Oleh : DHARMA SETYAWAN[1]
Public
Policy KAMMI Kota Yogyakarta
“ Ia berjuang untuk Indonesia Merdeka, melarat
dalam pembuangan untuk Indonesia Merdeka, ikut serta membina Indonesia Merdeka,
tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka.
Bukankah itu suatu tragedi?” (Moh. Hatta dalam pemakaman Sutan Sjahrir 19 April
1966)
Politik Bung Kecil
“Houd je mond”(tutup
mulutmu), kata itu diucapkan Sjahrir kepada Soekarno saat bernyanyi dengan
keras di kamar mandi. Sontak Soekarno marah, “walaupun di pembuangan saya tetap
seorang Presiden”. Saat di pembuangan bersama Soekarno dan Hatta itu, Sjahrir
telah menunjukkan perbedaannya terhadap Soekarno. Beberapa tahun kemudian sikap
berbeda para founding fathers itu muncul dalam perbedaan mengelola negara,
perbedaan yang sangat jauh dalam mendefinisikan demokrasi. Tiga kali Sjahrir
menjadi perdana menteri Indonesia hingga akhirnya digantikan oleh Amir
Syarifudin. Kehidupan Sjahrir berakhir sebagai tahanan politik akibat
beroposisi terhadap pemerintahan Soekarno atas demokrasi terpimpin-nya.
Kita mengenalnya
sebagai “bung kecil”, sosok yang harus kalah dalam demokrasi masa lalu yang
gagal membangun kaderisasi rakyat. “Sutan Sjahrir telah meletakkan politik
sebagai pertaruhan hidup untuk memenangkan kehidupan itu sendiri” ungkap Ignas
Kleden.[2]
Sjahrir bersama Bung Hatta memilih jalan meenjadi pendidik demokrasi ditengah
mabuknya Soekarno dalam kekuasaan. Sjahrir memilih jalan sepi untuk tidak
populis tapi mengasah nalar berfikirnya ditengah rakyat yang semangat dan
merindui kemerdekaan sejak sekian lama. Terlalu jauh jarak pemikiran Sjahrir, Hatta
dengan rakyat nir pendidikan untuk memimpikan sebuah negara yang dibangun
dengan pengkaderan yang jelas. Membaca Sjahrir adalah mengingat kembali atas
kegelisahannya untuk berfikir kembali, membaca kegagalan bangsa ini dan
membuang jauh pengaruh fasisme dalam kehidupan Indonesia. Gaya fasisme yang seenaknya menuding pihak-pihak yang
tidak sepaham sebagai separatis, teroris dan anti demokrasi. Kata Fasisme itu
mirip dengan otoritrianisme yang menyelubung dalam demokrasi.
Rosihan Anwar
menyebut fasisme dengan analogi dalam dalam kehidupan sehari-hari “kamu fasis”
dan yang dimaksudnya ialah “kamu tidak demokratis, tukang paksa, abang
kuasa, mau menang sendiri, penindas.” Dalam hal ini kata “fasis” telah
memperoleh perluasan makna, melampaui makna orisinalnya, namun intisari
pengertiannya masih ada.[3]
Fasisme sangat dibenci Sjahrir sebagai sikap tidak ada penghargaan terhadap humanisme.
Nasionalisme yang dibangun dalam ke-Indonesiaan kita menurut Sjahrir akan dapat
berubah menjadi fasisme manakala mengorbankan kemanusiaan kita untuk berbuat
adil kepada siapapun dan golongan apapun. Selama ide-ide apapun yang
diagaungkan untuk kepentingan Indonesia tapi berubah wajah menjadi arogansi
kekuasaan hal ini yang Sjahrir sebut sebagai fasisme.
