Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
“Selama saya menjadi
pemimpin dan pengisi “Hindia Baru” (surat kabar milik Pemerintah Belanda), saya
tidak berbuat seperti Pemimpin Sarekat Islam dan kalau saya menulis tajuk
rencana saya tidak berfikir seperti dalam rapat partai. Saya melihat dihadapan
saya rakyat Indonesia pada umumnya. Saya memikirkan apa yang menjadi
perhatiannya. Apa yang umumnya disukai dan tidak, apa yang dipandang tidak
adil. Saya berusaha benar-benar agar “Hindia Baru’ menjadi harian umum (bukan
corong Belanda atau kepentingan golongan Partai). Dalam hal ini saya mendapat
kritik dari kawan-kawan sendiri. Banyak kawan-kawan partai mengirimkan karangan
yang tidak saya muat, karena kurang bermutu, atau hanya bermutu bagi partai.
Akan tetapi mengenai peri kehidupan ; dan pendapat saya tentang Pemerintah
Hindia Belanda serta kebijaksanaanyya, saya tidak bersedia tawar-menawar. Hal
tersebut diketahuinya. Dan itulah juga syarat waktu saya menerima memimpin
Hindia Baru”.[1]
Kata-kata Agus Salim
di atas adalah bukti konsistensi bahwa ideologi jurnalisme tidak dapat dibeli
dengan apapun. Pers bagi Agus Salim adalah yang sama pentingnya dengan
perjuangan politik karena pers adalah bagian dari Kutub Kekuasaan. Agus Salim
sangat tahu apa dan bagaimana pers harus bersikap dan harus membela kepentingan
hak-hak rakyat yang tertindas. Agus Salim lebih memilih meletakkan jabatannya
sebagai pemimpin surat kabar “Hindia Baru”.
Surat kabar itu didirikan tahun 1925 di Djakarta (ejaan lama Jakarta). Pilihan
itu pun pada akhirnya menjadikan sebuah jalan sulit karena pendapatannya
berhenti dan Agus Salim harus berpindah kontrakan rumah. Sebagai “Hoofdredacteur” dirinya mengisi tajuk
rencana dan mengisi ruang “Mimbar Jumat”,
serta mengatur cara dan bentuk pemberitaan harian. Oleh Agus Salim “Mimbar Jumat’ diisi dengan khotbah jumat
yang saat itu masih sangat asing.
Menurut Roem “Khotbah di mesjid-mesjid umumnya masih dalam
bahasa Arab, yang hanya dimengerti oleh mereka yang tahu bahasa itu.
Perkumpulan seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (PERSIS) masih berjuang
untuk meyakinkan para Ulama di Indonesia, bahwa khotbah Jumat disamping membaca
ayat-ayat Quran dan doa dalam bahasa Arab, tidak melanggar Syariat Islam, bila
disertai tafsiran dan penjelasan dalam bahasa melayu atau bahasa daerah yang
dimengerti para jema’ah”.[2]
Memang Agus Salim sangat lantang dan ideologis. Sebelum
bersedia memimpin surat kabar itu, Agus Salim mengajukan persyaratan bahwa ia
akan kerjakan dengan kebebasan. Agus Salim tidak ingin pers menjadi corong
pemerintahan Belanda atau corong kepentingan golongan Partai. Agus Salim
menginginkan bahwa surat kabar adalah alat untuk memperjuangkan hak-hak
keadilan untuk rakyat. Maka Belanda yang memiliki surat kabar tersebut awalnya
menyetujui, tapi ketika Agus Salim menggunakan surat kabar itu untuk mengkritik
Belanda, hal itu dirasa mengganggu otoritas Belanda sebagai Pemerintahan kuasa
saat itu. Maka ketika Belanda melakukan tawar menawar atas tulisan-tulisan yang
sangat tajam mengkritik pihak mereka, Agus Salim memilih untuk menghentikan
kerjasama. Jawab Agus Salim ‘ Kalau saya terus menulis, maka saya hanya ada dua
kemungkinan : saya tidak memperdulikan permintaan pemilik harian atau saya
menyerah, dan berkompromi dengan hati nurani saya”. Dan Agus Salim lebih
memilihhati nurani tanpa kompromi dan memilih berhenti menjadi pemimpin surat
kabar Hindia Belanda.
