Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Ketua Komunitas Hijau / Aktifis KAMMI
Publik tidak selalu identik dengan
rakyat seluruhnya. Ruang publik adalah ranah, diskursif, tempat opini kritis di
ungkapkan. Seorang pejabat boleh jadi di publik mayoritas rakyat, tetapi dalam
banyak kasus bisa jatuh karena opini publik segelintir orang (Yudi Latif).
Nyanyian Nazaruddin semakin memekakkan telinga banyak pihak. Pasalnya
Nazaruddin telah mengetahui akan dijadikan individu yang dikambing hitamkan
dari skandal kasus suap di Sesmenpora. Nyanyian Nazaruddin pun mengarah tuduhan
ke beberapa nama tokoh penting baik di partai Demokrat sendiri dan juga lembaga
lainnya. Sebut saja dari pihak internal partai Demokrat yang terlibat kasus
disebut oleh Nazaruddin yaitu Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, Anjelina
Sondakh dan juga ada dari kepolisian Mantan Kabareskrim Polri Ito Sumardi.
Anas dan Cita Meritokrasi
Saya sangat sependapat
dengan makna meritokrasi yang pernah disampaikan Anas Urbaningrum dalam orasinya Membangun Budaya Demokrasi. Senin, 17 Mei 2010 di Duren Sawit, Jakarta. Anas
menempatkan meritokrasi sebagai agenda terpenting dalam membangun budaya demokrasi. Menurutnya meritokrasi harus dijaga dari polusi
politik uang dan, sebaliknya, meritokrasi yang kokoh akan membentengi suatu
organisasi dari politik uang. Menurut Wikipedia Meritokrasi berasal dari kata merit
atau manfaat, meritokrasi yang sebenarnya menunjuk kepada suatu bentuk
sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi
atau berkemampuan.(lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Meritokrasi). Anas menambahkan, meritokrasi juga akan
melahirkan sejumlah pemimpin yang kompeten setelah ditempa oleh proses dan
memiliki akar dan penerimaan publik. Meritokrasi tidak akan melahirkan orang
kuat yang melampaui sistem dan institusi karena pemimpin yang dihasilkan oleh
sistem meritokratis adalah "primus interpares" atau "yang
utama dari yang setara" sehingga check and balance, baik secara
formal maupun cultural dan dapat
berlangsung dengan efektif.
Anas Urbaningrum sebagai nahkoda
partai Demokrat akhirnya berang ketika Nazaruddin menuduhnya menikmati
miliyaran rupiah di beberapa tender proyek. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin
kembali berkicau. Dari tempat persembunyiannya di Singapura, anggota Komisi VII
DPR itu menyebut adanya kucuran dana untuk menyiapkan Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum sebagai calon presiden pada 2014. Dana yang
dikucurkan kepada petinggi Demokrat itu berasal dari dua proyek di Kementerian
Pemuda dan Olahraga, yaitu pembangunan Wiswa Atlet untuk SEA Games di Palembang
sebesar Rp200 miliar dan proyek pembangunan Ambalang, Jawa Barat, senilai Rp1,2
triliun (sumber : Media Indonesia, 05/07/2011). Lobi-lobi politik pun tetap tidak jauh dari
perselingkuhan terhadap pengusaha. Bencana yang menimpa partai Demokrat lewat
nyanyian Nazaruddin memang muncul dengan beberapa faktor kemungkinan yang
terjadi di partai Demokrat.
Pertama, bahwa Nazaruddin sebagai mantan bendahara umum
partai demokrat adalah salah satu politisi yang berada pada gerbong Anas
Urbaningrum, ketika kongres II diadakan untuk memilih ketua umum partai
Demokrat. Posisi Nazaruddin dipilih sebagai sebagai bendahara umum merupakan
posisi yang sangat strategis dan sangat signifikan dalam maju mundurnya
Demokrat dibawah kepemimpinan Anas Urbaningrum. Sehingga Nazaruddin dalam
hubungannya dengan Anas bukan hanya patner sesama partai tapi merupakan bagian
dari lokomotif kubu Anas yang ikut membantu naiknya Anas dalam tampuk
kepemimpinan Demokrat. Kedua, Bahwa hasil kongres dua mau tidak mau
menyisakan konflik demokrat yaitu terpecahnya kubu Anas dan Kubu Andi
Malarangeng serta Marzuki Ali. Hal ini terlihat ketika pada putaran II Kongres
Andi memberikan suara pendukungnya kepada Marzuki Ali, namun kemudian
kemenangan tetap pada pihak kubu Anas. Dengan adanya kasus yang menimpa
Nazaruddin tentu telah terjadi perbedaan pandangan visi antar kubu di Demokrat dan
kondisi menjadi semakin buyar, apalagi nama Andi Malarangeng ikut terseret
dalam kasus suap yang terjadi Sesmenpora. Ketiga, wacana pemilu 2014
dimana SBY sebagai ketua dewan pembina partai tidak dapat mencalonkan kembali
menjadi capres, karena sudah dua periode memimpin Indonesia. Dalam hal ini
memaksa suasana ketidakpastian dalam tubuh Demokrat siapa yang layak akan
menjadi calon dari partai terbesar di Indonesia tersebut. Dalam kondisi ini
tentu antara kubu yang ada di dalam partai Demokrat berlomba-lomba untuk
menyiapkan dana besar untuk bertarung baik secara internal maupun eksternal
agar layak dicalonkan menjadi kandidat RI 1 dari partai Demokrat.
