Oleh
: Dharma Setyawan Amatya
Cinta
itu kata yang ruwet, dengannya kita bisa menjadi hamba dan dengannya pula kita
bisa menjadi tuan. Betapa banyak makhluk yang ingin menjadi pencinta. Ia selalu
menghadirkan makna pengorbanan, tangisan, kerinduan bahkan kekecewaan akibat
cinta yang tidak bersambut. Mencintai juga pilihan, gejolak pikir dan
kegelisahan hati menjadikan cinta berdiri mengakar dibenak hidup para pencinta.
Bukan hanya manusia, Hachiko seekor anjing jepang pun telah membuktikan bahwa
dirinya mampu menjadi pencinta yang tulus kepada tuannya. Hachiko menunggu
bertahun-tahun tuannya pulang di terminal kereta di waktu sore. Walaupun takdir
berkehendak lain bahwa sang tuang telah lama meninggal tanpa diketahui oleh
hachiko.
Hachiko
mengekspresikan cinta tanpa keluhan, tanpa prasangka dan tanpa tendensi bahwa
cintanya akan dikhianati sang tuan. Hachiko adalah gambaran rill sebuah cinta
yang yang selalu memihak dan berharap tuannya pasti akan kembali. Dalam hal ini
Hachiko sampai pada titik kebodohan, nalarnya tak sanggup berfikir karena otaknya
tidak diberi akal. Baginya apa yang dilakukannya adalah kesetiaan yang tiada
akhir. Orang banyak yang ingin menjelaskan bahwa tuannya telah tiada, percuma
dia akan menunggu sampai kematian hachiko tiba. Tapi cinta tetap menjadi alasan
tegar bahwa harapannya takkan pupus walau waktu tidak kunjung berpihak.
Begitulah
hewan ia mampu menjadi pecinta tapi tidak mampu meraih logika cinta. Kesempatan
untuk menjadikan cinta sebagai keberuntungan hanya sampai pada titik
pengorbanan. Cintanya menjadi rumit tatkala organ disekitarnya tak mampu
memberikan pengertian, menginformasikan kesungguhan kebenaran dan membuat
kenyataan apa yang sebenarnya terjadi. Jangankan berdialektika, hewan hanya
mampu menjadi pecinta yang terlalu taklid untuk dimengerti. Tapi setidaknya
cinta hachiko tulus kepada tuannya yang dulu menemukannya dan merawatnya. Bagi
kita manusia, hachiko sudah layak untuk menjadi pecinta tapi tidak cukup cerdas
untuk menjadi pecinta dalam segi love behaviorisme (perlilalu pecinta).
Manusia
lebih holistik, dalam kesempurnaan akal dan hati cinta dapat hadir dalam wujud
rasa dan fikir. Cinta dapat menghujam kedalam dan mendasar pada titik kulminasi
perasaan. Cinta juga sanggup menggerakkan sel-sel semangat sampai mengantarkan
manusia ke gerak revolusi. Cinta manusia memang sulit diukur, tapi cintanya
dapat dirasakan. Sebagai contoh, Cinta orang tua kepada anak tentu sangat besar
dirasakan dan absolut tanpa pragmatisme kepamrihan. Manusia pun banyak sikap,
banyak kata, banyak air mata untuk meraih cinta. Takdir cinta memang tidak
pernah mampu kita raba, tapi kita selalu mengemis penuh harap. Bahkan mungkin
kita terlalu yakin, kita terkadang bodoh, terkadang ambisius sampai keharusan
dibalasnya cinta menjadi titik keseimbangan (equilibrium) bahwa cinta itu tidak
bertepuk sebelah tangan. Sebagai pecinta kita diberi akal yang melebihi
karakter cinta hachiko kepada tuannya. Namun kita bisa terkalahkan jika akal
kemudian membalikkan cinta kita menjadi karma bagi takdir cinta yang tidak
mampu kita raih. Akal kemudian tumpul karena rasa cinta kita terlalu dominan
terhadap siapa yang layak dan harus kita cintai. Akal yang layaknya menjadi
penyeimbang rasa terbungkus oleh dominasi hati dan melupakan alur cinta yang
sesungguhnya.
Jika
cinta kemudian menjadi peluru yang membunuh kita, maka cinta menjadi ancaman
yang pahit. Tapi jika cinta menjadi ketenangan bagi kita maka cinta menjadi
medan juang untuk kita mencari cinta yang lebih kekal dan sanggup mencintai
kita lebih tanpa apapun. Cinta pada diri manusia akhirnya bersandar kepada
logika yang sesunggguhnya bahwa dari sekian cinta yang hadir akal menuntun kita
untuk terus berfikir siapa yang perlu kita cintai dengan hati kita yang paling
tulus.
Jika
akal membisikkan cinta kepada yang kekal maka cinta hanya bersandar sementara
kepada jiwa-jiwa yang tidak kekal. Jika jiwa-jiwa yang tidak kekal menghilang
dan tiada, maka cinta yang berakal akan mencari cinta pembaharu yang dia
tangkap dan direngkuh dengan harapan keabadian cinta. Bahkan cinta sebenarnya
sadar bahwa kenikmatan perasaan cinta itulah yang wajib untuk dicintai. Bahwa
kenikmatan mencintai itu harus dikembalikan kepada yang memberi kenikmatan
mencintai. Bahwa selama ini kita baru menyadari dan salah memberi kekekalan
cinta kita pada yang bukan memberi kita kenikmatan cinta. Kita harus kembali
berlogika dan menjadi pecinta yang cerdas.
Bukan
seperti cinta hachiko kepada tuan yang ternyata tidak menciptakan perasaan
cinta pada diri hachiko. Cinta hachiko hanyalah kewajiban balasan tulus atas
kebaikan tuan yang telah merawatnya. Bukan cinta yang hadir karena tuan
menciptakan cinta. Maka akal menuntun kita untuk mencintai Zat yang menciptakan
cinta dan memberi kita ruang untuk mencari cinta dan berharap cinta itu kekal
tanpa pamrih juga sebagai kewajiban menggunakan dan mengembalikan cinta kepada
pemilik cinta yang sesungguhnya.
0 komentar