Oleh : Dharma Setyawan
Direktur LSO Badan Wakaf Nasional KAMMI
KAMMI Kultural akan
hilang dan hanya menjadi gerakan pragmatisme --mungkin itu yang ada pada
sebagian kelompok-kelompok faksi di tubuh KAMMI --karena dianggap sebagai alat untuk
menuju posisi-posisi kekuasaan Pimpinan Pusat. Banyak beberapa kalangan
menyebut bahwa konflik yang terjadi antara kubu Andriyana dan Fikri Aziz telah
menjadikan KAMMI Kultural akhirnya diberi ruang Struktural. Secara pribadi saya
tidak pernah berfikir sejauh itu. Perlu kita bahas bersama atau melakukan
re-definisi tentang hakikat kekuasaan --lebih khusus memaknai amanah
struktural—yang menjadi perebutan beberapa kawan-kawan menuju PP KAMMI.
Banyak beberapa kalangan
menyebut KAMMI masih disebut sebagai gerakan moralis. Gerakan mahasiswa yang
selama ini dikenal dengan kesantunan, kesolidan, dan militansi kader yang cukup
dipandang dalam gerakan ekstra-kampus. Tapi bagi pelaku-pelaku gerakan di tubuh
KAMMI sendiri, stigma ini sulit untuk dipercayai mengingat semakin pragmatisme
tercium dengan LPJ PP KAMMI yang penuh manipulasi. Banyaknya uang yang masuk di
tubuh gerakan ini tanpa tanggungjawab yang jelas dengan pelaporan tidak sesuai
dengan anggaran yang masuk di organisasi. Ibarat Ikan yang sudah busuk di
bagian “kepala” perlu dilakukan
amputasi agar tidak membusuk sampai ke ekor, demikian wajah yang terjadi di
KAMMI hari ini. Gerakan kritik beberapa kali pernah di lakukan sebagaimana
diketahui ada gerakan “Daulat KAMMI, kaum Nihil-isme KAMMI, Kritik per Individu
dari tokoh KAMMI, hingga hadirnya gerakan KAMMI Kultural. Gerakan Kultural
sendiri berawal bukan kehendak kawan-kawan Jogja, tapi pihak PP KAMMI yang
hadir melakukan sarasehan lintas generasi dalam upaya solusi dan dialektika
yang adil. Sikap kritis yang ter-fasilitasi dengan baik sebagai upaya perbaikan
sampai berlanjut dengan kawan-kawan Jogja menuliskan ide-ide pembaharuan
gerakan dan menyebut gerakan ini sebagai www.kammikultural.org.
Kini yang terjadi
adalah stigma lain dari perdebatan beberapa kubu di KAMMI dan sepertinya akan
terus berlanjut, hingga tuduhan bahwa gerakan Kultural mulai masuk ke ruang struktural
untuk menikmati kekuasaan. Bisa di sebut “kultural” seperti badai yang tidak diharapkan
datang membuat keributan, kemudian diprediksi akan berlalu begitu saja karena
telah ada beberapa yang masuk ke struktural. Gerakan Kultural adalah sisi lain
dari pluralitas berfikir KAMMI yang selama ini merasa didominasi oleh ideologi
tertentu, diatur oleh struktur tertentu, dan hampir dipastikan sulit mencari
ruang dialektika di tubuh KAMMI kecuali beberapa KAMMI Daerah --terutama bagian
Jawa—dari seluruh KAMMI daerah cenderung sangat konservatif sampai fundamentalis
yang ada di Indonesia.
KAMMI Kultural bukan
sekedar alat politik untuk kritis bahkan alat pragmatis untuk berkuasa, tapi
KAMMI Kultural adalah upaya kemenangan kekuasaan pada tingkat berfikir kader. Kita
pernah mengingat Al-Farabi seorang tukang kebun dan bekerja siang hari untuk
tuannya, tapi kita juga melihat Al-Farabi adalah penguasa di jagad pemikiran
dan dirinya dalam hidupnya sejak mulai baligh hanya tidak menulis saat dua hari
–yaitu saat malam pertama menikah dan saat Ayahnya meninggal—selain dua hari
itu Al-Farabi menulis sampai akhir hayatnya. Muhammad Natsir dalam “Capita
Selecta” menyebut Al-Farabi adalah Penguasa di jagad Ruh walaupun budak di
jagad materi. Begitulah saya menafsirkan gerakan kultural adalah sebuah gerakan
kehendak bebas untuk memberi ruang kepada seluruh kader KAMMI dalam memberikan
sumbangsih berfikir dengan dialektika ruang-ruang kultural –bergerak tanpa kasta dan berjuang tanpa nama.
Bisa terjadi seorang kader KAMMI dalam wilayah struktural bukan siapa-siapa,
hanya seorang jundi komisariat dan bukan orang yang menempati struktural yang
strategis. Namun di jagad berfikir dialah yang paling baik amal ibadahnya, lebih
luas membaca bukunya, tinggi kefahaman ilmunya, berkarya lebih progresif. Di
sinilah KAMMI Kultural berupaya memberi ruang adil agar kader-kader KAMMI di
tingkat pusat dapat mengakomodir bahkan mengakui proses tumbuhnya ilmu di tubuh
KAMMI sampai di tingkat komisariat.
