terlibat dalam pergolakan pemikiran, Bung Karno dan
H. Agus Salim, sudah sering berpolemik panjang lebar soal poligami. Pada
beberapa tulisannya, Bung Karno tampak tidak setuju lelaki berpoligami karena
dianggapnya sebagai perendahan harkat dan martabat kaum perempuan. Sebaliknya
Agus Salim setuju karena pengertian beliau yang mendalam mengenai hal ini.
Namun, beberapa tahun kemudian, Bung Karno ternyata mengambil banyak istri
banyak sementara Agus Salim tetap beristri satu. Namun demikian persahabatan
mereka tetap terjalin karena mereka telah lama solid di pembuangan di Bangka.
Soekarno walaupun poligami, adalah seorang laki-laki yang bertanggungjawab
karena semua dinikahi. Soekarno memang seorang Don Juan namun diri soekarno
bukanlah seorang playboy picisan.
Soekarno sangat menghormati Agus
Salim sebagaimana dirinya menghormati Hos Tjokroaminoto. Mereka adalah sosok
panutan saat muda Soekarno sekaligus pemimpin besar Organisasi SI saat itu. Dua
tokoh yang memiliki pandangan visi sama tentang perlawanan Islam sosialisme.
Walaupun awalnya Agus Salim ditugaskan Belanda untuk memata-matai Tjokroaminoto di SI akhirnya Agus Salim menjadi sosok yang
benar loyalis terhadap SI dan menjadi pejuang bersama Tjokroaminoto. Di tampat
pengasingan dua tokoh yang berbeda umur itu merajut ketegaran dalam perasaan
was-was antara hidup dan mati. Rakyat begitu mencintai Soekarno, Agus Salim, Hatta,
Sjahrir dan lainnya. Agus Salim orang tua yang begitu cerdas dalam
strategi-strategi diplomasi kenegaraan menjadi Guru sekaligus kawan bagi
Soekarno di pengasingan.
"The Grand Old Man" Haji
Agus Salim adalah seorang ulama dan intelek. Saya pernah meneguk air yg
diberikan oleh beliau sambil duduk ngelesot di bawah kakinya. Saya merasa
bahagia bahwa saya ini dulu pernah dapat minum air pemberian Tjokroaminoto dan
air pemberian Agus Salim.” (Bung Karno)
0 komentar