Sjahrir
menggambarkan kondisi Indonesia pasca kemerdekaan yaitu dimana telah terjadi
pembunuhan terhadap penduduk bangsa asing seperti Belanda, Indo, Tionghoa, juga
bangsa sendiri seperti Ambon dan Manado. Pembunuhan itu berlangsung saat negeri
ini penuh dengan kemiskinan rakyatnya dan bangkit mengisi kemerdekaan. Luapan
emosi yang hadir akibat fasisme yang lebih bisa diserap pasca pelatihan tentara
Jepang kepada pemuda-pemuda Indonesia. Fenomena ini akibat rakyat tidak diajak
berfikir sejak awal menyambut hadirnya kemerdekaan. Yang ada adalah euforia
terhadap kebebasan itu sendiri dan membabi buta terhadap gejala kemenangan
bangsa yang belum siap mewujudkan infrastruktur kenegaraan. Sehingga yang
terjadi adalah kita tidak dapat membedakan mana penjajah dan mana penjajah
bangsa lain. Sjahrir sangat prihatin dengan kondisi bangsa yang terbawa oleh
sikap fasisme baru. Setelah bangsa ini terjajah, pada akhirnya kita menjadi
bangsa yang saling menjajah terhadap bangsanya sendiri.
”Pemuda kita itu
umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu yaitu berbaris,
menerima perintah menyerang, menyerbu, dan berjibaku dan tidak pernah diajar
memimpin. Oleh karena itu dia tidak berpengetahuan lain. Cara dia mengadakan
propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dan diajarnya
dari Jepang yaitu fasilitas. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita,”
tulis Sjahrir. Kita menjadi fasisme baru dalam kegagalan kita untuk memberi
pendidikan akal, pendidikan moral dan pendidikan kepemimpinan. Kegelisahan
Sjahrir juga tidak jauh dari fakta bahwa bangsa ini terlalu prematur untuk
memahami fasisme dalam berbagai coraknya.
Atas kejengkelan
pribumi terhadap etnis China kita pernah fasis terhadap mereka, atas
ketidaksukaan pemimpin nasionalis kita terhadap politik Islam kita fasis
terhadap Hamka dan M Natsir dan memenjarakannya dalam tahanan politik. Atas
ketidaksukaan terhadap PKI, bangsa ini lewat Orde Baru menghalalkan 3 juta
darah anggotanya untuk dibunuhi. Hari ini kita pun masih merasakan fasis itu
dalam ketidaksukaan ideologi yang melimpah ruah di tengah demokrasi yang anti
klimaks ini. Kita belum mengenal kemanusiaan secara utuh, sedangkan Sjahrir
sudah melontarkan itu sejak tahun 1945. Kita menjadi penjajah (fasis) baru ditengah
kran demokrasi yang sudah dibuka untuk meng-akomodir bangsa ini bergerak lebih
baik. Bahkan kita tidak pernah sadar bahwa politik fasis menyelimuti demokrasi
kita. Fasis masih ada dalam partai politik, tokoh politik, system politik,
media, pemangku hukum, pendidikan kita.
Bung Kecil dan
Partai Politik
Membaca Sjahrir
dalam politik adalah membaca seorang founding fathers yang tidak ingin terjebak
populisme sempit. Sjahrir adalah seorang demokrat sejati bersama Hatta. Sangat
jelas karakter pendidik demokrasi ini saat-saat pahit di pembuangan. Sjahrir adalah
sosok yang sadar benar bahwa rakyat Indonesia sangat tergantung pada
sosok-sosok pendobrak seperti Soekarno, Hatta dan lainnya. Kemampuan rakyat
untuk mengeja akalnya sendiri, tentang Indonesia yang dibayangkan secara
konsepsi konstitusional sangatlah minim. Sejauh bayangan penulis secara pribadi,
negarawan secara konstutusional yang percaya dengan ideologinya dan
di-demokrasikan secara terbuka adalah M Natsir bersama kawan-kawannya di
Masyumi. Partai yang dibentuk atas pendidikan politik dan pengkaderan hasil Jong
Islamiten Bond (JIB) ini hadir dengan kader yang jelas dan tidak terjebak
populisme satu tokoh individu.
