Oleh : Dharma Setyawan
Pengurus Pusat KAMMI 2013-2015
“Harmoni
itu tidak pernah mengenal kata krisis” -Ashadi Siregar.
Kutipan kata-kata
Ashadi Siregar di atas adalah bagian kecil dari pidato budaya saat peluncuran
majalah sastra “Sabana” di Rumah Budaya Emha Ainun Najib di Yogyakarta (25/06/13)
dengan tema “Menuju Bangsa Tanpa Sastra”. Apa yang diharapkan dari
sebuah karya sastra? Apa yang menjadikan sastra menjadi bagian kebudayaan dalam
cara berfikir kemanusiaan? Pertanyaan itu adalah letupan-letupan yang muncul di
tengah krisis kepercayaan kita menghadapi demokrasi kita yang semakin tidak
menemui kepastian. Lalu sejauh mana peran sastra -yang membangun cara berfikir
berbudaya dalam kehidupan manusia- berperan terhadap perubahan?
Sastra yang semakin
hilang dari bangku-bangku pendidikan, hilang dari kehidupan sosial, tidak
adanya semangat berkarya, meresapi, bahkan merenungi kembali karya sastra
bangsa ini, telah semakin menenggelamkan kebudayaan berfikir para generasi.
Pusat berfikir para aktifis pasca 98 pun semakin terfokus pada “political
minded”. Kita belum melihat apresiasi kebudayaan dalam rumah sastra bangsa
ini diberikan tempat sebesar kita memberi tempat pada panggung politik kita -politikus,
partai, pemilu, acara televisi, headline koran- semua sedang mabuk dengan
panggung kekuasaan. Bahkan kita menemukan kreatifitas kebudayaan sastra
membusung di panggung politik, kreatifitas budaya hanya untuk memberi
legitimasi kesenangan para pelaku politik untuk diakui telah merakyat, sehingga
para budayawan menjadi sangat rendah di bawah ketiak para politikus.
Fenomena ini
terjadi bukan hanya di Indonesia. Negara-negara yang mengakui sebagai penganut
demokrasi-pun tidak jarang membunuh peran-peran kebudayaan atas nama egalitarianisme,
humanism, dan freedom. Laku para politikus penguasa hari-hari ini
semakin rendah dalam dialektika dan tidak mencerminkan bahasa kebudayaan. Jika
dulu Sutan Sjahrir menyadari bahwa dirinya kalah populis dengan Soekarno,
Sjahrir menyebut dirinya dengan diktum sastra yang menarik. “Saya tidak
patah saya hanya melengkung” ucap Sjahrir. Kata yang penuh seni sebagai
seorang politisi. Sjahrir pun akhirnya memilih diri menjadi seorang pendidik
demokrasi -berjuang mendidik para pemuda- bersama Hatta dan berjuang
bersama pejuang pro demokrasi lainnya.
Bagi Sjahrir
dengan memilih jalan bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sjahrir
melakukan kerja politik kebudayaan di tengah rakyat dan para teknokrat mabuk populisme
ketokohan Soekarno. Bersamaan dengan itu Hatta mundur atas sikap Demokrasi
Terpimpin yang dipilih Soekarno. Namun hubungan mereka tetap cantik di mata
kebudayaan kita dan sejarah mencatatnya. Tidak ada luka politik yang memalukan
seperti hari-hari ini yaitu korupsi- perilaku politik nir kebudayaan dan bentuk
kekuasaan sampah. Obsesi memimpin hari ini adalah obsesi bisnis, untung dan gaya
berjuasi dgn macam jubah ideologi.
Kita bandingkan
dengan kata-kata Presiden SBY ketika Partai Demokrat diterpa badai korupsi
berbagai skandal mega proyek yang dilakukan oleh kader-kader terbaiknya. “Saya
akan buktikan bahwa bukan hanya Partai Demokrat yang korupsi partai lain juga
melakukan korupsi” Ucap SBY. Memang benar, isi pidato tersebut tidak salah,
namun ini sebuah ciri kemunduran mutu bahasa pemimpin kita. Sebuah pidato yang
sangat tidak berkualitas dan sangat jauh dari ucapan seperti Sjahrir di atas.
Matinya sastra di panggung politik kita sangat berbahaya bagi kedewasaan dan
tumbuhnya simpul-simpul inteligensia. Jika sekarang korupsi menjadi perilaku
latin kita, lalu apa yang akan diwariskan dalam kepemimpinan? baik itu mengatas
namakan demokrasi atau ideologi apapun. Sangat perlu diperhatikan adalah
kualitas isi dari kata-kata yang dimiliki bangsa ini, yaitu untuk menjadi pusat
energi kebudayaan dan menghilangkan segala panggung yang tidak berkualitas.
