ANAK-ANAK
ROHANI
Oleh
: DHARMA SETYAWAN
“Kalau kaum politik tidak mengindahkan
kepentingan rakyat, mestilah kaum penulis mengindahkannya.” (Pramoedya Ananta
Toer)
Asap-asap rokok itu begitu tebal memenuhi ruangan yang penuh
dengan rak-rak susunan berjilid-jilid kertas. Di ruangan itu berserakan buku
dan tulisan-tulisan lamanya walaupun dia tahu umur membuatnya kualahan untuk
membuatnya seperti masa muda yang tekun dan mencandui bacaan-bacaan. Maklum
kini umurnya sudah sangat tua dan seringkali matanya meneteskan air mata karena
tidak mampu lagi membaca, kekuatan tangannya pun semakin lemah sehingga tidak
mampu untuk menulis. Di ruangan itu ada meja dan kursi, di atas meja ada mesin
ketik usang yang dengan itu dirinya menghasilkan puluhan karya hingga
melambungkan namanya di jagad sastra dunia. Tahun 1999 itu begitu sengit
mengingat keadaannya yang hanya bisa sesekali komentar atas kacaunya Negara ini.
Yang bisa dilakukan hanyalah mengkliping Koran yang sampai panjangnya 7 meter.
Dan kelak gagal karena 2006 usianya 81 tahun sudah bertemu dengan ajal.
Wajahnya yang renta dan kulitnya yang semakin lembek
pertanda dunia sudah lama digeluti. Terlalu lama hidupnya dihabiskan di dalam
jeruji besi. Namun sangat diyakini jiwa Pramoedya Ananta Toer telah mengembara
puluhan tahun ke negeri nusantara zaman Arok Dedes di belawan Jawa Timur. Lewat
karya ini Pram seakan menggugat tradisi jawa yang penuh dengan sejarah
berdarah-darah dan bentuk nyata kudeta politik yang menyeramkan. Cerita
panjangnya dalam karya Arok Dedes ini menjadi imajiner Pram sebagai orang yang
memahami betul konteks kebangsaan Indonesia, karakter masyarakat jawa yang
menjadi mayoritas dan pemahamam holistik tentang Indonesia yang belum bersapa
dengan proklamasi kemerdekaan.
Saat akhir orde lama dan dimulainya orde baru sikap represif
angkatan darat begitu pahit memperlakukan Pram. Sedikitpun Pram tidak membenci
Soekarno, dia begitu yakin Soekarno adalah orang baik. Popor senjata yang tiap
hari menindas kepalanya di penjara Buru adalah murni kekejaman angkatan darat yang
menjadi antek-antek imperalisme modern. Namun Pram muda tetap Bengal dan terus
melakukan perlawanan-perlawanan terhadap otoritarianisme. Perlawanan itu
semakin kencang dengan tulisan-tulisan yang dihasilkan lewat penjara Buru.
Pram tidak pernah takut dengan ancaman, penjara Buru tidak
mampu memaksanya diam. Kebencian Pram terhadap otoritarianisme membentuk
pribadinya sebagai pendobrak lewat narasi. Pram juga manusia yang rumit, sejak
kecil hingga umur 28 tahun, jika dirinya membenci sesuatu dia tidak mampu
melawan dengan kata-kata. Untuk itu dia hanya mampu melawan dengan
menuliskannya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk ke Belanda merantau ke negeri
yang menjajah Indonesia 350 tahun lamanya. Pengalaman di Belanda inilah yang
diyakini telah mewarnai sebuah cerita, karya monumentalnya yang menjadi bagian
dari tetralogi buru “Bumi Manusia”. Aktor Minke dan Annelise begitu hidup dan
memprovokasi pemikiran para pembaca untuk merasuk dalam kehidupan pra
kemerdekaan. Minke adalah kisah nyata seorang jurnalis pribumi Indonesia
pertama R.M. Tirto Adi Soerjo, sebelum menulis “Bumi Manusia” Pram mendongengkan
cerita minke pada sesama tahanan di Buru. Namun 10 tahun kemudian, Pram berada
pada pengelihatan dunia internasional. Penjara Buru memang kejam dan penuh dengan
penyiksaan. Pram kemudian dihadiahi oleh penulis Prancis Jean Paul Sartre
sebuah mesin ketik baru. Faktanya, mesin tik baru tidak pernah diberikan kepada
Pram. Angkatan Darat telah menggantinya dengan mesin tik rusak, yang pitanya
harus dibuat sendiri oleh para tahanan itu dengan bahan seadanya. Karya
Tetralogi Buru juga hampir saja tak dapat diselamatkan seperti banyak
karya-karya Pram lainnya yang dibakar oleh tentara. Tetapi jasa-jasa orang
asing seperti seorang pastor Jerman dan seorang warganegara Australia bernama
Max Lane yang berhasil menyelundupkan keluar dan akhirnya menerbitkan Tetralogi
Buru itu di luar negeri.
