Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Sumber : detik.com. |
Sejarah kolonialisme yang terjadi pada Negara dunia ketiga, bagaimanapun
adalah sejarah pelanggaran berat hak asasi manusia yang pernah ada. Tidak hanya
kerugian sumber daya alam dan manusia, tapi masa depan yang begitu sunyi
menghantui negeri-negeri pascakolonialisme. Berjalannya waktu dan diakuinya
manusia dalam kehidupan demokrasi yang lebih normal, tetap saja menyisakan luka
yang dalam. Soekarno yang pernah mengumpulkan Negara-negara pascakolonial dalam
sebuah pertemuan konferensi Asia-Afrika dilatarbelakangi visi besar untuk
menyatakan pada dunia bahwa Negara-negara terbelakang itu kini telah bangkit.
Untuk itu tidak heran Soekarno kemudian di juluki bapak Negara dunia ketiga.
Seorang pemimpin yang menyatukan nation tanpa pertumpahan darah. Sebuah harapan
baru yang membuat para pemimpin Negara-negara kulit berwarna itu punya harapan
sejajar dengan Negara kulit putih. Emosional kebangsaan yang dibangun kala itu
bukan sebuah meeting point zaman pasca perang dunia II, tapi konsepsi Soekarno
yang memiliki impian kuat bagaimana kawasan Asia-Afrika maju sejajar tanpa
manut dengan blok barat dan blok timur.
Puing-puing kolonialisme oleh Soekarno dan beberapa kepala
Negara Asia-Afrika lainnya ditanam dalam-dalam di bumi masing-masing. Semangat
anti kolonialisme dan kapitalisme kemudian menjadi jargon baru terhadap
hegemoni barat yang saat itu menderita kerugian ekonomi akibat habis-habisan
melakukan peperangan. Asia-Afrika yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah
mencoba bangkit dari derita panjang kolonialisme. Memang tidak mudah dan
akhirnya beberapa pemimpin-pemimpin Asia-Afrika ditumbangkan dengan cara-cara
keji. Fitnah, adu domba, permusuhan ideologi dilakukan Barat untuk menguasai
kembali sumber-sumber kekayaan alam dalam kontek korporasi (hegemoni perusahaan
asing di Negara-negara pascakolonial).
Kereta Kolonialisme
Peristiwa di atas mustahil dilupakan sejarah, lebih-lebih
kita yang terlahir di Negara-negara dunia ketiga. Atas nama apapun menyangkut
kemanusiaan, demokrasi dan perdamaian dunia adalah jargon kosong tentang
nasionalisme kita yang selalu terjajah. Baru-baru ini gambar panel Kereta Ratu
Belanda (LPS/SCN) menggambarkan masih melekatnya bayang-bayang kolonialisme.
Gambar symbol kejahatan masa lalu mereka yang menindas dan memeras bangsa
koloni. Gambar tersebut mengilustrasikan bangsa-bangsa kulit hitam, juga bangsa
berpakaian jawa sedang mengangkut barang-barang berat melayani tuan-tuan kulit
putih. Dan sebagian lainnya menyambah para tuan-tuan kulit putih. Gambar
tersebut menuai protes dari Het Landelijk
Platform Slavernijverleden (Platform Nasional Masa Lalu Perbudakan) dan Stichting Nederlandse Ereschulden
(Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda). Kerata Kencana belum lama melintas
di Kota Den Haag pada Selasa (18/09/2012). Sepanjang rute disaksikan ribuan
rakyat Ratu, para puteri dan pangeran kerajaan menaiki Kereta Kencana tersebut.
(Sumber : Detik.com di Den Haag)
Sisa-sisa kolonialisme selalu memberikan ingatan kepahitan
yang mendalam. Jika kemudian di era modern ini Negara-negara dunia ketiga sudah
berusaha sekuat tenaga membangun optimisme di puing-puing penderitaan masa
lalu. Negara dunia ketiga sekuat tenaga tidak membangun dendam dengan janji
keadilan di dunia internasional. Bahkan Negara dunia ketiga bekerjasama dengan
baik dari berbagai aspek ekonomi dan politik. Namun, Eropa (Belanda) faktanya
masih congkak dengan sisi manusianya yang tidak pernah egaliter. Apalagi ini
masih dilakukan oleh sebuah keangkuhan nyata kerajaan Belanda. Gambar
kereta yang menyibakkan luka dalam bagi kita adalah sejarah luka nenek moyang
kita yang terinjak tengkuk kemanusiannya oleh keserakahan. Gambar yang bukan
hanya menyakiti tapi hadirnya kembali Daendles-Daendles modern. Dan dalam dunia
kontemporer ini Daendles itu telah kita sadari masih menindas dengan berevolusi dalam modal multinasional. Eropa
yang rasis, fasis nir egaliter adalah fakta yang sulit dibantah. Kemodernan
yang dibangun, kemajuan yang ditegakkan dari hasil menghisap kekayaan alam
Negara dunia ketiga.
Menolak Lupa Kolonialisme
Soal kemandirian Soekarno sudah lama mengingatkan. “Sumber
daya alam yang melimpah itu, walaupun sampai beberapa keturunan tetap biarkan
saja di dalam bumi hingga kelak lahir generasi yang mampu mengolahnya dari pada
harus dikuasai asing”. Tentang kemerdekaan tidak sebatas selesai Negara dunia
ketiga lepas dari penjajahan fisik yang mendera. Lebih dari itu, Negara dunia
ketiga juga harus mampu melepaskan ketergantungan terkait kebijakan ekonomi
yang jauh dari bentuk didekte oleh asing. Hadirnya modal multinasional yang
menguasai sumber daya alam di Negara-negara dunia ketiga adalah penjajahan yang
masih kuat menghujam jantung Negara pascakolonialisme. “Jangan sekali-kali
melupakan sejarah (jas merah)” imbuh Soekarno. Kelak kita akan mengerti kenapa
ini harus diceritakan. Agar kita mengerti bagaimana kebangsaan ini dibangun.
Kita tidak mungkin berpura-pura bodoh dengan keadaan masa
lalu yang menyakitkan bangsa ini. Kita tidak boleh luruh bahwa bahwa
kolonialisme benar-benar hilang dari peredaran. Berabad-abad nenek moyang kita
mengadakan perlawanan. Ben Anderson menyebutkan bagaimana nation tentang tanah
air dan agama adalah modal besar Negara dunia ketiga lepas dari kolonialisme.
Jika kita diam saja dengan drama kotor pihak kerajaan Belanda, sejak dini kita
harus tanamkan nasionalisme bangsa ini dari titik awal revolusi dulu. Dimana
founding fathers kita meyakini dengan kuat perjuangan belum selesai.
Sebagaimana tokoh Minke berpesan dalam Jejak Langkah “Didiklah rakyat dengan
organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”. Kita mesti sadar untuk
membangun kemanusiaan yang utuh bagi semua bangsa!
0 komentar