Oleh : Dharma Setyawan
Sederhana—kata
yang apa adanya sesuai maksud judul di atas—menjadi satu mekanisme wisdom
tersendiri dalam hidup. Orang-orang yang pernah hidup di bumi ini harum dalam
catatan sejarah atas pilihan hidup untuk mau setia dengan “sederhana”. Mereka-mereka
tanpa keluh kesah, tanpa pamrih, sadar bahwa sederhana bukan berarti tidak boleh
memiliki apa-apa. Mereka telah selesai dengan hipokrit materi yang membuat hidup
mereka tidak nyaman oleh para penganut materialisme. Secara sadar “sederhana”
adalah pilihan hidup untuk biasa, menerima, tidak ambisi, walaupun sebenarnya
pilihan menikmati kepemilikan tidaklah sulit. Disini kata “sederhana” mengajak
etika untuk bersanding hingga secara natural sederhana adalah pilihan hidup
bukan sikap terpaksa—atau karena dunia yang tidak dapat diraih. Bung Hatta,
kita mengingat salah satu tokoh nasional yang begitu natural ini punya energi
besar dalam memaknai “sederhana”. Proklamator dan Wakil Presiden pertama
Indonesia ini sangat lekat dengan hidup “sederhana”. Kalaulah mau Bung Hatta
sebagai seorang lulusan Belanda sangat mampu untuk meraih kejayaan dan kekayaan
individu sebagai sedikit orang yang sangat beruntung menikmati hasil Pendidikan
dari negeri Belanda. Namun Bung Hatta bukan orang yang menghamba pada
materialisme, sebagai individu terdidik di tengah penjajahan yang kian maruk
mengeruk kekayaan negerinya, Bung Hatta nampaknya tidak takut penderitaan
membuntutinya. Moral dignity—harga diri sebagai seorang intelektual terdidik
dan cinta bangsanya-Bung Hatta sanggup melewati hari-hari dengan kekurangan dan
menolak bekerjasama untuk Pemerintahan Hindia
Belanda. Begitupun kita melihat mereka-mereka yang punya narasi tentang “sederhana”
ikut andil berjuang dan melawan hedonisme--keinginan kenikmatan dengan
kepentingan kelezatan individu—mereka memilih angkat pena, angkat senjata,
angkat bicara untuk satu tujuan Indonesia Merdeka. Diantara mereka kita bisa
melihat Tan Malaka, Haji Agus Salim, Soekarno, Sutan Sajhir, Muhammad Natsir, dan
tokoh-tokoh lain berjuang sebagaimana Bung Hatta.
Dalam kepayahan hidup
menolak kesempatan kejayaan dan kekayaan mereka memilih berjuang dan hidup
sederhana sampai akhir kehidupan. Begitu cintanya pada perjuangan tidak heran
jika sampai akhir hidupnya Bung Hatta tak sampai membeli sepatu yang di
idam-idamkan. Bukan lagi sederhana, seorang pemimpin ini rela rezekinya
digunakan untuk jalan meniti kemerdekaan demi melihat generasi ini terbebas
dari kolonialisme. Dalam kisah lain, Bung Hatta menyempatkan berkunjung ke
Sumatra Barat daerah asal dilahirkan. Karena tidak cukup uang, Bung Hatta
menawar ketika hendak menaiki andong kuda. Dengan nada keras si kusir
menyentak,”jika tidak ada uang tidak usah naik!!!, jalan kaki saja”—si kusir
tidak tahu yang dibentaknya adalah Wakil Presiden RI. Dengan senyum sabar Bung
Hatta pun berlalu dan akhirnya memilih jalan kaki.
Begitulah sikap “sederhana”
telah me-legenda, seperti legenda jas bertambal aspal seorang Menteri Muhammad
Natsir. Melegenda sampai zaman klepto ini dimana tukang ojek berteriak kepada
ajudan gerbang istana yang tidak mengizinkan Dahlan Iskan masuk gerbang Istana.
Sesuatu yang tabu bagi ajudan tidak mungkin ini seorang menteri karena naik
ojek. Sesuatu yang tidak masuk akal orang melihat seorang Hidayat Nur Wahid
menolak fasilitas mobil mewah saat di amanahi menjadi ketua MPR. Mungkin
sesuatu yang tidak lazim juga, sederhana
merasuki hidup Jokowi mengunakan pakaian apa adanya bahkan menggunakan mobil
dinas warisan walikota lama Solo tahun 2002 yang ternyata telah macet 8 kali, ditambah tidak mau ambil gaji haknya sebagai walikota. ‘Sederhana’ tetap menjadi kemesraan mereka yang
tidak silau dengan kemewahan. Aji Mumpung kalau orang jawa sebut, mumpung punya
kuasa, mumpung punya wibawa, mumpung ada harta. Mereka yang perlente, pejabat
yang tidak siuman harusnya malu bahwa bukan dengan itu mereka dihargai dan
dihormati banyak orang. Bahwa ‘sederhanalah’ yang membuat mereka semakin lazim
di pandang, renyah di dengar, dan patut dipercaya. ‘Sederhana’ akan tetap
menyelamatkan mereka, menyadarkan kemanusiaan mereka dan tidak akan mengutuk
mereka yang sedang di uji oleh rentetan kuasa, harta dan bahkan juga wanita.
0 komentar