Oleh : DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada
Direktur Eksekutif Adzkiya Centre
Berpolitik tidak
hanya menyangkut euforia untuk bergabung dengan sebuah lembaga partai
politik dan ikut menikmati manfaat kekuasaan di dalamnya. Hampir bisa dipastikan
di era demokrasi Indonesia saat ini peran partai politik hanya sebatas tempat
untuk menyalurkan syahwat kekuasaan dengan membeli partai politik sebagai
kendaraan menuju kekuasaan. Pilihan menjadi seorang politikus di partai politik
yang kian dikangkangi pemodal ini memang tidak mudah. Bukan hanya butuh
sosok-sosok cerdas, tapi butuh orang-orang baik yang berjuang melawan individu
yang menghegemoni partai politik. Jika partai kemudian berubah menjadi “fans
club” atas pengaruh kuat seorang tokoh, demokrasi di tubuh partai politik
sendiri mengalami gejala nir demokratis. Pada posisi tersebut partai politik
akan memainkan peran oligarki-dinasti kekuasaan- yaitu ruang demokratis tapi
rasa feodalisme.
Kita melihat pada
beberapa partai yang dianggap fans club ini. Pada ruang yang terbuka beberapa
partai menonjol pada diri seseorang seperti, Partai Demokrat yaitu SBY, Partai
Gerindra yaitu Prabowo Subianto, Partai Hanura yaitu Wiranto. Partai yang diisi
oleh pengaruh kuat mantan jendral ini harus kita sadari akan membuat demokrasi
semakin tidak dewasa dan modern. Pada proses pencitraan dua periode pemilu,
bisa terjadi sebuah gejala citra yang mampu menaikkan elektabilitas partai
secara signifikan. Dengan menguatnya ketokohan individu, partai tidak menjual
lagi platform ideologis tapi menjual nama besar tokoh. Pada tingkat pertarungan
politik lokal nama besar tokoh ini menjadi alat untuk meraup keuntungan
kekuasaan politik dan ekonomi.
Partai politik tidak
hanya menjadi alat kekuasaan tetapi menjadi alat perbuaruan rente ekonomi.
Perilaku korupsi para pejabat menjadikan politik adalah zat kotor bersarangnya
kuman kelicikan. Hidup mewah para politisi ini semakin diperparah dengan dugaan
para makelar di luar partai politik yang bermain sebagai kepanjangan tangan
proyek-proyek APBN. Partai yang tidak memiliki basis ideologi yang jelas untuk
rakyat, cenderung menjual ketokohan individu untuk merampok anggaran rakyat
dalam kekuasaan periodik. Lebih dari itu predatorik kekuasaan pasca reformasi
semakin komplek karena menggurita di setiap level lokal. Sehingga yang menjadi
tontonan umum, korupsi tidak hanya merambah pusat kekuasaan tapi juga pada
tingkat kekuasaan lokal di daerah-daerah.
H. Agus Salim Pemimpin Melarat
Tidak banyak yang mengetahui riwayat Haji Agus Salim. Seorang Pemimpin
yang hidupnya mengabdi untuk jalan politik dan negarawan yang sangat melarat.
Haji Agus Salim adalah satu sosok yang tidak akan mungkin terlahir kembali di
tengah demokrasi yang menyandra kita untuk dipaksa menjadi maling kontemporer.
Demokrasi yang tidak memberi ruang pada orang baik untuk berbuat sebaik-baiknya
dan memperjuangkan politik sesuai fasoen-nya. Haji Agus Salim seorang diplomat
yang tegas dan Menteri yang hampir tidak pernah menikmati kekayaan sejak
mewakafkan diri sebagai pejuang kemerdekaan.
Menurut Mohamad Roem (yang terkenal
namanya lewat perjanjian Roem-Rojen), Kehidupan Agus Salim sangat sederhana,
termasuk tempat tinggalnya. Menurutnya,“Agus Salim, kira-kira enam bulan sekali
mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya. Kadang-kadang
kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji Agus Salim berpendapat bahwa
dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan, yang manusia
sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi istirahat di
lain kota atau negeri”.
