Direktur Eksekutif Adzkiya Centre
Tidak banyak yang
mengenal Tirto Adi Soerjo (TAS)--begitupun Lampung daerah yang pernah menjadi
tempat pembuangannya di zaman kolonialisme—Seorang tokoh pergerakan yang gigih
berjuang melalui tulisan. Pram memperkenalkan—mensisipkan karakter juang--
tokoh ini dengan sosok “Minke” dalam Tetralogi Buru yaitu Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Karya masterpeace Pram ini menyulut semangat penggalian kembali sosok TAS
untuk ditampilkan dalam arus pergerakan dalam putaran roda“menjadi Indonesia”.
Satu yang menarik dari penggalian sosok TAS yaitu Pram mampu menyajikan
dialektika novel yang mengajak kita kembali pada kehidupan era kolonial dan
menyadari bangkitnya perlawanan kaum terdidik yaitu melawan dengan tulisan.
Sebagaimana TAS beberapa kali mendirikan surat kabar sebagai alat propaganda
mencerdaskan rakyat dan melawan hegemoni Pemerintah Hindia Belanda.
Hampir mayoritas sejarahwan
“absen” mengangkat sosok TAS dalam
panggung cerita kepahlawanan. Hal ini bukan karena kesengajaan, tapi data
tentang TAS yang sulit untuk ditemukan kembali—mulai lahir, pendidikan, perjuangan,
pembuangan di Lampung dan tahun kematian—sengaja dihilangkan oleh pihak
Pemerintah Hindia Belanda. Orang-orang yang mengenalnya secara langsung
mengakui peran TAS seperti Tjipto Mangoenkusoemo, Marco Kartodikromo dan orang
yang mengenal tidak langsung pun mengakui seperti M. Hatta juga Ki Hadjar Dewantara.
Sebagai seorang putra dari Bupati di Blora, TAS mendapat kesempatan dapat bersekolah
dengan fsilitas pendidikan Belanda. Keistimewaan TAS adalah dia memiliki
kemampuan menulis di atas rata-rata anak pribumi yang lain. Di tengah
kesendiriannya menemukan kawan perjuangan—beda dengan zaman Soekarno, Hatta dan
Sjahrir—semangat TAS menulis tetap mendarah daging. Proses pencapaian kesadaran
ini seimbang dengan kesadaran Haji Agus Salim dalam membangun narasi
jurnalistik bersama Hos Tjokroaminoto di Sarekat Islam. Hal itu terungkap apik
dalam naskah “Sang Pemula” dimana TAS termasuk pendiri Sarekat Islam di
Batavia.
Jejak
TAS di Lampung
Akibat
dari sangat tadjamnya sendjata penanja/Pendjadjah dengan
kekuasaanja/Mendjatuhkan hukumannja/Marhum Torto Adi Soerjo diasingkan dari
tempat kediamannja/Lampung adalah tempat tujuannja/Setibanja di pengasingan
terus berdjuang/Tak ada tempo yang terluang/Untuk membela nusa dan bangsanja—Lentera
kutipan Syair karya Priatman-- dalam buku “Perdjoangan
Indonesia dalam sejarah 1875-1917”. Akibat melawan Pemerintah Hindia
Belanda dengan tulisan-tulisan yang tajam di sejumlah media saat itu--Pembrita Betawi, Soenda Berita, Medan Prijaji,
Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia—TAS harus mengalami hukuman pembuangan di
Teluk Betung, Lampung dan juga di Ambon.
Para Sejarahwan tidak
banyak yang mencari jejak, bagaimana peran TAS yang tetap berjuang untuk rakyat
di Lampung? “Tetralogi Buru”—khususnya Bumi Manusia—yang telah diterjemahkan ke
42 bahasa itu pada sikap narasinya adalah untuk membuka tabir sejarah, siapa
sosok TAS? Pram (1985) menceritakan dalam buku “Sang Pemula” saat TAS mendapat
perlakuan yang kurang enak di awal kedatangannya di pembuangan, tapi atas sikap
pengorbanannya yang menulang sumsum membuka mata hati masyarakat Lampung. “Turun dari kapal, perahu membawa Tirto
kemudian ke darat. Tukang perahu memerasnya untuk membayar upah sebanyak f 4,-
dan hanya seorang yang menyambut kedatangannya; Mahdie, pegawai perkebunan
Eropa “Negara Ratu”. Dalam pembuangannya ia mondok di rumahnya. Dan dalam waktu
pendek ia menjadi tempat orang-orang mengadukan penganiayaan dan pemerasan yang
dilakukan oleh para pejabat. Perasaan keadilannya yang tersinggung dan tugas
mulianya sebagai jurnalis mendorongnya mengangkat pena. Masih dalam pembuangan
ia kirimkan tulisan-tulisannya ke Betawi, diumumkan dalam surat kabar
Perniagaan (terbit : Batavia 1903-1930).
