Oleh : DHARMA SETYAWAN
Pramoedya Ananta Toer telah lama mengeja dalam karya sastranya
tentang konflik modal era feodalisme dan kolonialisme. Pram memang kencang sinis
dan begitu hebat membenci kapitalisme yang membingkai kebodohan para pecundang
priayi. Sebagaimana ditafsirkannya, para priayi yang terlahir dari perkawinan
kolonialisme dan feodalisme menjadikan embrio priayi sebagai kepanjangan dari
politik birokrasi kolonialisme pemerintahan Hindia Belanda. Bukan hanya soal
rempah-rempah dan hasil tambang Indonesia bentuk praktek seperti ini terjadi,
lebih dari itu adalah upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk merebut paksa modal
dan melanggengkan kolonialisme yang begitu masif. Brirokrasi yang dijalankan
para priayi telah lama menghancurkan kelas menengah pribumi yang sulit
berkembang. Bentuk perkawinan kolonialisme dan feodalisme ini telah melahirkan
budaya panutan, dimana rakyat ikut atas pikiran para priayi. Sehingga mereka
dibiarkan sibuk menderita dalam erosi modal dan kebodohan yang gelap.
Modal dalam pergulatan panjang menjadi mata air yang
berharga demi memuaskan dahaga Eropa ratusan tahun yang lalu. Alih-alih dahaga
itu sembuh, malah sumber air hancur beserta habitat sekitar yang meraung-raung
kekeringan batin. Modal telah menjadi malapetaka antar bangsa yang saling
agresif memangsa. Modal semakin menjadi alasan pertarungan antara individu dan
individu, antar individu dan kelompok atau antar kelompok dan kelompok. Modal
kian merasuk dalam tubuh segelintir individu dan juga korporasi (perusahaan
multinasional). Modal menjadi tujuan hegemoni paling ramai pada perebutan jalan
panjang manusia berbangsa. Ekonomi menjadi sumpek bagi mayoritas rakyat yang
sejak awal keras membanting tulang. Lebih jauh Pram menggali semakin dalam
dengan narasi sastra “Anak Semua Bangsa” yang menjadi bagian dari tetralogi
buru. Novel ini adalah kelanjutan setelah Masterpeace
“Bumi Manusia”. Karya ini adalah wawasan kebangsaan yang dipantik dalam balutan
sastra ala Pram untuk menyadarkan semua tentang membangun keadaban.
Definisi modal diracik dalam dialektika yang ranum. Ter Har
sebagai tokoh yang mencerca Minke dengan tema modal membukakan arti penting
bahwa kapitalisme adalah gejolak perih berabad-abad lamanya. “Yang dikatakan
modal lebih dari pada hanya uang, Tuan. Sesuatu yang mujarad, abstrak, punya
kekuasaan gaib atas benda-benda nyata. Semua yang menyebabkan segala yang
berpencaran berkumpul, yang berkumpul berpencaran, yang cair jadi beku, yang
beku dicairkan. Segala berubah bentuk dalam genggamanya. Yang basah dia bikin
kering yang kering jadi basah. Dewa baru yang mengepal seluruh dunia. Membosankan
memang, tapi nyata. Produksi, dagang, tetesan keringat, angkutan, hubungan,
saluran dan tak ada satu orang pun dapat bebas dari kekuasaan, pengaruh dan
perintahnya. Dan, Tuan Minke, cara berpikir, cita-cita, dibenarkan atau tidak,
direstui atau tidak olehnya juga.” (Anak Semua Bangsa : 395).
Sejarah panjang itu kini tidak berubah arah. Kelas Priayi
masa itu menjadi birokrasi kolonial sekarang berganti rupa dengan pemerintahan
yang tetap menyenangkan modal multinasional. Jika dulu bangsa priayi banyak
menguras kekayaan alam di luar jawa untuk memberi pundi modal pada Batavia
(ibukota Hindia Belanda saat itu), kini pun pemerintah di daerah bersama priayi
aparat menjadi alat hisab masif tambang untuk menjadi lahan korupsi pemerintah
pusat. Kelas Priayi masa lampau menggunakan cara-cara kekerasan bahkan dengan
mengirim para jawara-jawara jawa untuk merebut rempah-rempah Sumatra, Kalimantan
dan lainnya. Kini perampasan tambang itu lebih dilegetimasi oleh para
pihak-pihak militer yang dengan rapih dan sigap mengamankan perusahaan tambang
atas kongkalikong pejabat dan modal asing jika terjadi perlawanan rakyat. Tiada
yang membedakan bentuk-bentuk mental kolonialisme tersebut.
