Oleh
: Dharma Setyawan Amatya
Orang
banyak mengatakan bahwa Muhammad jujur. Walaupun ajakannya untuk menyembah Allah banyak
yang menolak. Sekelumit peristiwa tidak cukup mengungkapkan kebenaran yang
terpatri dari dirinya. Bahwa selama ini orang-orang telah salah menyembah
Tuhan. Di bangunnan kubus peninggalan Nabi Ibrahim itu banyak terdapat
patung-patung yang disembah oleh orang-orang Qurais. “Jujur”, sekali lagi
menjadi pembanding bagi orang-orang yang ingin mempercayai sebuah dogma. Mereka
berteriak kesana-kemari, mengancam si jujur yang berani menentang sesembahan
yang ada dalam bangunan kubus. Hanya istrinya Khodijah dan anak kecil bernama
Ali yang mau mengerti apa yang dirasakan orang yang katanya “jujur” tadi.
Kejujuran
memang mahal, kita sangat merasakan sebuah kejujuran yang memang dirasa sangat
pahit. Mahalnya jujur sesuai dengan konsekuensi yang di dapat dari sikap dan
kata jujur yang keluar dari diri kita. Jujur itu apa adanya, dia tidak pernah
mengiba pada kebohongan karena jujur murni dan tidak ada bungkusan suap yang
hadir di sela jujur itu akan terucap. Jujur lebih pada sikap natural, tidak
mengubah keadaan yang terjadi baik itu dikurangi atau dilebihi. Ia laksana air
yang selalu mengalir, jika dipaksa diam air itu akan bau. Begitulah jujur, ia
bahkan seperti api yang memberi rasa panas walaupun banyak yang tidak nyaman
dengan panas yang membakar tapi dia bersikap dengan apa yang harus dilakukan
sebagai karakter api yang memang layak untuk membakar.
Jujur
juga menjadi kebencian bagi mereka yang hidup dengan kepura-puraan. Dalam
kekuasaan. Kejujuran terkadang sulit ditemukan, kekuasaan yang semu membuat
setiap kata-kata yang dia ucapkan bukan kejujuran yang mampu merubah keadaan.
Bahkan retorika yang keluar dari penguasa yang tidak jujur berbanding terbalik
180 derajat dengan apa yang dirasakan rakyat sebenarnya. Penguasa yang tidak
jujur sebenarnya terbebani dan selalu terbayang dengan kepalsuan yang dia
lakukan. Hakekat nuraninya rapuh karena sejak awal berkuasa dia gunakan janji
yang mencirikan tidak adanya kejujuran.
Kejujuran
pun terkikis dengan banyaknya sumbu pragmatisme di sekitarnya yang menyumbat
pemimpin untuk jujur. Sesekali dia ingin membuka kejujuran itu, namun sumbu kebohongan
telah menyumbat fikirannya sehingga dia urung untuk kembali mengatakan
kejujuran. Bahwa negara ini penuh kebohongan, bahwa kekuasaan terlalu kebal
kritik, bahwa dirinya hanya simbol kekuasaan kolektif yang bohong, bahwa
janjinya hanyalah palsu, bahwa kebohongan memang hadir dan di design sedemikian
rupa, bahwa semua ini untuk kepentingan segelintir elit, bahwa kebohongan
dilakukan untuk melindungi status quo kekuasaan.
Kita
harus kembali jujur, bahwa dengan kejujuran kita mempu menegakkan harapan yang
tandus. Kejujuran akan menjadi titik balik perlawanan untuk melawan kebohongan.
Kejujuran akan menjadi retorika tajam di tengah gurun pasir kemiskinan. Kejujuran
akan menghardik keras siapa yang sebenarnya paling pragmatis dan berperilaku
elitis. Retorika kejujuran ini akan mencabut sumbu-sumbu kebohongan yang
membungkus kejujuran pemimpin. Maka kejujuran menjadi bekal pertama untuk
membangun kembali pranata sosial yang selama ini telah rapuh dimakan
kebohongan.
Dengan
retorika jujur, pada akhirnya orang-orang Quraispun menyadari bahwa apa yang
dikatakan Muhammad adalah kebenaran yang hakiki. Kebenaran yang muncul dari
cahaya keabadian. Bahwa patung itu tidak pernah menghadirkan kejujuran. Karena
patung itu dibuat oleh kebohongan, kebodohan dan tipu-menipu. Muhammad
mengajarkan kejujuran sepahit awal dirinya akan mendapat perlawanan. Kejujurannya
harus mengalami lemparan batu kaum taif. Kejujurannya harus rela meninggalkan
negeri mekkah yang sangat dia cintai. Kejujurannya harus dibayar mahal dengan
cacian dan makian.
Tapi
akhirnya takdir membela kejujuran, satu persatu kejujuran itu membuka tabir
kebenaran. Kejujuran itu menyibakkan kemenangan, berbuah persaudaraan, dan
tidak saling memaki tapi saling memberi. Muhammad kembali ke Mekkah dengan 100
ribu pasukan. Dia hadir dengan perdamaian dan orang berbondong-bondong
menyembah Allah yang maha menciptakan dan mengajarkan kejujuran. Mereka
membuang patung di bangunan kubus peninggalan Nabi Ibrahim yang juga jujur.
Muhammad pun datang tidak dengan pertempuran tapi tetap dengan kejujuran,
dengan pasukan dia tida bermaksud mengajak peperangan. Tapi masih tetap mengajak
orang Qurais untuk kembali kepada kejujuran. Mereka tersadar akan sikap
jahiliyah yang lama hadir akibat ketidakjujuran. Kejujuran mengajak kita untuk
semanis dan sepahit menghadapi hidup. Tapi jujur tetap memberi kita yang
terbaik tentang apa yang harus dilakukan terhadap patung yang selama ini tidak
pernah memberi kebaikan pada manusia yang tidak lain adalah pembuatnya.
Semestinya patung itu yang meminta kepada kita untuk diciptakan dengan keadaan lebih
baik. Bukan kita yang memohon kepada patung yang secara jujur tidak dapat
mencelakakan kita. Begitupun ketika kita sadar akan Allah. Kita memohon untuk
diberi keadaan yang lebih baik dengan takdir yang baik. Kita jujur untuk
menjadi lebih baik bukan untuk kebohongan dan sikap berpura-pura.
0 komentar