Anas, Citra SBY dan Pudarnya
Meritokrasi
Gagasan meritokrasi yang disampaiakan
Anas dalam membangun budaya demokrasi semakin hambar dan jauh dari
harapan. Teori meritokrasi yang tidak
akan melahirkan orang kuat yang melampaui system telah pudar
dengan kuatnya citra SBY dalam tubuh Demokrat itu sendiri. SBY pada selalu
tampil dengan pidato dalam setiap permasalahan yang terjadi pada bangsa ini
telah mematahkan teori meritokrasi yang ingin dibangun Anas Urbaningrum. Pada
posisi SBY yang selalu tampil mengeluh, menyalahkan pihak luar dan bahkan pihak
media akan semakin membuat kader Demokrat nyaman berada dibalik ketiak SBY.
Anas Urbaningrum pun seolah tidak diberi ruang oleh SBY untuk bereksplorasi dan
mengembangkan gagasannya dalam memimpin partai Demokrat. Citra SBY yang begitu
kuat pada sisi lain telah melemahkan system meritokrasi yang sangat menghargai
kerja keras dan penempaan panjang dalam organisasi.
Meritokrasi sendiri memang sangat ideal dan menarik
untuk dibicarakan dalam wacana, literatur dan diskusi-diskusi ilmiah. Tapi
Demokrasi yang penuh dengan bungkusan citra, lambat laun akan membungkam
orang-orang baik yang akan bergerak dan berjuang menegakkan teori-teori dalam
tataran aplikasi. Anas yang merupakan saksi dan pelaku reformasi serta dikenal
sebagai mantan ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) tentu
sangat mengerti dan memahami bagaimana teori-teori politik yang sering
dibicarakan dalam diskusi ilmiah. Namun permasalahan yang dihadapi Anas lebih
kompleks dibanding dengan gagasan ide yang akan dibangun di tubuh demokrat. Sesuai
dengan apa yang disampaikan Yudi Latif, politisi muda seperti Anas pun pada
akhirnya jatuh oleh opini segelintir orang karena tidak kuatnya Anas membangun
meritokrasi yang sebenarnya.
Selain itu upaya Anas untuk membangun meritokrasi
ditubuh Demokrat pun gagal oleh politisi kubu Anas sendiri yaitu Nazaruddin
yang mencoreng namanya dan menuduhnya dalam kubangan kotor kasus mafia proyek
pembangunan. Anas urbaningrum akhirnya menghadapi situasi paksa untuk berani
melawan kader demokrat yang memiliki paradigma pragmatis progresif seperti
Nazaruddin. Kader Demokrat seperti Nazaruddin jika dilihat secara track record
adalah kader karbitan yang tidak mengalami tempaan panjang dan muncul ketika
partai Demokrat sudah memiliki nama besar. Nazaruddin tidak ubahnya seperti
politisi bajing loncat yang tercatat pernah menjadi calon legislatif dari
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), namun gagal menjadi anggota DPR. Nazaruddin
pun akhirnya masuk di Demokrat dan sukses melanggeng ke senayan serta menjadi
bendahara umum dibawah kepemimpinan Anas.
Kita berharap Anas mampu untuk membuktikan teori
meritokrasi yang pernah disampaikannya. Upaya untuk menutupi kebobrokan kader
pragmatis di Demokrat hanya akan menambah daftar buruk partai. Hilangnya SBY
sebagai figur kuat Demokrat semestinya manjadi titik awal perubahan partai
terbesar ini untuk berani mengambil kebijakan tegas bagi kader yang memang
melakukan kesalahan. Ketegasan Anas dipertaruhkan untuk mengubah partai
Demokrat menjadi partai meritokrasi Indonesia. Karena menunggu ketegasan SBY
bangsa mungkin sudah lelah, kita butuh politisi muda yang berani dan lantang
menegakkan kebenaran. Bukan untuk membela kawan tapi berjuang untuk membela
rakyat dari ketidakadilan.
0 komentar