Oleh : DHARMA SETYAWAN
Humas Himpunan Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Jakarta telah menyelesaikan perhelatan Pilkada untuk mencari
Gubernur baru. Hasil Quick Count Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan
pasangan Jokowi-Basuki 53,68 % unggul dari Foke-Nara 46,32%. Jakarta dalam
sejarah kolonialisme pernah bernama Batavia yang kemudian setelah direbut oleh
Fatahillah kembali diubah menjadi Jayakarta. Dalam proses perjalanan waktu
kemudian nama Jakarta menjadi nama paling permanen dan menjadi Ibukota
Indonesia. Dalam studi post-kolonialisme Jakarta sebagai pusat pemerintahan
adalah beban sejarah sendiri. Batavia (Jakarta) yang pernah menjadi pusat
pemerintahan Hindia Belanda menjadi arus perdagangan internasional. Atas dasar
kesejarahan hitam itu Bung Karno ingin memutus mata rantai Jakarta sebagai
pusat pembangunan yang yang saat itu nir keadilan. Kota Palangkaraya di
Kalimantan telah disiapkan oleh Bung Karno agar keadilan pembangunan dirasakan tidak
hanya untuk jawasentrisme. Atas dosa sejarah para penguasa bergaya Priayi
kolonialisme cita-cita tersebut kandas dengan tumbangnya Soekarno dengan cara
keji.
Kaum Priayi
Kolonialisme
Sampai saat ini Jakarta menjadi pusat pemerintahan Indonesia
sekaligus beban sejarah kita tentang ketimpangan pembangunan di wilayah
Sumatra, Kalimantan, Papua dan lainnya. Munculnya kaum Priayi telah
melanggengkan proses kolonialisme itu sendiri. Priayi adalah hasil dari
perkawinan kolonialisme dan feodalisme. Mereka menjadi pribumi yang ditunjuk
sebagai kepanjangan tangan para kolonialisme. Kaum Priayi yang menjadi
bandit-bandit pribumi bekerja untuk menakuti rakyat, menyenangkan kompeni dan
menariki upeti dari rakyat jelata, membayar jawara-jawara Jawa untuk mengambil
rempah-rempah di luar pulau Jawa demi kesenangan kompeni. Mental Priayi inilah
yang diwariskan oleh Belanda sehingga sering kita jumpai hari ini pribumi yang
berpenyakit kompeni. Sebagai pejabat pemerintahan bersikap arogan, menariki
pajak, membayar Satpol PP menggebuki rakyat, rendah pelayanan publik dan tinggi
korupsi anggaran publik.
Kesadaran sejarah kita yang terlalu buta menyebabkan kita
mendefinisikan kemerdekaan secara sempit. Kemerdekaan yang kita pahami sebatas
kita tidak didatangi kompeni-kompeni berhidung mancung, bertubuh besar dan
berkulit putih. Kita lupa menyadari perilaku keji kolonialisme telah hinggap
pada daerah yang dijajah sehingga pribumi-pribumi kehilangan nasionalisme dan
menindas satu sama lain. Bangsa pasca-kolonialis faktanya mengalami luka batin
berat dengan kehilangan nurani kemanusiaan untuk hidup lebih beradab. Tidak
hanya kekayaan alam mereka yang terkuras tapi sikap patriotisme yang surut dan
kering kerontang. Selain itu, kemiskinan menjadi problem besar bangsa ini
karena kemiskinan identik dengan kelaparan dan kelaparan menjadikan kita mudah
marah dan anarkisme.
Akibat magnet metropolitan yang kuat, Jakarta menjadi symbol
keangkuhan kota. Tanpa disadari magnet itu kian parah menjadi kekumuhan yang
berkepanjangan. Kepadatan penduduk yang riuh, Kemacetan yang terlampau akut
menjadikan udara Jakarta kian sumpek bersamaan dengan politik yang semakin
gaduh. Pola kehidupan yang abnormal serta individualisme yang kejam menjadikan lingkungan
kota itu semakin kotor dan bernyali kuman. Banjir kemudian menjadi tamu tak
diundang di setiap tahun. Entah terlanjur bengal dengan keadaan atau warisan
jawasentris yang terus dipertahankan, Jakarta tetap menjadi magnet yang semakin
menyesatkan. Anggaran 5 tahun 140 triliun terbesar diantara 33 propinsi
se-Indonesia tidak cukup menyelesaikan konflik ekonomi, sosial, budaya dan
politik habitat didalamnya.
