Oleh : DHARMA SETYAWAN
Ketua Komunitas Hijau dan Mahasiswa Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana UGM
Primordial
selalu hadir dalam rintih-rintih perdebatan panjang. Selalu tiba dalam
gesekan-gesekan pemikiran. Perilaku yang tidak humanis dan tidak seiya
dengan golongan umum dipandang sebagai sikap primordial. Hantaman dan
stigma primordial itu mudah hadir sebagai bentuk sikap kekanak-kanakan.
Primordial pun kemudian laksana kiblat bagi mereka yang membawa misi
kelompok daerah, kelompok ideologisnya, tajam menghakimi mayoritas dan
selalu anarkis di setiap tragedi. Sikap Primordial juga sering disebut
perilaku negatif setiap gerakan, baik individu, golongan bahkan kelompok
agama. Perilaku negatif faktanya sering mudah dituduh primordial jika
ngotot dengan pendapatnya. Sayang primordial dinilai sebatas itu,
primordial dinilai sepihak oleh orang yang terlalu membenci pendapat
kelompok yang berbeda dengan pendapat mayoritas. Sialnya lagi cap
primordial muncul tanpa melihat pendapat itu baik atau buruk dalam hal
maslahat bukan untuk membenarkan kesalahan yang mungkin juga dilakukan
mayoritas.
Memandang negatif sikap primordial menjadi
tradisi kita semua. Bagi mereka yang terus mengangkat tradisi hanya pada
kaumnya, primordial langsung disematkan. Mereka yang selalu menolak
pemikiran maju stigma primordial lahir tanpa filter. Mereka yang
mewarisi ajaran nenek moyang mereka, yang sebenarnya arif sering disebut
primordial. Memandang primordial dalam kacamata negatif pada prinsipnya
tidak akan mampu mengubah perilaku sebuah kelompok. Primordial itu bisa
jadi sebuah kearifan juga bisa sebuah kekolotan. Mereka yang tidak
patuh pada pendapat mayoritas menjadi salah kaprah dan tidak punya nyali
untuk menentang. Primordial pun sebenarnya lahir dengan kesepakatan
bersama oleh kesepakatan kelompok bukan individu yang menentukan
kesepakatan. Maka kita pun bisa salah dan menjadi berfikir primordial
manakala ucapan individu yang kita anggap primordial. padahal sebenarnya
pendapat individu tersebut bukan kesepakatan kelompoknya. Lebih
tepatnya hal itu adalah pendapat kolot individu yang telah merugikan
kelompoknya tapi sudah kita hakimi sebagai pendapat primordial kemompok
tersebut.
Primordial sebenarnya dapat tumbuh dimanapun,
dalam diri kira, dalam keluarga kita, dalam masyarakat kita, dalam agama
kita dan dalam negara kita. Namun bisa jadi Primordial adalah local wisdom
(kearifan local) yang selama ini terpinggirkan oleh arus modernisme.
Primordial akan baik jika si pembawa sikap primordial hadir dalam ruang
positif sehingga primordial tidak harus dipandang negatif. Indonesia
adalah negara yang sudah letih dipenuhi ruang-ruang primordial. Karena
sikap para pendahulu yang membawa primordial suku dan etnis dalam ruang
positif, maka Indonesia lahir dan hadir sebagai negara yang diakui.
Primordial mereka manfaatkan menjadi sebuah kekayaan fikir dan menjadi
pemantik kebangkitan bersama sebuah bangsa. Sehingga primordial tidak
menjadi ancaman tapi menjadi semangat ditengah perbedaan.
Dalam epistimologi, Primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri
yang artinya tenunan atau ikatan. sehingga Primordialisme adalah sebuah
pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak
kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala
sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Kita harus selektif dan
menilai secara nurani, mana yang primordial positif dan mana yang
primordial negatif. Kita sering terjebak dengan ikut-ikutan memberi
stigma primordial pada kelompok yang berbeda dengan mayoritas. Padahal
bisa jadi hal tersebut sesuai dengan ajaran baik jika dipandang secara
nurani. Dalam banyak kasus kita memandang adat istiadat sebuah daerah
yang tidak sama dalam konteks kenegaraan adalah primordial. Sehingga
negara menjadi ukuran untuk menentukan mana yang harus dipilih
primordialkah atau sikap kemajuan kita berfikir.
