Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana UGM
Tulisan ini hadir dari hasil
pengamatan di balik ritualisme para aktivis menjalani tradisinya menjanlankan
gerak langkah. Sebelum menuliskan panjang lebar terkait dengan tema di atas,
saya ingin menceritakan seorang kawan mahasiswa baru yang tinggal di sekretariat
(baca : markaz) KAMMI UIN Jogja. Sebut saja namanya Hari, pertama melihat saya
kurang simpati dengan tampilannya yang berambut gondrong, kurus ceking. Walaupun
belum masuk KAMMI, namun siapa sangka dari sekian penghuni markas dia yang
paling rajin membaca dan paling cepat bangun pagi. Beberapa kali saya mengamati
dan mencoba mengenal lebih dekat, sosok Hari memberi inspirasi bagi saya untuk
mengkaitkannya dengan tema tulisan di atas. Hari berasal dari Ponorogo, sempat
berhenti 1 tahun setelah lulus SMA dan tahun ini melanjutkan kuliah di salah
satu Universitas di Jogja. Hari pernah mengatakan ingin membuktikan ekstensi
Tuhan lewat Fisika yang sekarang menjadi fokus jurusan kuliahnya. Yang
membuat saya tertarik dengannya adalah dia mau menahan lapar dan makan sehari satu
kali demi mengumpulkan uang untuk membeli kebutuhan buku. Sesekali pagi sebelum
subuh saya mengintip di kamarnya ternyata dia sudah duduk di depan meja
kamarnya dan kusyuk membaca buku. Kemudian saya masuk dengan alasan membangunkannya
untuk ke masjid sholat subuh.
Cerita di atas hanya sekedar preambul
untuk mengurai permasalahan kusut yang selama ini terjadi pada aktivis gerakan
KAMMI. Dalam hal ini saya mencoba membandingkan antara KAMMI Jogja dan KAMMI
Lampung. Pada point pertama, saya mencoba menggali sejenak bagaimana
masjid menjadi titik tolak perubahan bagi sebuah gerakan. Posisi Masjid sebagai
tempat bertemunya kesadaran Tauhid (monoteisme islam). Dari sanalah
pemikiran genuin tentang perubahan itu dimulai. Maka Masjid menjadi
rumah peradaban pertama yang aman untuk membangkitkan kesadaran kita dalam
banyak hal, BerTuhan, berjamaah, berdiskusi, berta’awun dan lain-lain. Maka
fenomena salah satu Komisariat di Jogja yang masjid kampusnya tidak boleh dilakukan
aktivitas di atas menjadi problem tersendiri karena organisasi gerakan lain
sudah melakukan hegemoni untuk memacetkan kesadaran tauhid para mahasiswa. Mereka
membuat aturan pelarangan masjid untuk tempat diskusi. Kita kemudian tersadar
kenapa Rosul membangun masjid pada awal hijrah di madinah sebagai bentuk
pembangunan Monoteisme Islam.
Kedua, sekretariat (baca :markas), menjadi begitu
penting dimana ketika masjid pada awal tadi menjadi tempat pembangunan Monoteisme
Islam. Markas ternyata menjadi tempat yang nyaman untuk membentuk kader produk
rumah peradaban. Dari beberapa pengamatan yang penulis lakukan baik di
Komisariat KAMMI di Lampung dan Jogja. Fakta menunjukkan bahwa komisariat yang
tidak memiliki markas mereka akan kesulitan mempertemukan ide-ide yang
terkadang muncul dari individu. Ide-ide ini pun kemudian hanya berserakan
karena tidak pernah bertemu pada kutub yang saling memagnet. Komisariat yang
tidak memiliki markas mereka hanya sibuk bertebaran tanpa meneguhkan gerakan
yang sebenarnya memerlukan tabiat berjamaah.