Sjahrir menulis
dalam Perjuangan Kita “Partai politik sebaiknya berbentuk partai kader dan
bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang
mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggungjawab
politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya
ke tangan pemimpin politik, dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi
menurut kehendak sang pemimpin”. Kita masih melihat demokrasi kita hari ini
jauh nilai dari apa yang dicitakan Sjahrir. Demokrasi yang terjebak pada
populisme itu pada akhirnya melahirkan otoritarianisme terselubung. Sjahrir dan
Hatta pada akhirnya memilih jalan demokratis dan menghindari sikap populis
Soekarno. Penulis tidak ingin menyudutkan sejarah Soekarno dalam tulisan ini,
karena Soekarno kita akui adalah anak zaman yang hadir untuk mengobarkan
semangat rakyat yang tidak punya kompas yang jelas tentang demokrasi. Kita juga
bisa membayangkan bagaimana Soekarno dengan tidak mudah berjuang “membayangkan
Indonesia” dan menyatukan negara-negara yang terpisahkan oleh ribuan pulau ini.
Sjahrir sadar-sesadar-sadarnya
bahwa bukan untuk berkonfrontasi dengan Soekarno dirinya membentuk Partai
Sosialis Indonesia. Tapi jauh dari itu Bung kecil ini menyadarkan kita dimasa
sekarang untuk menghindari jebakan populis satu tokoh yang membuat arah
demokrasi kita menjadi fasisme oleh individu yang terlalu kuat dan angkuh
mengkooptasi kebijakan. Ignas Kleden menambahkan, pada tahun 1948 dijadikan
dasar bagi partai politik yang didirikannya yaitu Partai Sosialis Indonesia
(PSI). Ahli ilmu politik dan Indonesianis terkemuka, Herbert Feith, menulis
bahwa PSI merupakan jelmaan politik sosial-demokrasi di Indonesia. Akan tetapi
menurut pendapatnya, partai ini lebih tepat dinamakan liberal-sosialis dari pada
sosial demokratis, seandainya saja istilah “liberal” dalam pemakaian bahasa
politik di Indonesia tidak telanjur diasosiasikan dengan kapitalisme yang tak
terkendali. Usulnya ini didasarkannya pada dua alasan. Pada satu pihak, istilah
“demokrasi” tak begitu cocok karena partai ini hanya mempunyai sedikit pengikut
di kalangan massa rakyat biasa.[4]
Keanggotaannya lebih
terbatas pada kalangan kelas menengah perkotaan yang berpendidikan tinggi,
sementara pengaruh politiknya tidak diperoleh melalui cara-cara populer seperti
rally politik atau mobilisasi. Pada pihak lainnya, partai ini memperlihatkan
suatu kekhasan yang membedakannya dari parta politik lainnya, dalam perhatian
besar yang diberikan kepada kebebasan individual, keterbukaan yang leluasa
terhadap paham-paham intelektual di dunia, serta penolakan tegas terhadap
berbagai bentuk obskurantisme, chauvinisme dan kultus pribadi. Sebetulnya
benih-benih organisasi PSI sudah ada semenjak 1932, saat Sjahrir dan Hatta
kembali dari studi mereka di negeri Belanda. Keduanya sepakat mendirikan PNI
Baru yang bertujuan mendidik kader-kader politik, sehingga para kader ini
sanggup meneruskan perjuangan kaum nasionalis, seandainya para pemimpinnya
ditangkap atau dibuang. PNI Baru, seperti kita tahu, tidak mempunyai banyak
waktu untuk berkiprah mewujudkan cita-cita tersebut, karena hanya dua tahun
kemudian pada 1934 kedua pemimpin itu ditangkap oleh pemerintah Belanda,
dibuang ke Digul dan selanjutnya ke Banda Neira dan baru dibebaskan pada 31
Januari 1942.[5]
Sjahrir menyatakan
bahwa, Gerakan kebangsaan yang memabukkan dirinya dengan nafsu membenci
bangsa-bangsa asing untuk mendapat kekuatan niscaya pada akhirnya akan
berhadapan dengan seluruh dunia dan kemanusiaan. Nafsu kebangsaan yang pada
mulanya dapat merupakan suatu kekuatan itu, mesti tiba pada satu jalan buntu
dan akhirnya mencekik dirinya sendiri dalam suasana jibaku. Kekuatan yang kita
cari adalah pada pengorbanan perasaan keadilan dan kemanusiaan. Hanya semangat
kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan dapat mengantar
kita maju di dalam sejarah dunia. Nyata pula bahwa kaum pemuda, terutama yang
terpelajar yang sekarang berkobar-kobar dengan semangat kebangsaan tak akan
dapat menjalankan terus kewajibannya sebagai perintis, jika semangat
kebangsaannya itu tidak diisi dengan semangat kerakyatan dan semangat
kemasyarakatan, demikian tulis Sjahrir pada tahun 1945
Demokrasi :
Kapitalisme atau Sosialisme?