TAS di tempat
pembuangan menjadi sandaran para warga untuk mendapat pembelaan. Sebagai seorang
yang terdidik dari Pendidikan ‘politik
etis’ TAS melawan dengan pena struktur kolonalisme yang panjang dan sangat
menyiksa. Tulisan-tulisan TAS diberi judul “Oleh-oleh
dari Tempat Pembuangan”. TAS begitu berani menuliskan tata kelola
Pemerintah yang sangat buruk dan kejam terhadap pribumi di Lampung. Bahkan TAS
juga berhasil membongkar penyalahgunaan kekuasaan mulai dari Kepala Kampung
sampai Residen Lampung yang di isi oleh pegawai-pegawai Pribumi yang juga
korup. Jadi memang sejak lama perilaku birokrat pribumi dan Penjajah Asing
mengeksploitasi rakyat umumnya adalah demi keuantungan-keuntungan materi. Hanya
dalam waktu dua bulan pembongkaran yang dilakukan TAS memaksa pemerintahan
Pusat Hindia Belanda untuk memberi sanksi kepada Residen Lampung dan
bawahannya.
Gubernur Jendral
Idenburg Rinkes pada 19 Februari 1912 menyampaikan,” ...Ketika di buang di Keresidenan Lampung, dari sana ia mengirimkan
surat-surat ke Medan Prijaji, dimana diberitakan adanya penyalahgunaan
kekuasaan adanya pemerasan yang tercela, ketidakadilan yang sangat keji
dilakukan oleh orang Eropa terhadap diri mereka—masyarakat Lampung”. Mata
batin TAS terbuka untuk tetap berjuang walaupun status dirinya sebagai seorang
pembuangan. Jika saat di Lampung pertama kali dia datang hanya disambut oleh
seorang saja bahkan diperas oleh tukang perahu, TAS saat pulang ke Jawa diantar
oleh serombongan masyarakat Lampung yang telah dibelanya untuk mengantarkannya
sampai di dermaga pelabuhan. Tukang-tukang perahu menyediakan sebuah perahu
khusus yang terhias sangat indah dengan bendera, daun dan kembang
berjenis-jenis untuk menguntapkannya dari dermaga ke kapal api. (Pram, Sang
Pemula 1985).
Belum ada yang meneliti
secara mendalam bagaimana jejak-jejak TAS di Bumi Ruwa Jurai saat pembuangan.
TAS dalam pandangan sejarah adalah pioner Jurnalistik Indonesia yang lahir
untuk memperjuangkan hak-hak rakyat pribumi yang dirampas oleh Pemerintah
Hindia Belanda. S de Vries menyatakan,” dia memiliki daya kerja dahsyat, yang
dapat mengerjakan sendirian apa yang sepuluh, seratus orang senegerinya tak
mampu melakukan, setiap saat ia bekerja untuk kemajuan bangsanya, namun semua
hasilnya dipersembahkannya pada umum, sehingga ia tidak mengenal kekayaan.
Memberikan bantuan pada semua orang yang membutuhkan, akhirnya tidak
mengherankan kalau orang datang mencarinya, dari Banten, Priangan, Banyumas,
Kedu, Solo, Yogya dan sebagainya, dari keresidenan di Jawa dan Madura sampai
Sumatra, Borneo dan Maluku. Ribuan orang telah ditolongnya dengan biaya
sendiri, bukan saja orang kecil, juga para raja dan priyayi, dan selamanya pertolongannya
tidak sia-sia. (Bupati Serang : R.A.A.A Djajadiningrat 1901-1924).
Jejak TAS di Lampung-yang
diungkapkan Pram lewat “Sang Pemula”--
setidaknya memberi sinyal positif bahwa perjuangan tulisan 1912 telah ada
dikenal oleh masyarakat pribumi Lampung. Mereka sangat percaya dengan TAS
seorang pejuang jurnalistik dengan melaporkan kesewenang-wenangan pejabat
Residen Lampung saat itu. Dari titik ini sejarah dapat dibuka, data dapat
dilacak, arsip dapat di konfirmasi di Belanda, dan jejak gerakan khususnya di
Bumi Lampung. Jika ini dapat menjadi pengungkapan sejarah maka masyarakat
Lampung dapat memahami bagaimana dan kapan saja tahap-tahap perjuangan
masyarakat Lampung dalam berjuang merebut kemerdekaan—khususnya tentang
perlawanan lokal. Pelan dan pasti banyak yang bisa didapat dari sebuah jalan
memahami sejarah dan perjuangan masyarakat Lampung untuk memberi inspirasi
kemajuan dan pembangunan peradaban di Bumi Lampung. Semoga!
0 komentar