Oleh : Dharma Setyawan
Pengurus Pusat KAMMI
2013-2015, Alumnus S2 UGM
Terbit 27 November 2013 di Voting Gagas Lampung Post.
“Sejak zaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa
terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila.
Bahkan pertama-tama mereka yang membuangdiri, seorang diri di tengah-tengah
hutan atau samudra masih membawa padanya sisa-sia kekuasaan sesamanya. Dan
selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang
berpolitik” (Pramoedya Ananta Toer)
”Kekuasaan berwatak hegemonik”, begitulah
adagium yang dibangun atas demokrasi yang hanya berputar pada tataran elit.
Sikap oligarkinya yang angkuh, rasa percaya dirinya yang keterlaluan dan cara
arogannya yang sulit dilawan adalah agregat masalah yang dihadapi Pilgub Lampung.
Demokrasi menjadi mala-petaka bagi rakyat Lampung. Simpul-simpul civil society menjadi mainan elit yang
tidak segera siuman dari kerakusannya mencakar bumi Lampung. Jika rakyat
ditanya, pemimpin seperti apakah yang di inginkan untuk Lampung? Jawaban umum
“Jujur, Adil, Tegas dan Merakyat”. Sulit kita menemui rakyat bicara kriteria
tentang “kecerdasan pemimpin, Inteletualitas, Pendidikan yang tinggi”.
Demokrasi yang dipahami rakyat kita khususnya Lampung dan umumnya Indonesia
adalah pemimpin yang mengayomi, pemimpin yang memberi rasa aman dan rasa
nyaman.
Saat
elit-elit Lampung bermanuver dengan konstitusi, parpol bermain mahar dukungan,
tokoh berganti jubah parpol, dan segala polah tingkah berkelamin ganda,
Demokrasi selalu terkorbankan dan anti klimaks. Disinilah kedewasaan para
pemangku kepentingan di uji untuk menyelamatkan kepentingan golongan elitnya
atau menyelematkan kepentingan rakyat Lampung yang terombang-ambing dengan
kekuasaan yang semakin tidak membumi. Mengaca dari Propinsi seberang selat
Sunda yaitu Propinsi Banten. Seharusnya cukup menjadi pelajaran bagaimana
demokrasi yang diselingkuhi oligarki keluarga Atut telah mengorbankan
kepentingan rakyat Banten. Jika rakyat belum sadar bahaya politik dinasti ini khusus
masyarakat Lampung, seharusnya pihak media, penyelenggara negara, dan civil
society ikut memikirkan kehendak rakyat bukan kehendak elit.
Gubernur Hegemonik
Demokrasi
Lampung menghadapi jalan arteri yang teramat terjal. Kehendak Gubernur
mengurungkan jadwal Pilgub bukan saja memasung demokrasi tapi memasung hak
rakyat. “Demos” dan “Kretos” hanya teori an sich. Masyarakat Lampung perlu bersatu untuk memutus rantai
hegemonik dinasti Gubernur. Tanggung jawab moral kita semua terhadap demokrasi
bukan hanya saat pemilihan, tapi bagaimana jaring aspirasi menemukan titik temu
antara pemimpin dan rakyat. Data Kementrian Dalam Negeri menyebutkan dari 24
Kepala daerah tingkat Propinsi sudah 20 orang yang tersangkut kasus Korupsi.
Dari sini kita mulai mengambil pelajaran bahwa demokrasi kita mengorbankan
‘harga diri” kita bersama. Rakyat seolah dibuat senang dengan tertangkapnya
pemimpin yang pernah di pilihnya. Dan para elit bergembira atas rival politik
yang mengalami senjakala kekuasaan bahkan jatuh tersungkur di rumah tahanan.