Dalam memahami
demokrasi, pejuang-pejuang saat itu hampir semua memilih jalan sosialisme.
Mulai dari gerakan Pan-Islamisme Jamaludin al-Afghani, Serikat Islam Hos
Tjokroaminoto dalam bukunya “Islam dan Sosialisme”, begitu juga kaum nasionalis
seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Haji Agus Salim. Maka kita tidak
heran jika kemudian sosialisme komunis dan Sosialisme Islam Indonesia ini hadir
pada rahim yang sama Serikat Islam. Hingga pada akhirnya pecah menjadi SI Merah
dan Putih. Dalam semangat melawan imperalisme itu, Sosialisme adalah rujukan
perlawanan bangsa Timur atas penjajahan, juga sebagai jalan menghadirkan
kesetaraan kedudukan manusia. Sangat mustahil melawan Imperalisme Barat dengan
kolinialismenya (penjajahannya) dan kapitalisme sebagai induknya menggunakan
cara-cara di luar itu. Tan Malaka dan DN Aidit yang terlahir dari keluarga
Islam yang taat pun tidak heran jika kemudian memilih komunisme. Diruang ini
kita tidak dapat menemukan fakta yang jelas apakah keduanya meninggalkan ajaran
Islam, karena Komunisme beda dengan atheisme. Jadi hemat penulis menjadi
komunis tidak harus menjadi atheisme.
Begitupun Sjahrir
dan Hatta yang terlahir dari Sumatra Barat yang kental dengan Islamnya.
Mendirikan partai sosialis Indonesia adalah pilihan demokratis ditengah nalar
kebangsaan Indonesia yang sudah mejemuk sejak awal. Bahkan Hatta pernah
bercita-cita ingin mendirikan Partai Sosialis Islam Indonesia. Berbeda dengan
anak-anak didikan JIB oleh Haji Agus Salim, PSI yang didirikan oleh Sjahrir
adalah kumpulan intelektual menengah ke atas
dan mayoritas berasal dari kota. Sjahrir dalam memahamkan sosialisme
kerakyatan tujuannya adalah “membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan
kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia
terhadap manusia”.
KAMMI dan
Pemikiran Sjahrir?
KAMMI sebagai
organisasi yang sadar sebagai organisasi kader selesai untuk tidak terjebak
dalam organisasi populis. Kader KAMMI yang memimpin organisasi ini bukanlah
orang yang dipilih atas sikap pupulisnya. Tapi sejak awal KAMMI menyadari
dirinya untuk membangun kesadaran awal sebagaimana Sjahrir bercita-cita tentang
Demokrasi menolak populisme Soekarno (baca : Demokrasi Terpimpin). 67 tahun
negeri ini merdeka tentu tidak bisa disamakan dengan masa awal merdeka dan saat
itu negeri kita hanya memiliki segelintir intelektual yang berperilaku sebagai
seorang demokrat. KAMMI perlu membaca sejarah ulang bahwa Sosok demokratis itu
lahir atas penghargannya terhadap pendapat orang lain, ideologi orang lain,
komunitas orang lain. Sampai disini penulis menemukan sosok seperti Hatta,
Sjahrir, Tan Malaka, M Natsir, Haji Agus Salim dalam sosok demokratis. Cirinya
adalah pribadi mereka tidak menjadi pelaku dominan dalam organisasinya atau
partai politik yang mereka bangun.