Perlawanan yang dilakukan Aceh ditegaskan Pram sebagai
daerah yang tidak mampu ditembus oleh Belanda walaupun telah mengirim berjuta
gulden, para priayi, dan juga senjata dan para jawara jawa. Aceh tetap tegar
berdiri dengan gagah hingga saat ini dijajah halus oleh pemerintahnya
sendiri. Merdeka atau dalam suasana kolonialisme, Aceh dan daerah lainnya di
Indonesia belum menemukan keadilannya sebagai bagian dari Indonesia. Andaikan
tidak adanya sikap ber-Tuhan dan nasionalisme kebangsaan tentu Aceh layak
merdeka dengan berbagai ketidakadilan yang diciptakan oleh kolonialisme ataupun
pemerintah pasca merdeka. Begitupun dengan Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang
dengan warisan kolonialisme. Pemimpin
negeri ini rela menembaki rakyatnya dengan senjata yang diambil dari pembayaran
pajak mereka. Militer hari ini begitu setia pada birokrasi bermental kolonial dan
semakin menegaskan bahwa perkawinan kolonialisme dan feodalisme dulu masih
terus melahirkan priayi-priayi modern yang bersenjatakan timah panas.
Tentang modal Pram begitu jernih mengulas siapa sebenarnya
para priayi masa kini dan masa depan. Mereka yang menggunakan kekerasan,
cara-cara menakuti para rakyatnya, birokrasi korup, menjual harga diri demi
sebuah percikan kecil modal dari system Kapitalisme, bermain kasta, menuding
para jelata adalah generasi para priayi modern. Dalam khotbah sastranya Pram
melalui tokoh Miriam dan Minke berdialek mengenai ajakan menjaga keadaban
bangsa. Ajakan untuk lebih manusiawi dan
membuang nurani Iblis bangsa Jawa, Hindia, Eropa dan dunia. Miriam kepada Minke berucap,“Mari kita
bekerjasama melakukan apa saja yang baik untuk Jawa, Hindia, Eropa dan Dunia.
Kita perangi bersama-sama kejahatan Eropa, Jawa, Hindia dan dunia bersama-sama.
Sebagaimana telah dilakukan para humanis besar sebelum kita, dan khusunya
Multatuli dengan hidupnya yang menderita selama itu. (Anak Semua Bangsa : 145).
Pram memang begitu cinta Indonesia, dia memang Indonesianis
yang sulit untuk terlahir kembali. Sastrawan jenial yang berfikir mesra dengan
sastra. Menarasikan persoalan yang rumit dalam nalar sederhana namun mendalam.
Pram memang bukan ekonom, tapi dia sadar bahwa penghianatan adalah iblis yang
kejam dalam melawan kolonialisme dan feodalisme. Sebagai penggemar Multatuli,
Pram mengajak kita semua mendalami lebih spesifik apa penyebab modal bangsa ini
baik moral maupun material selalu hilang dan terkuras. Kesalahan buhan hanya
pada penjajah, tapi ada segelintir mental para pribumi yang berubah kelas dan
ikut menjadi penjajah. Penjajah terselubung faktanya lebih berbahaya. Karena
Soekarno pun begitu keras menggambarkan bahwa musuh di pasca kemerdekaan
memiliki kulit, mata, hidung dan tubuh yang sama dengan kita. Berbeda dengan
para kolonial Hindia Belanda yang bertubuh besar, berhidung mancung dan berkulit
putih tentu kita dapat jelas mengenalinya.
Pram juga menggambarkan bagaimana falsafah Jepang begitu
menyiratkan perlawanan akan hegemoni modal. Walaupun Jepang juga menjajah
Indonesia 3,5 tahun dengan sangat pahit. Namun sejarah Jepang adalah buah fikir dan
komitmen Jepang untuk bangkit mandiri dan menjadi bangsa besar. Pram
mengungkapkan “Negeri Matahari Terbit, Negeri Kaisar Meiji itu berseru pada
perantaunnya, menganjurkan : belajar berdiri sendiri! Jangan hanya jual tenaga
pada siapapun! Ubah kedudukan kuli jadi pengusaha, biar kecil seperti apapun;
tak ada modal berserikat, bentuk modal! Belajar bekerjasama! Bertekun dalam
pekerjaan! (Anak Semua Bangsa : 59)
Dialektika modal ini belum selesai, sampai kapanpun. Sampai
kita yakin, dan setelah sadar nanti, setelah besar nanti, setelah makmur nanti
kita tidak akan menggunakan kekuatan kita untuk menghegemoni bangsa lain. Kita
tidak akan menjadi bangsa pendendam jika kelak kita adalah bangsa beradab.
Sebagaimana cita-cita Pram yang akan sama-sama berkerjasama dengan bangsa
siapapun untuk mengusir Iblis dari percokolannya di dunia modal.
2 komentar
Pram, salah satu orang yang bisa menuliskan sastra dengan sangat lelaki :)
BalasHapusbenar banget!
BalasHapus