Kesadaran Agus Salim tentang pers Ideologis yang membela
rakyat ini memang sangat diacungi jempol. Kala itu masyarakat memang banyak
yang tidak bisa membaca, tapi Agus Salim sudah sangat memahami bahwa
kerja-kerja pers sangat fundamen untuk menyuarakan dan menyatukan gagasan para
intelektual yang jumlahnya terbatas saat itu. Sejarah juga mencatat, Agus Salim
beberapa kali mendirikan dan memimpin beberapa surat kabar di pra-kemerdekaan.
Pada tahun 1917-1919 Agus Salim bekerja di Balai Pustaka dan juga memimpin
surat kabar “Neratja” (Neraca) yang
sangat besar pengaruhnya. November 1927 Agus Salim dan Hos Tjokroaminoto
mendirikan surat kabar “Fadjar Asia”.
Roem menyatakan bahwa pemikiran kedua tokoh di atas saat itu sudah melampaui
batas-batas Indonesia. Sehingga Fadjar Asia adalah media internasional yang
didirikan oleh Tokoh Islam saat itu. Dan pada tahun 1931-1932 memimpin harian “Mustika” di Djokja, satu-satunya harian
Islam terbesar di Indonesia saat itu.
Saat usia tuanya Agus Salim tetap menjaga literasi
menulisnya. Pasca pensiun dari aktifitas politik, Agus Salim masih bergiat
aktif dalam dunia jurnalis. ST. Alamsjah menuturkan “Karang mengarang dalam
madjallah mulai kelihatan pula satu persatu. Sebagai pengarang caliber besar,
nama Salim belum dapat dihilangkan. Tulisannja masih hangat dan berisi. Susunan
kalimatnja masih gemuk dan menarik hati. Karena itu Salim belum boleh pensiun
sebenarnja dari perdjuangan Indonesia ini. Kalau tidak di medan politik, dan
kalau tidak di medan diplomasi, maka medan surat kabar adalah penting pula dan
banyak memberi hasil”.[3]
Agus Salim adalah pionir jurnalisme ideologis di Indonesia.
Dari buah kerjanya banyak generasi-generasi yang tergugah untuk memainkan literasi
ilmiah lewat surat kabar. Agus Salim bukanlah sosok pegiat pers yang partisan
dan komersil. Media adalah alat perjuangan yang sangat penting bagi sebuah
kecerdasan bangsa. Pers bukan milik sepihak, dengan pemberitaan sepihak dan
hanya berguna untuk alat segelintir kepentingan. Pers adalah bagian dari pilar
demokrasi yang dipahami sebagai bagian chek
and balances manakala tidak ada lagi yang bersuara atas dasar kebenaran.
Ketika kebenaran dibangun maka pers lah yang juga berperan untuk memberikan
ajaran-ajaran terbaik. Pers yang lebih luas hari ini lebih pada perjuangan
segala bentuk alat media tidak hanya surat kabar tapi televisi, internet, radio
dan lainnya.
Agus Salim sudah meletakkan dasar semangat perjuangan
seorang jurnalisme yang benar-benar berjuang untuk membela hak-hak rakyat.
Mengambil pelajaran dari sosok jurnalis Agus Salim sangat penting untuk masa
depan bangsa ini dengan segala bentuk permasalahan yang muncul. Kemerdekaan
yang kita raih sudah saatnya membangkitkan semangat pers yang benar-benar
bersuara untuk kebenaran dan mendidik bangsa ini menuju peradaban yang lebih
baik. Pers harus dikelola untuk mencapai hak kita sebagai bangsa yang mandiri.
Sebagamana Agus salim mengatakan “Wahai bangsaku! kumpulkanlah segala tenagamu
dan segala kekuatan hati dan kehendakmu akan mentjapai hak mengurus rumah
tanggga kita sendiri!”.[4]
[1] Ucapan
Agus Salim setelah berhenti memimpin Surat Kabar “Hindia Baru” milik Belanda. Lihat Lihat, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta, 1978, hal 110
[2] Ibid, h 109
[3] Lihat, ST. Rais Alamsjah, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, Bukit Tinggi, Padang-Djakarta, penerbit
Mutiara, 1952 h 132
[4] S.K Neratja, Kemis 24 Djanuari 1918 No
17 th 2, lihat, Djejak Langkah Hadji A.
Salim, Tirtamas-Jakarta, 1954 h 37
0 komentar