Mereka adalah
sosok-sosok biasa, yang berfikir dan bekerja secara lauar biasa. Demokrasi yang
didinginkan Sjahrir juga tidak untuk memenangkan kekuasaan dan meraih kekuasaan
sebagaimana demokrasi hari ini. Lebih dari itu, Sjahrir memiliki cita-cita
besar untuk melakukan pendidikan politik sebagai bagian penting menjalankan
demokrasi yang benar untuk benar-benar memahami “demos” dan “kratos”. Maka akan
heran dan begitu primitif manakala suara akar rumput (grass root) dari sebuah
organisasi kader tidak menjadi bagian dari pendapat yang sah dari kedaulatan
rakyat akar rumput. Disini KAMMI perlu menyadari dirinya bukanlah organisasi
ketokohan secara kaderisasi, namun secara publik sangat mungkin dilakukan
sebagai bentuk kemampuan KAMMI menghadirkan sosok bermutu dan muncul di ruang
populis. Tanpa kemudian KAMMI harus terjebak untuk mengkiblatkan cara berfikir
KAMMI dimasa yang akan datang dengan tokoh populis hasil pengkaderan KAMMI
tersebut.
Organisasi KAMMI adalah
bentuk politik moral, ketegasan sikap bukan ketegasan pesanan para alumni yang
masuk diruang elit. Kebijakan KAMMI disaring dan dijaring dari tingkat bawah,
didiskusikan secara nasional dan menjadi wawasan nasional pada tiap problem
kebangsaan kita. Semua itu difasilitasi dengan cara struktural dan difikirkan
secara kultural (baca :terbuka). Kita optimis KAMMI sebagai generasi baru yang
memiliki cara pandang baru dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang otentik
akan bertahan sebagai pelaku etik. KAMMI dalam membaca Sjahrir misalnya harus
jujur sebagai bagian tokoh pahlawan dari ke-Indonesiaan kita. Bukan
mengenyampingkannya bersama tokoh Indonesia lainnya. KAMMI membaca Sjahrir
dengan porsi yang sama dengan tokoh Islam lainnya di Timur ataupun Barat. Sehingga
jejak-jejak ke-Indonesiaan KAMMI kokoh bersama sejarahnya yang telah kita baca
secara komprehensif.
Ignas Kleden menyebut,
Kebebasan dalam pengertian Sjahrir bukan sekedar kebebasan politik, tetapi
keluasan dan keleluasaan jiwa, yang memandang dunia dengan gembira tanpa
prasangka, yang tidak terhambat oleh kekangan dan kecurigaan-kecurigaan yang
sempit. Untuk jiwa klasik dunia akan serba luas dan bukan sempit dan picik,
hidup itu mulia dan tak pernah hina, seni selalu indah dan tidak jahat, dan manusia
adalah makhluk penuh bakat yang harus diolah dan dikembangkan. Kebudayaan akan
dibuat abadi oleh jiwa-jiwa klasik ini, politik menjadi perkara yang luhur, dan
ilmu pengetahuan akan terbuka cakrawalanya seluas kaki langit karena pikiran
dan jiwa sanggup menerobos batas-batasnya sendiri. Sangat mungkin Sjahrir
sendiri menyadari sedari awal bahwa politik dengan muatan moral yang demikian
berat, tak akan menang dalam waktu singkat, semata-mata karena tak terpikulkan
dan tak selalu dapat dipahami. Akan tetapi politik dalam artian Sjahrir
bukanlah suatu proyek, bukan sekedar program tetapi kehidupan itu sendiri.
Partai politik Sjahrir telah kalah dan dikalahkan oleh kekuasaan politik. Namun
yang tinggal pada kita adalah suatu etos politik yang memberi keyakinan bahwa
martabat manusia dan jiwa klasik tak selalu dapat dimenangkan, tetapi pasti tak
akan pernah dapat dikalahkan sampai tuntas buat selamanya. Dalam arti itu
Sjahrir memenuhi janjinya: dia telah mempertaruhkan hidupnya, dan dia telah
memenangkannya.
Daftar Pustaka
Ignas Kleden, Sutan Sjahrir: Etos Politik Dan
Jiwa Klasik, http://sosialis-indonesia.org
Rosihan Anwar, Tabiat yang Kita Warisi,
Pikiran Rakyat, 09 Maret 2005
Sutan Sjahrir, Perjoeangan Kita, 1945
[1] Direktur Eksekutif Adzkiya Centre (pusat kajian dan penelitian ekonomi syariah,
koperasi, dan green economics),, Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada, sesekali menulis di media cetak dan online. Website: www.dharmasetyawan.com dan www.adzkiyacentre.com, email : dharmasetyawan@rocketmail.com
0 komentar