Ketiga media, point satu ini sangat penting dalam
memantik tingkat progesifitas kader dalam menghadapi isu-isu yang berkembang
baik di lingkungan lokal maupun nasional. Setelah Komisariat memiliki markas
semestinya kesadaran bergumul dengan media ini menjadi kebutuhan fundamen. Media
dalam hal ini banyak ragam mulai dari Buku, Internet, Koran bahkan televisi di
tiap sekretariat. Di Lampung sendiri KAMMI Komisariat yang tidak memiliki sense
of information, berakibat pada kurangnya progresifitas kader dalam
meneguhkan gerakan KAMMI. Komisariat STAIN Metro, IAIN Raden Intan dan UNILA
sudah memiliki point di atas dengan Masjid kampus tempat Monoteisme Islam. Kader-kader
komisariat di atas cukup responsife dan tanggap isu. Komisariat di atas
memiliki Markas sebagai tembat diskusi, fasilitas perpustakaan, berlangganan
koran dan lain-lain. Sedangkan di KAMMI Komisariat ZAPA (Zaenal Pagal Alam) baru
sampai pada meneguhkan jati diri di Masjid. Komisariat Zapa belum meliliki
markas dan pada problem selanjutnya adalah kurangnya akses informasi. Yang
lebih memprihatinkan di Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) menikmati kondisi
intervensi oleh statuta organisasi Muhammadiyah, yang melarang KAMMI beratribut
di Kampus. KAMMI UMM bahkan tidak memiliki 3 point di atas Masjid, Markas dan Media.
Media seperti koran sangat penting sebagai informasi up-date kader. Di STAIN
berlangganan 2 koran Tribun Lampung dan Lampung Post dan kader juga sudah mulai
sadar pentingnya kemampuan jurnalistik, begitu juga di IAIN kader-kader
komisariat tersebut cukup masif bermedia. Kalau UNILA tidak perlu di ragukan
lagi karena sebagai kawah candradimuka gerakan di KAMMI Lampung, walaupun sekarang terjadi
permasalahan minimnya angka jumlah perekrutan tapi ini bisa kita diskusikan di
forum lain.
Di Jogja sendiri KAMMI Komisariat UGM
memiliki kelengkapan 3 point diatas Masjid, Markas dan Media, begitu juga di
UNY. Namun pengamatan saya di UIN Sunan Kalijaga menjadi lain, kondisi kader
di sini mengalami berbagai intimidasi baik fisik maupun psikis dimana rezim
lawan belum pernah tumbang. Masjid tidak boleh digunakan aktivitas monoteisme
Islam, bahkan di depan Masjid UIN bertuliskan Labolaturium Agama.
Saya kemudian bertanya apa agama menjadi sebuah penelitian untuk percobaan? Namun
beruntug KAMMI UIN sudah memiliki markas yang saya bilang cukup mewah karena
saya untuk sementara waktu tinggal di komisariat UIN tersebut. Walaupun masih
perlu yang banyak dibenahi dari markas berlantai 2 tersebut, namun kesadaran
untuk bermedia belum muncul di KAMMI UIN. Buku di markas minim
bahkan tidak ada langganan koran untuk bacaan . Kemudian saya yang sekarang
tinggal sementara di KAMMI UIN mensiasati dengan saya berlangganan koran Tribun
jogja yang seharga 1.000 rupiah per koran. Paling tidak ini membuka kesadaran
para kader komisariat betapa sebenarnya mereka butuh informasi baru di setiap hari-hari
mereka yang harus di hadapi. Jika di survei, tingkat kesadaran dan kepekaan kader terhadap bacaan
media antara UGM dan UIN cukup jauh. Ketika saya masuk komisariat UGM buku disana lumayan bermutu dan ada koran kompas. Harapan ke depan KAMMI Komisarian UIN harus berlangganan koran dan minimal menargetkan pembelian buku Mantuba. Kedepan perlu bagi KAMMDA Kota Yogyakarta
untuk memberi Dauroh kehumasan bagi AB 2 sebagai kelanjutan training jurnalistik ketika AB 1. Juga perlu merumuskan kembali manajemen
markas yang di atur oleh KAMMI sehingga yang tinggal di Markas KAMMI UIN adalah kader
KAMMI yang siap membangun gerakan bukan orang lain yang menumpang tinggal di markas.