Pram pernah berkata, "Karya saya sudah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, tapi saya tidak
pernah dihargai di dalam negeri Indonesia." Bumi Manusia (1980; 1981),
Anak Semua Bangsa (1981; 1981), Jejak
Langkah (1985; 1985), Rumah Kaca (1988; 1988) adalah Tretalogi Buru yang
membuatnya melambung nama di jagad sastrawan dunia. Dipenjara buru Pram sangat
menderita, bahkan usia tuanya diyakini akibat berkah kerja paksa yang
dialaminya saat di penjara Buru. Setiap hari Pram mencangkul, rezim represife
telah meremukkan dan merenggut kebebasannnya sebagai warga Negara. Tuduhan
orang komunis PKI melekat padanya seolah Pram adalah warga yang mengancam
keutuhan NKRI. Memang Pram aktif de LEKRA (lembaga kesenian rakyat) sebagai
sayap gerakan PKI, namun Pram bergabung di lembaga tersebut untuk memberi teladan
bahwa seni harus hadir untuk rakyat. Suara seni adalah suara jeritan,
perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang sama kejamnya seperti
imperalisme. Kekuasaan apapun bentuknya jika tidak diberikan pada pemimpin amanah
akan menghancurkan keadilan dan membangun tirani. Begitulah Pram, para
sastrawan yang tidak mau membawa seni untuk meneriakan perlawanan baginya
adalah omong kosong. Hantaman popor senjata yang menghampiri kepalanya telah
berimbas pada berkurangnya pendengaran Pram. Kakek Pram dalam usia tua tetap
semangat dan tanpa putus asa menyeruakan kebenaran-kebenaran sejarah.
Kebenciannya terhadap angkatan darat yang telah menyiksanya, membuatnya
melawan dengan tulisan-tulisan. Karya sastra itu menyemburat kehidupan, “Bumi
Manusia’ yang penuh dengan eksploitasi, rasisme, otoritarian, dan
pengekangan-pengekangan rezim hingga berdarah-darah.
Karya-karya itu hidup untuk mengatakan yang sebenarnya
kepada masa depan tentang masa lalu yang penuh dengan narasi palsu. Pram
berucap “Mereka (tulisan) itu adalah
anak-anak rohani yang keluar dari jasad saya. Anak-anak rohani itu ada yang
mati muda dan ada yang masih hidup sesuai dengan umur zamannya”. Karya
Kakek Pram memang ada yang mati muda akibat dibakar oleh angkatan darat,
setidaknya 9 karya yang dibakar dalam bentuk naskah ketikan. 38 Karya Kakek
Pram telah diterjemahkan ke puluhan bahasa asing. Tulisan-tulisan yang masih
hidup itu pun sekarang dapat kita baca sebagai buah fikir dan juga anak-anak
rohani yang mengajak kita bercengkerama kembali dengan nurani kemanusiaan yang
semestinya. Nilai-nilai keadilan, kebenaran, ketulusan dan perjuangan yang
membangun sisi humanism absolute. Bahkan ada karya Kakek Pram yang ditemukan di Pasar senin dan berhasil diselamatkan dalam bentuk masih naskah ketik.
Total karya Pram disinyalir sekitar 200-an. Namun banyak
karya Pram menjadi anak-anak rohani yang berumur pendek. Akibat rezim yang
terus melarang beredarnya buku-buku Pram yang mereka anggap berbau Marx,
Komunis, PKI dan lain sebagainya. Namun zaman tetap memintal kebenarannya, walau
Pram sudah tiada, saat ini Karya Tetralogi Buru tetap menjadi bacaan yang mampu
memenuhi took-toko buku. Hampir saya keliling di sejumlah toko buku di
Jogjakarta, karya Pram berjejer seakan menyombongkan diri untuk mengatakan pada
orang-orang orde baru. “Hai…penghianat lihatlah walau aku sudah mati, anak-anak
rohaniku masih gagah mengatakan tentang kemanusiaan, tentang keadilan, tentang
Indonesia yang selama ini kau injak nuraninya dan kalian ganti dengan perilaku
tiran”.
“Dia selalu bilang
pada anak-anak itu : kalau mati dengan berani, kalau hidup dengan berani. Kalu
keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita” (Pramodya
Ananta Toer)
1 komentar
uapikkkkkk
BalasHapus