Kita
sebaiknya mulai berfikir dan memaknai primordial sebagai bentuk
kesepakatan kearifan yang lahir dari budaya-budaya baik. Sehingga
adat-istiadat kita tidak luntur hanya karena pragmatisme semata. Sudah
banyak budaya kita yang kita anggap primordial dan lebih membela budaya
negara yang asalnya tidak jelas bahkan dari negara antahbarantah. Maka
kita tidak heran jika hari ini primordial yang di stigmakan pada adat
istiadat kita menjadi pandangan negatif, dan menjadi boomerang bangsa
ini karena malu untuk memakai kembali local wisdom yang negara lain anggap sebagai primordial negatif.
Orang-orang
dimasa lalu ternyata lebih mengetahui dan lebih arif bagaimana mereka
berinteraksi dengan sesama manusia, dengan binatang dengan lingkungan
dan dengan siapapun tanpa kepentingan yang berubah menjadi sosok
pemangsa. Pada alam sikap primordial positif sangat perlu kita tumbuhkan
mereka yang memandang alam sebagai kawan hidup akan mampu menghargai
dengan tidak mengeksploitasi secara berlebih. Nenek moyang telah lama
berkawan dengan gajah, orang utan, harimau dan lainnya. Mereka berkawan
dengan laut, ikan, tumbuhan, pohon dan memanfaatkannya secara cukup dan
tidak berlebih. Mereka ini adalah orang yang menjadikan sikap primordial
dengan cara positif bahwa aturan yang muncul dari kepercayaan, adat
istiadat harus dijaga untuk kemaslahatan.
Orang-orang
masa kinilah yang telah menerapkan berfikir primordial secara negatif
bahkan mereka hadir melembagakan diri sebagai partai politik, negara,
bahkan korporasi yang rakus. Mereka menjarah alam ini tanpa menghargai
adat istiadat masyarakat yang sudah sejak beratus-ratus tahun mendiami
wilayah tersebut dengan sikap primordial positif. Nenek moyang telah
hidup rukun beratus-ratus dengan alam tanpa ada bencana banjir, tanah
longsor, kerusakan tanah dan hancurnya ekosystem laut. Tapi sejak
datangnya manusia yang modern atas nama kemajuan mereka hadir dengan
primordial negatif dan merusak segalanya. Sikap eksploitasi yang
mendekati sifat predator ini kemudian tidak hanya menghancurkan
lingkungan alam tapi juga menghancurkan kehidupan manusia yang sudah
sejak lama tinggal tanpa ada bencana seperti hari ini.
Kita
harus sadar bahwa sikap modern yang selama ini kita banggakan adalah
sikap primitif yang lebih parah dan merupakan wujud sikap primordial
negatif yang sebenarnya kejam. Primordial dalam bentuk
kesewenang-wenangan, primordial dalam bentuk undang-undang, primordial
dalam bentuk regulasi yang penuh kepentingan korporasi dan yang parah
primordial untuk menyenangkan negara lain. Kita harus mengakui kebodohan
dan ketidak tahuan kita tentang bagaimana dan seperti apa kita harus
hidup bersama alam. Kita harus banyak belajar dan menggali kearifan
lokan (local wisdom) masyarakat adat kita yang dulu terbukti
lebih humanis dan sangat mengerti bagaimana menggunakan sikap primordial
secara positif. Bukan hanya dengan retorika dan teori-teori akademis
barat yang tidak jelas. Saya kemudian teringat bahwa Ali mengatakan
“Annasu a'dau ma jahilu..(manusia itu menjadi musuh terhadap apa yang ia
tidak ketahui).
0 komentar