Kondisi kader di Jogja pun kemudian
terjawab pada tingkat progresivitas gerak. Pada diskusi yang diadakan oleh
KAMMI Komisariat UGM di Jogja Muslim Fair 2011, 3 point yang saya sebutkan di
atas cukup berpengaruh pada pola fikir kader dimana kepekaan kader KAMMI UIN
dan UGM sangat berbeda terhadap realitas politik yang terjadi. Kader KAMMI UIN
cenderung defensif terhadap diskusi siyasi dan cenderung
memainkan peran ke LDK-an pada ritualisme gerakan. Pada diskusi tersebut saya melihat sedikit anak KAMMI UIN yang tertarik untuk hadir dalam diskusi publik tersebut. Pada posisi demikian,
sebenarnya KAMMI UIN tidak menjadi permasalahan namun untuk menghadapi hegemoni
rezim kampus yang sudah berkuasa sejak lama kondisi hari ini masih sangat berat
jika KAMMI UIN ingin memenangkan pertarungan. Pola gerak kader perlu mendapat
gayung hangat dari komisariat lain seperti UGM dan UNY yang lebih siap bergerak
di ranah publik, terkait dengan masifnya komisariat tersebut tanggap terhadap
isu lokal dan nasioanal. Dampaknya pasti terjawab, bahwa komisariat yang sadar
akan bacaan media akan melahirkan kader-kader yang progresif dan tidak defensif
dari sisi isu yang berkembang di sekitar gerakan KAMMI.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk
membandingkan kader antar komisariat tapi bermaksud mensinergikan plaform gerak
KAMMI agar satu sama lain saling melengkapi dan tidak bersifat elitis satu sama
lain. Pada akhirnya seorang kawan bernama Hari tadi mengajarkan kita pentingnya
arti berkorban, bahwa Hari memberi inspirasi pada diri pribadi tentang asupan
otak yang jauh lebih penting dari asupan perut. Hari menyadari dengan dia
menahan lapar dan sedikit memberi kemewahan pada makanan otak jauh lebih
penting dan berakibat pada harapan meningkatnya progresifitas langkah-langkah dakwah
kedepan. Bahkan rutinitas harinya terbiasa dengan makan sekali di angkringan dengan Rp 3000,- / hari. Sungguh angka kebutuhan makan yang sangat kecil untuk menegakkan tulang badannya. Tapi demi media bacaan Hari mau melakukan hal tersebut. Media seharusnya menjadi kebutuhan wajib bagi kader yang sering di
sematkan kata aktivis pada pribadinya. Betapa kemudian kita harus sadar akan
pentingnya Masjid, Markaz dan Media sebagai agregat gerak fundamen yang
seharusnya menjadi capaian-capain komisariat untuk dapat memilikinya. Bahkan
tidak mustahil di kemudian hari rumah peradaban KAMMI se-Indonesia memiliki
bangunan permanen mandiri yang siap mencetak kader-kader yang siap berjalan dengan
system yang baik. Kita berharap kesadaran media kader akan membangun kesadaran media tulis. Media tulis diharapkan akan mampu membangkitkan dakwah publik KAMMI, sebagaimana semangat founding
fathers seperti Soekarno yang dulu pernah mendirikan Jurnal Indonesia
Moeda, M.Hatta dengan jurnalnya Indonesia Merdeka dan Sjahrir dengan
jurnalnya Daulat Rakyat. Media tulis mengingatkan kembali semangat tradisi
penalaran yang pernah di rintis oleh Pemikir negeri ini. Kita pernah memiliki
sosok Buya Hamka sebagai seorang Ulama yang juga sebagai penulis. Kita juga
pernah memiliki M. Natsir sebagai seorang Politikus juga Penulis.Kita harus percaya bahwa system yang baik akan melahirkan
kader yang baik. Semoga!
0 komentar