Dharma Setyawan |
Sudah
beratus kali mungkin dalam kehidupan media sosial, kita berdebat soal tafsir
keagamaan. Terutama perdebatan soal Penistaan Ahok, konflik ekonomi—penggusuran
kaum miskin—dan keputusan hukum yang terus memihak elit. Di satu sisi,
perdebatan itu memunculkan kesengitan yang mendalam terkait bagi banyak pihak,
terutama bagi mereka yang berbeda pilihan politik, perbedaan agama, bahkan
perspektif kebijakan pemerintah.
Kebencian
di media sosial sampai berujung pada keretakan hubungan kita di kehidupan
nyata. Walau saya secara pribadi juga seringkali bisa menghargai mereka yang
berbeda pandangan dan tetap menghormati perbedaan itu dalam kehidupan nyata.
Lebih tepatnya kita bisa bekerjasama dengan hal yang disepakati dan bersikap
toleran terhadap hal yang tidak kita sepakati.
Sebagai
contoh; saya melihat perdebatan sengit para ahli waris, dua arus besar pro
Jokowi dan pro Prabowo di pemilihan Presiden. Kalangan Muslim juga
terpolarisasi dengan berbagai varian. Pertama, Ada yang memandang
bahwa pemerintahan Jokowi dengan segala yang berhubungan dengannya adalah
batil. Semua kebijakan mereka adalah kebatilan itu sendiri. Kalangan muslim
pada golongan ini cenderung nihilis terhadap kebijakan-kebijakan yang baik di
pemerintahan Jokowi. Mereka dengan tegas bersebrangan akibat pandangan politik
pada posisi ekstrem. Dengan memainkan peran di media sampai lapangan sosial. Kedua,
kalangan muslim yang membela mati-matian Jokowi. Kalangan ini juga sama-sama
memiliki sikap bengal yang sama dengan mereka yang membenci Jokowi secara
membabi buta.
Ketiga, adalah kalangan muslim cenderung rasional, mereka bisa mengriktik jika memang harus kritik dan mendukung kebijakan jika memang rasional untuk di dukung. Kalangan muslim ini lebih cair dalam komunikasi terutama di media sosial. Cukup mudah melihat kalangan ini, yaitu mereka tidak sembarang menge-share berita yang berisi kebencian. Lebih lagi adalah berita yang berasal dari media abal-abal. Mereka melakukan verifikasi terhadap berita yang bertebaran di media sosial. Kalangan muslim ini juga memiliki pengetahuan jurnalistik yang baik.
Ketiga, adalah kalangan muslim cenderung rasional, mereka bisa mengriktik jika memang harus kritik dan mendukung kebijakan jika memang rasional untuk di dukung. Kalangan muslim ini lebih cair dalam komunikasi terutama di media sosial. Cukup mudah melihat kalangan ini, yaitu mereka tidak sembarang menge-share berita yang berisi kebencian. Lebih lagi adalah berita yang berasal dari media abal-abal. Mereka melakukan verifikasi terhadap berita yang bertebaran di media sosial. Kalangan muslim ini juga memiliki pengetahuan jurnalistik yang baik.
Saya
pribadi memiliki teman dengan 3 tipikal di atas. Sering juga ketika saya
melakukan sikap pada posisi muslim pertama, seperti mengritik kebijakan
Reklamasi Ahok yang dibacking Jokowi, kita dianggap pembenci Pemerintah dan
seolah Pro Prabowo. Kemudian jika saya memilih sikap membela Jokowi pada
pilihan ke dua, saya dianggap bagian dari pro-Jokowi secara total. Yang menarik
jika kita memilih pada posisi ketiga, media sosial kita akan dikomentari
sesuai polarisasi dua arus. Media sosial kita akan dipenuhi cacian, bahkan
sebagai muslim kita tertuduh dengan berbagai macam stigma—seperti membela salah
satu kebijakan Ahok dalam membersihkan sampah Jakarta.
Penista?
Pada dasarnya ‘kata’ tersebut menjadi alasan yang paling kuat, oleh mayoritas
muslim untuk menyerang Ahok selama ini. Ketimbang penista yang lebih substansi
yang dikupas oleh Al-quran dalam surat yang lain—menistakan kaum lemah. Penista
ini menjadi kehilangan substansi arti, mengingat ‘penista’ disematkan untuk memberi
daya dorong maksud politiking. Sedangkan Al-Quran misalnya bicara, Siapakah
yang mendustakan—menistakan—agama? Mereka yang menghardik anak yatim. Dan
tidak memberi makan orang miskin. (Al-Maun).
Energi
kita terkuras, kata-kata kita berhamburan di media sosial. Lalu lintas
informasi tentang penistaan itu kita telan dan kita perdebatkan sedemikian
rupa. Jangan-jangan kita telah salah kaprah dan sama-sama menjadi pelaku
penista itu sendiri. Pada saat energi kita itu bisa kita berikan untuk menolong
orang lain yang perlu di tolong, saat itulah kita benar-benar bergerak untuk
tidak menistakan ummat.
Energi
kita yang sangat terbatas ini boleh saja diluapkan untuk membangun pemikiran
kritis. Berdebat untuk melatih budaya kritik tentu baik, kritik sebagai pesan
koreksi bagi gerakan sosial kita yang memang butuh pematangan. Yang saya
takutkan, kita sudah berdebat banyak hal, tapi dilapangan sosial kita nihil
melakukan sesuatu dan tidak membangun aliansi gerakan dengan entitas lain untuk
bekerjasama berbuat kebaikan. Mereka beragama dalam pemahaman ritual, dan
menjadikan agama menjadi bersekat dan berjarak dengan realitas. Bukankah itu
adalah bentuk Penistaan?
Dharma
Setyawan
0 komentar