KAMMI Kultural juga
berupaya mengajak alumni-alumni yang selama ini menghilang dari sejarah gerakan
akibat tidak aktif di struktur partai tertentu. Alumni KAMMI yang selama ini
aktif di dunia luar –Pendidikan (Akademisi), Ekonomi, Budaya, dan lainnya-- bukan
di partai politik, hampir dipastikan tidak dihadirkan sebagai alumni yang
cemerlang layaknya alumni yang menempati jabatan politik di partai tingkat
nasional hingga daerah. KAMMI Kultural kemudian mulai mengakomodasi
mereka-mereka yang menghilang dari sejarah gerakan masa-masa awal KAMMI. Sejak
sarasehan Yogyakarta dan Jakarta mereka-meraka yang menghilang dihadirkan untuk
berbicara tentang KAMMI; seperti Haryo Setyoko –Sekjend KAMMI 98-- yang lebih
dari 12 tahun tidak pernah berbicara tentang KAMMI, Mu’tamar Ma’ruf –salah satu
pencetus “paradigma gerakan” yang 10 tahun tidak di undang memberi sumbangsih
berfikir untuk KAMMI dan alumni lainnya yang dianggap keluar dari barisan
tarbiyah dan tokoh alumni lainnya. Betapa ketidakadilan itu mencolok bahwa
alumni yang dihargai adalah mereka yang di struktur politik bahkan khusus
partai tertentu dalam definisi partai yang menjadi panglima dakwah khususnya di
Indonesia. Kritik berlanjut tentang “Tarbiyah” yang seharusnya sebagai payung
bersama --yang jelas tidak cukup untuk di jelaskan dalam tulisan yang bertujuan
mengklarifikasi kembali atau memaknai kembali gerakan “KAMMI Kultural” ini. Hematnya
KAMMI Kultural adalah kesadaran bersama kader-kader yang ingin memperbaiki
gerakan KAMMI dengan cara memperbaiki proses cara berfikir yang benar tanpa ada
hegemoni dari struktur tertentu. Jika struktur politik dianggap sebagai
panglima dakwah dan menjadi payung bersama bagi gerakan dakwah maka posisi ini
bukan dakwah yang syumul (menyeluruh) tapi sedang terjadi hegemoni peran dakwah
oleh struktur politik sehingga ipoleksosbudhankam(ideologi,politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan) sedang di dominasi atau di
atur oleh dakwah politik yang bisa melegitimasi kebenaran dakwah atas nama
“jamaah’. “Impian Kultural setidaknya ada tarbiyah untuk para pengamat politik,
ekonom, gerakan mahasiswa sehingga mereka mandiri tanpa takut mengkritik
saudara mereka yang keblabasan di tingkat parlemen. Mereka-mereka yang
melakukan kritik atas dakwah politik yang melenceng --korupsi, bermewah-mewah,
dan lainnya-- di anggap tidak paham bahkan di anggap murtad dari gerakan dakwah
versi “tarbiyah Indonesia” sekali lagi versi “tarbiyah Indonesia”. KAMMI
Kultural adalah gerakan yang beyond dari itu, gerakan ini adalah gerakan
kembali pada hakikat kultural yaitu melepaskan sejenak ikatan-ikatan struktur
yang sering menjajah dan melegitimasi kebenaran atas kekuasaan di tubuh gerakan.
KAMMI Kultural berupaya
memberi ruang kepada alumni KAMMI yang tidak di partai politik untuk memberi
sumbangsih pemikiran kembali. Dengan harapan ada mekanisme terarah untuk KAMMI bergerak
merata di semua lini dan bergerak strategis lebih baik di masa depan. Sehingga
ketika terjadi perdebatan tentang tafsir Paradigma Gerakan –terutama Sosial
Independent dan Ekstraparlementer--, Pengelolaan anggaran KAMMI, Definisi
Tarbiyah, Ideologi KAMMI dan lain sebagainya, maka kader diberikan ruang untuk
berdebat secara intelektual bukan berdebat secara garis struktural. KAMMI
Kultural tidak berhenti begitu saja, gerakan ini akan terus berusaha
menghadirkan sisi egaliter dalm berbagai hal di tubuh KAMMI yang selama ini
diselesaikan dengan cara-cara Top-down. KAMMI Kultural memberi kebebasan kepada
kader untuk memberikan buah berfikir yang rasional, bergerak sadar untuk ummat
--bukan golongan tertentu, dirasakan di masyarakat dan bukan gerakan “broker anggaran” yang jamak di ketahui di
tubuh mayoritas gerakan mahasiswa pasca reformasi ini. KAMMI Kultural insyalah
tidak berlalu, gerakan ini akan tetap ada bagi mereka-mereka yang sadar untuk
memperluas gerakan dakwah tanpa kasta terutama saat struktur politik sudah
offside dari makna dakwah itu sendiri. KAMMI Kultural akan terus melaju!
0 komentar