Jokowi untuk Jakarta
Jokowi sosok pemimpin ngemong dari Solo akhirnya ditransfer,
beradu pemilu untuk membenahi Jakarta. Tidak tanggung-tanggup Jusuf Kalla,
Megawati dan Prabowo memback-up nyali besarnya. Kita memang berbangga, Jokowi
adalah negarawan yang menghadirkan sikap lokal jenius. Pembukiannya di Solo
yang meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari 50 miliar menjadi 186
miliar adalah fenomena. Memanusiakan para pedagang kaki lima tanpa ada
luka-luka, adalah bagian dari kearifan budaya. Jokowi juga membangun pasar
tradisional dan menaikkan harkat martabat ribuan pedagang tradisional yang di
gencet kapitalisme. Total 17 pasar tradisional telah dibangun dengan bangunan
mewah bergaya Cina, Moskow dan Eropa hanya untuk pedagang lokal. Penolakan
terhadap mall dan supermarket mencirikan dirinya adalah nasionalisme sejati.
Dukungannya terhadap Mobil Rajawali Esemka adalah keberanian yang langka
melawan kapitalime di dunia transportasi. System kartu dalam pelayanan pendidikan
dan kesehatan adalah cara kerja modern yang memihak wong cilik.
Jakarta hanyalah bagian dari problem pembangunan daerah di
negeri ini. Namun setidaknya kemenangan Jokowi adalah kemengan rakyat yang
lebih percaya pada kemampuan sosok. Partai-partai besar pengusung Foke-Nara
sedini mungkin menyadari bahwa Partai semakin mengalami erosi kepercayaan. Jika
Jakarta kelak menjadi lebih baik ditangan Jokowi, rakyat harus sejak dini sadar
bahwa daerah yang lain menunggu untuk dibangun secara baik, tranparan dan
manusiawi. Jangan ada lagi mental-mental kolonialisme hinggap di negeri ini.
Hinggap di Politisi, Birokrat, Pendidik, Pengusaha dan Rakyat yang saling tiarap
jika ada penindasan. Saat demokrasi harus digunakan, rakyat harus melawan dan
mencari sosok-sosok lain yang baik.
Terakhir penting disadari bahwa saatnya kita menghentikan
untuk memandang Jakarta sebagai segalanya. Kita sudahi Jakarta sebagai sebuah magnet
yang menyesatkan. Dan kita dukung generasi-generasi selanjutnya untuk membangun
daerahnya. Negeri ini telah berlimpah ruah kekayaan alam. Di sepanjang Sumatra
kita melihat karet, sawet, kopi berjejer-jejer mesra. Di Kalimantan kita lihat
batubara, gas menangis digali oleh kapitalis Malaysia dan Singapura. Di Papua,
lama kita diam bahwa emas dan uranium semakin dalam dikuras oleh Freeport milik
asing. Jawa saatnya memberi kesempatan pada pulau lain untuk bangkit mengukir
kebangkitan ekonomi Indonesia. Kita sudahi Jakarta sebagai lintah penghisap dan
membuat kurus masyarakat di luar jawa. Gaya Priayi kolonialis kita buang
bersama dari titik Jakarta yang lebih manusiawi dan beradab.
Pramoedya Ananta Toer pernah berucap dalam tulisannya
tentang Djakarta. “Aku kira takkan habis-habisnja ngomong tentang Djakarta
kita, pusat pemerintahan nasional kita ini. Setidak-tidaknja aku amat berharap
pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke Djakarta untuk menambah djumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan
daerahmu sendiri. Apakah karena itu engkau jadi federalis, aku tak hiraukan
lagi. Dulu sungguh mengagetkan hatiku mendengar bisikan orang pada telingaku :
mana jang lebih penting, kemerdekaan ataukah persatuan? Dan kuanggap bisikan
ini sebagai benih-benih federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme
setjara sadar dianggap djuga sebagai kedjahatan atau tidak! Setidak-tidaknja
aku tetap berharap kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanja kau
melantjong ke ibukota untuk mentjontoh kefatalan di sini. (Pramoedya Ananta
Toer : Djakarta,17-12-1955).
5 komentar
ungkapan pram di paragraf terakhir begitu menusuk bro....
BalasHapussedih juga aku tahun 1955 tulisan itu dibuatnya tapi kita tidak pernah mengambil pelajaran para Indonesianis.
BalasHapusJakarta itu memang selalu rakus melahap perhatian, merasa bahwa di Indonesia ini hanya ada irinya saja :D
BalasHapusaq malah tertarik dg model pembagian fungsi kota ng Aussie,
BalasHapussmw kebagian ada pusat administrasi pemerintahan, bisnis, pendidikan. spt Sidney, Canberra, Mellbourne dll.
lah di Indonesia koq kabeh ng Jakarta...
Weh aku belum pernah ke kota-kota itu bos. Doakan saja nanti kesana.
BalasHapus