Kudeta oleh
Sastra
“Kudeta” kata yang sangat ‘traumatik’ -ditengah
kehidupan yang semakin menakutkan dan mengancam- bagi kehidupan sosial politik
kita. Kata yang menjadikan seseorang, golongan, agama, kekuasaan negara
tersingkir dalam peradaban. Kata yang memasung eksistensi pihak lain bahkan
menenggelamkannya dalam represi yang sangat padat dan terlampau keras. Kenapa
ada kudeta? Berbagai alasan macam rupa muncul atas kejadian kudeta dalam
sejarah kekuasaan. Kudeta cara ampuh me-negasi-kan individu, kelompok agama,
golongan suku, kekuasaan korup dan struktur otoritarianisme. Pilihan
demokrasi menjadi alasan kenapa kudeta selalu salah dalam kacamata kemanusiaan.
Pun demokrasi tidak memberi jaminan bagi berlangsungnya kehidupan. Ritualisme
pemilu ternyata juga tidak menjadi titik terang yang jitu untuk bangsa bangkit
secara bersama. Di sini kita butuh kebudayaan sastra untuk memberi mutu pada demokrasi.
Kita butuh sastra untuk memberi manis di pahitnya kompetisi politik yang penuh
lacur.
Peran sastra
dalam kehidupan demokrasi kita adalah bandul tegaknya keadilan berfikir untuk
mempertahankan Indonesia. Pakem berfikir para pemimpin yang tidak berkualitas
di obati dengan kualitas berfikir dari pijakan sastra. Sastra mengobati
kesalahan-kesalahan bangsa ini yang memberi ruang besar pada dominasi panggung oligarki
politik. Mereka-mereka yang tidak siuman dari pingsan ke-dungu-an dan tidak
memiliki kesadaran untuk berbudaya akan selalu dipantik oleh khotbah-khotbah
suci kebenaran sastra. Maka kekuasaan yang tuli terhadap kebenaran sastra akan
terus terusik dari kenyamanan ‘singgasana kekuasaan’. Pemimpin yang
memahami sastra tidak pernah berucap untuk dendam. Pemimpin yang mengenal
sastra tidak pernah berdiri kaku di tengah ragam perbedaan. Pemimpin yang
mengerti sastra akan menegakkan cinta di tengah permusuhan. Sebagaimana Ashadi
Siregar bicara harmoni, pemimpin selalu merekatkan perbedaan menjadi kesatuan
kebangkitan.
Pramoedya Ananta
Toer (1999) pernah menyebut bahwa sastra memang tidak memiliki kemampuan
bersenjata, membangun gerakan kudeta sebagaimana dimiliki oleh aparatus negara.
Tapi sastra akan mampu untuk mengkudeta cara berfikir ‘kerdil’ para
panguasa yang tidak segera sadar untuk berfikir secara benar. Jadi seberapa
penting sastra dalam kehidupan demokrasi kita? Tentu sangat penting, bahkan
gerakan kudeta yang melukai laku demokrasi kita membutuhkan sastra untuk
memberi legitimasi terhadap ‘soft-kudeta’ -merebut kekuasaan dengan
jalan baik yaitu demokrasi substansi- yang dilakukan untuk membenahi cara
berfikir penguasa yang berkepala batu.
Kita harus segera
sadar untuk memberi panggung bagi sastra hingga menjadi bagian penting berfikir
membangun ke-Indonesiaan. Kiblat politik yang semakin menggurita, oligarki
-yang tidak ubahnya perilaku feodalisme yang berjubah demokrasi- mestinya kita
buang jauh dengan narasi-narasi yang lebih bermutu. Jika seorang Presiden
negeri ini tidak memiliki mutu dalam panggung pidatonya, jangan salahkan
mereka-mereka generasi penerus buta kebudayaan dan mengkiblati bangsa lain soal
kebudayaan -sastra-musik-film-pakaian. Korean-Pop, Gamnam Style, Hollywod, fashion
Impor yang bertebaran adalah bukti bangsa yang tidak mengenal
kebudayaannya. Lemahnya sastra berakibat pada lemahnya kesadaran –‘menjadi Indonesia’.
Bagaimana kita menang sedangkan pijakan sastra kita telah dirobohkan oleh
panggung kekuasaan?
0 komentar