Oleh
: DHARMA SETYAWAN
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam
pikiran apalagi dalam perbuatan” (Pramoedya Ananta Toer)
Tawuran pelajar, mahasiswa dan perilaku premanisme
pendidikan semakin tidak terkendali. Melihat tontonan kejam di televisi, mereka
yang seharusnya memegang pena, buku dan alat-alat laboratorium keilmuan, kini
terlihat nyata di jalanan membawa rantai, pedang, batu dan bom molotof. Bak
perang melawan penjajah, sayangnya mereka menghabisi kawan-kawan bangsanya yang
bisa jadi kelak menjadi patner hebat membangun negeri ini. Mereka yang telah
membunuh kawannya, menyobek perutnya dengan clurit pun merasa puas. Teori
Darwin ‘Organisme Struggle’
benar-benar diresapi oleh mereka yang hidup untuk saling meniadakan. Yang
muncul di media kita bisa jadi hanyalah fenomena gunung es. Di
lapangan kita melihat secara telanjang bagaimana para peserta didik dan masa
depan bangsa ini menjadi pribadi yang tidak berkarakter. Pendidikan adalah
kunci peradaban yang harus dibangun dalam sebuah bangsa. Kita lihat kemajuan
tiap-tiap Negara mereka memiliki soft power dan hard power untuk memberi
proteksi terhadap ancaman pendidikan. Dari dalam pendidikan sendiri Kementrian
pendidikan memang mencanangkan tentang pendidikan berkarakter. Yang menjadi
keprihatinan bersama adalah bahwa bangsa ini tidak hanya krisis generasi
berkarakter, tapi mengalami krisis pendidik yang berkarakter.
Apa yang salah di negeri ini? Siapa yang mendidik mereka
jadi mesin pembunuh masal? Atas nama apa mereka mengacungkan benda tajam dan
membabi buta? Dimana letak demokrasi dan HAM kita? Dimana letak hukum negeri
ini? Senangkah televisi dengan aliran pundi uang dan memiliki andil besar
meng-erosi karakter bangsa ini? Pornografi, citra seksualitas, sinetron pendidikan
alay, dan artis-artis nir budaya. Dimana letak regulasi Pemeritah untuk
menghadirkan aturan tontonan yang bermutu di media kita? Negara yang besar ini,
Negara yang pernah menjadi pembela kuat penolakan kolonialisme dan imperialism.
Negara yang pernah menjadi pencetus berkumpulnya negeri eks koloni (Konferensi
Asia Afrika). Negara yang pernah memiliki presiden berdikari. Negara yang kita menemui
keindahan surga di dalamnya, keindahan nusantara dan kekayaan alamnya. Bangsa
kita digilas zaman, bangsa kita diserang secara perlahan, bangsa kita di bombardir
mabuk modernisme. Negara kita dijajah dengan cara-cara yang lebih tidak
manusiawi dari pada kolonialisme itu sendiri.
Kita ingat sebuah cerita dalam film Tin-Tin bagaimana sebuah
penduduk hutan yang di dalamnya ada sumber daya alam luar biasa telah
dihancurkan. Beberapa kali pihak asing mencoba memasuki hutan tersebut namun
mereka selalu saja kalah oleh jebakan penduduk pribumi di hutan. Banyak tentara
yang tewas di dalam hutan karena ingin mengambil kekayaan di dalam hutan
tersebut. Pada akhirnya mereka menemukan cara dengan memberi minuman wisky yang
di berikan lewat udara dengan pesawat. Akhirnya penduduk pribumi mabuk dan
mencandui minuman tersebut. Dengan mudahnya tentara asing dapat memasuki hutan
tanpa harus membunuh karena penduduk pribumi lalai dan tidak memiliki karakter
keberanian. Negeri ini juga telah diserang dari berbagai arah. Lewat
pendidikan, media, dan kebudayaan dan lainnya.
Di dunia pendidikan kita tidak lagi melihat adanya narasi
sastra yang menggelora. Di pendidikan kita berlaku konsep perusahaan dimana
pendidikan focus pada untung. Buku mahal tiada ampun tanpa subsidi yang serius
dari pemerintah. Kita miskin narasi, tidak mencintai lagi pantun, puisi,
gurindam yang mampu menggelorakan anak-anak didik kita sebagaimana Soekarno
mengucap “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Kita melihat di pendidikan
kita diajarkan bagaimana mendapat nilai bagus dengan cara-cara non kejujuran.
Hanya angka-angka yang menjadi orientasi pendidikan, bukan nilai (value)
kemanusiaan yang kini semakin kita sulit definisikan. Karakter bangsa ini juga
hilang dengan perilaku pendidik yang semakin tidak berkarakter. Mengutip
ungkapan Anis Baswedan seharusnya para pendidik yang lebih dulu dituntut untuk
memiliki karakter. Sehingga generasi kita secara perlahan mewarisi
karakter-karakter baik yang kita harapkan. Keberanian, kejujuran, sopan-santun,
juga hadir di keluarga dimana orang tua di rumah juga harus memiliki andil
besar mengajarkannya.
Media kita juga harus memberi suguhan yang bermutu untuk
bangsa ini. Sinetron yang mencerahkan. Media yang memberikan suguhan pornografi
dan pornoaksi seharusnya ditegaskan oleh pemerintah untuk menghentikan
ketidakmutuan program mereka. Rupiah yang hari ini di dapat media, jauh lebih
sedikir dari kerugian yang sebenarnya dialami bangsa ini akibat generasi yang
mengalami kerusakan moral. Narkoba, minuman keras, moral agresif secara
langsung atau tidak di dapati dari menonton acara sinetron-sinetron yang tidak
bermutu.
Kebudayaan kita telah tergerus. Kita kehilangan karakter
dari produk bangsa sendiri. Kita teriak-teriak ketika melihat budaya kita di
klaim Negara lain yang sebenarnya masih satu bangsa dan satu rumpun. Namun
diluar itu kita yang tidak mengklaim tapi mempraktekkan langsung budaya bangsa
lain yang tidak bermutu. Mulai dari artis-artis Korea yang tidak memiliki
musikalitas seindah music nusantara. Gaya rambut, pakaian dan segudang style
yang kita semakin krisis mengenali bangsa yang telah dijajah secara holistik
ini. Kita butuh perubahan dan perlawanan entah itu dari mana harus dimulai?
3 komentar
Setuju.. Disamping pendidikan formal seharusnya pendidikan akhlak memang harus ditekankan di negeri kita.. nice article...
BalasHapussangat setuju,,, pendidikan ahlak adalah hal yang harus menjadi pondasi
BalasHapussekalian mampir ya
http://srimol.blogspot.com/
siap!
BalasHapus