Oligarki
kekuasaan, dinasti kekuasaan, sampai hegemonik kekuasaan adalah gambaran
demokrasi yang baru sebatas prosedur belum mencapai substansi. Betapa dengan
mata telanjang kita melihat anggaran APBD seolah menjadi hak preogratif
raja-raja kecil ini , yang dengan ‘semau
gue’ dapat diberikan kepada siapapun yang mau ‘sekonco’ dengan ide-ide pemangku jabatan. Lebih konkretnya anggaran
banyak digunakan untuk menyenangkan golongan ‘sekutu’ pendukung kemenangan si penguasa. Belum lama media-mdia mengungkapkan bahwa Lampung adalah
salah satu Propinsi dengan tingkat politik uang yang sangat tinggi. Jelas ini
memaksa kita semua berfikir ulang memaknai demokrasi kita yang memakan “hight cost” merampok APBD.
Jalan untuk Lampung
Lampung
butuh konsolidasi bersama mencari jalan terbaik. Tidak pantas lagi kita memilih
pemimpin dengan janji-janji pembangunan. Jembatan Selat Sunda (JSS) yang kian
tidak jelas faktanya hanya janji-janji. Kita semua terpasung dalam struktural
tanpa berfikir panjang dengan cara kultural yang lebih berbudaya. Kita sudah
ketinggalan jauh dengan pemimpin-pemimpin lain di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa
Barat yang mulai berbenah. Kota dan Kabupaten seperti Surabaya, Solo, Bandung,
Bogor berhasil menyeleksi pemimpin yang jelas visi dan misinya. Seharusnya arah
demokrasi di Lampung adalah demokrasi berdasarkan integritas dengan kapasitas
pemimpin yang mampu melakukan perubahan. Sosok-sosok muda seperti Ganjar
Pranowo Gubernur Jawa Tengah, Ridwan Kamil Walikota Bandung, Bima Aria
Sugiharto Bogor adalah segelintir contoh jalan demokrasi yang menyambut baik
meritokrasi. Dimana pemimpin yang melakukan perubahan pada komunitasnya di
dorong untuk mempimpin pada ruang yang lebih luas.
Jalan
kepemimpinan berbasis komunitas inilah yang diharapkan tumbuh. Pemimpin yang
diharapkan muncul adalah mereka-mereka yang dengan sadar dan sabar melakukan
perubahan dari diri dan sekitarnya. Tanpa politik uang, tanpa menghegemoni
kebijakan pemimpin ini berangkat dari ide-ide kreatif dan di dukung oleh
masyarakat yang memberi kepercayaan kepadanya. Dengan kepercayaan itu dirinya
mengajak orang lain, kaum muda untuk bergerak melakukan kerja-kerja perubahan.
Dengan ide-ide kreatif itu dia terus hidup memberi jalan yang lebih luas sampai
yang lain terinspirasi untuk membuka jalan-jalan yang lain agar kehidupan
rakyat semakin baik.
Lampung
yang merupakan pintu gerbang Sumatra dan propinsi yang memiliki potensi sumber
daya alam melimpah, namun tidak akan berubah secara signifikan manakala cara
berfikir kita semua masih menimbang egosentris elit. Semua pihak perlu terlibat
untuk membuka jalan perubahan bagi Lampung yang lebih konkrit menghargai
ide-ide perubahan. Politik dinasti kelak akan menuai lingkaran korupsi
sebagaimana kita lihat di Propinsi Banten. Jalan untuk Lampung masih terbuka
lebar. Kesadaran untuk konsolidasi bukan hanya menyelamatkan kepentingan rakyat
tapi menyelamatkan kaum elit yang kehilangan rasa malu. Bupati Lampung Tengah
dan Lampung Timur cukup menjadi korban demokrasi prosedural yang tidak mengenal
pakem masa depan. Akademisi, kader Partai Politik, civil society dan kaum muda
perlu melakukan konsolidadi untuk demokrasi Lampung yang lebih baik. Setelah
itu biarkan mereka-mereka yang memiliki ide-ide terbaik bertarung membawa
Lampung bersaing dengan daerah lain. ‘Demimu
Lampungku, Padamu Baktiku’, semoga itu benar dan masih berlaku.
0 komentar