“Orang tua yang sangat pandai ini seorang
jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam
paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama
hidupnya melarat" demikian penilaian Prof.Schermerhorn yang ditulis dalam
catatan hariannya Senin malam tanggal 14 Oktober 1946. Dalam kisah yang dikutip
dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim. Rumah yang bocor malah dirasakan
sebagai suatu sukacita yang dapat menciptakan keasyikan bersama. “Pada suatu
masa, mereka menempati rumah buruk yang kakusnya telah rusak. Kalau disiram,
isi kakus itu malah meluap. Zainatun Nahar istrinya, benar-benar tidak tahan
dan setiap kali ke WC malah muntah-muntah karena jijik. Agus Salim kemudian
melarang istrinya menggunakan WC yang rusak itu dan ia sendirilah yang tiap
hari membuang pispot istrinya”.
Memang sulit menemukan kembali hal-hal
yang demikian pada pemimpin pada zaman saat ini. Agus Salim sebagai seorang
Menteri yang disegani dan terpercaya berdiplomasi dengan pemimpin-pemimpin luar
negeri mampu menyembunyikan keadaaan kekurangan yang sangat langka pada
kehidupannya yang bukan lagi sederhana. Tapi sangat melarat, Maka kata-kata
“memimpin adalah menderita” adalah resiko yang Agus Salim ambil dan semakin
membuat rakyat luas percaya bahwa benar-benar Pak Menteri itu sangat menderita
bersama keluarganya. Dan terbukti, tidak ada dalam kehidupan Agus Salim
mengeluh minta ditambah gaji atau fasilitas yang lain. Kondisi Indonesia yang
baru merdeka saat itu masih banyak ditemukan rakyat luas tidak dapat makan
dengan gizi yang cukup. Anak-anak memakai pakaian yang tidak layak. Jangankan
pendidikan, Negara yang sudah sangat tua sebagai budak Belanda sangat minim
menggapai kesejahteraan dalam waktu yang singkat. Kesejahteraan itu kini pun
juga hadir pada kelompok-kelompok terstruktur namun tidak merata. Kesejahteraan
dan kemelaratan kian menjadi jurang pemisah bagi keindonesiaan kita.
Agus Salim dan Istrinya juga tidak
mungkin mengatakan kepada public bahwa WC seorang Menteri yang tinggal dirumah
kecil kontrakan telah rusak. Agus Salim sangat paham dan menyadari bahwa
penderitaannya adalah bentuk wakaf dirinya sebagai seorang pemimpin yang
benar-benar mencintai dan dicintai rakyatnya. Prof.Schermerhorn yang menyanjung
Agus Salim sebagai seorang yang pandai bahasa
dan menulis dengan sempurna menelisik kehidupan dalam Agus Salim yaitu
kemelaratannya. Kemelaratan yang membuat Haji Agus Salim itu semakin tegar. Kemelaratan yang
membuat Haji Agus Salim itu semakin berjiwa besar. Agus Salim adalah sebagian contoh pemimpin
yang saat itu benar-benar berkorban dan menderita. Kita juga masih ingat Bung
Hatta yang tidak mampu membeli sepatu keinginannya hingga akhir hidupnya. Kita
juga tahu bagaimana Muhammad Natsir seorang perdana menteri yang menggenakan
baju bertambalkan aspal.
Kita saat ini merindukan sosok-sosok
itu hadir memimpin negeri ini bukan
untuk menjadi melarat, tapi kita rindu sosok-sosok itu hadir dalam ruang
kesederhanaan. Ruang yang akan menjadi dealektika kepercayaan antara pemimpin
dan rakyat. Sebuah bentuk kepemimpinan yang menjamah nurani rakyat penuh
keteladanan. Bukan sebuah kepemimpinan yang nir-akhlak, dan nir-sosial. Tidak perlu pemimpin hari
ini harus bersusah payah seperti Agus Salim. Pemimpin hari ini hanya dituntut
untuk Amanah, sederhana dan tidak korupsi!
0 komentar